Sabtu, 15 September 2012

Menguji Kemandirian KPU


Menguji Kemandirian KPU
Khairul Fahmi ;  Dosen Hukum Tata Negara, Koordinator Kajian Pemilu
Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
MEDIA INDONESIA, 14 September 2012


SAMPAI batas akhir penyerahan syarat pendaftaran peserta pemilu, tercatat 46 partai politik yang mengajukan diri menjadi peserta pemilu 2014. Jumlah tersebut lebih sedikit ketimbang parpol yang mendaftar sebagai peserta Pemilu 1999, 2004, dan 2009. Pada Pemilu 1999 yang mendaftar 141 partai politik, Pemilu 2004 50 partai politik, dan Pemilu 2009 sebanyak 49 partai politik.

Sekalipun jumlah pendaftar hanya 46 partai politik, beban kerja verifi kasi peserta Pemilu 2014 jauh lebih berat bila dibandingkan dengan verifikasi sebelumnya. Sebab, secara kuantitatif, jumlah partai politik yang harus diverifikasi jauh lebih banyak daripada dua pemilu sebelumnya. Secara substansi persyaratan, yang harus diverifi kasi juga lebih banyak ketimbang pemilupemilu terdahulu.

Selain itu, dalam sejarah pemilu Indonesia, inilah kali pertama seluruh peserta pemilu diwajibkan mengikuti verifi kasi. Pada Pemilu 1999, masih terdapat tiga parpol yang dinyatakan sebagai peserta pemilu tanpa verifikasi. Begitu pula dalam Pemilu 2004, enam parpol yang memenuhi electoral threshold ditetapkan sebagai peserta pemilu 2004 tanpa harus diverifikasi. Terakhir, pemilu 2009, sebanyak 20 partai politik mengikuti pemilu tanpa melalui verifi kasi keterpenuhan syarat yang ditentukan undang-undang.

Hakikat Verifikasi

Tampak luar, verifikasi dimaknai sebagai proses pemeriksaan  terhadap kebenaran semua persyaratan yang disampaikan partai politik untuk menjadi peserta pemilu. Seiring dengan itu, verifikasi partai politik juga dipahami sebagai mekanisme update terhadap keberadaan dan perkembangan partai politik. Pada level tersebut, verifikasi ditujukan untuk membuktikan apakah organisasi, personalia pengurus, anggota, administrasi, dan keuangan partai betul-betul nyata adanya.

Secara substansi, verifikasi ditujukan untuk mendorong partai politik membuktikan tanggung jawabnya sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik rakyat. Juga apakah partai politik terkait betul-betul mengakar dalam masyarakat atau sekadar perwujudan hasrat segelintir elite yang masih genit untuk menari di atas panggung politik. Melalui verifi kasi, keseriusan partai politik untuk terus membangun dan mengembangkan diri menjadi partai yang merepresentasikan mayoritas rakyat dapat diuji. Pada tingkat itu, verifi kasi dapat dimaknai sebagai sebuah langkah untuk ‘memaksa’ terjadinya penguatan terhadap kelembagaan partai politik.

Karena itu, verifikasi merupakan salah satu tahapan krusial dalam penyelenggaraan pemilu. Dalam posisi demikian, tahap tersebut harus diselesaikan KPU secara cerdas dan akurat. Dalam arti, verifikasi mesti dijadikan momentum untuk mengeva luasi keberadaan partai politik guna mendorong terjadinya penataan sistem kepartaian.

Bagaimanapun, verifikasi bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, verifikasi yang dilakukan dalam semangat membenahi partai politik sebagai infrastruktur politik tentunya akan menghadapi persoalan yang tidak sederhana. Persoalan itu dapat muncul karena adanya perlawanan terbuka partai politik yang berpikir pragmatis ataupun perlawanan dengan cara menggerogoti integritas penyelenggara pemilu.

Keniscayaan Pengawasan

Dalam pelaksanaannya, verifikasi peserta pemilu akan dihantui berbagai bentuk tindakan tidak fair, baik yang dilakukan partai politik peserta pemilu maupun oleh penyelenggara pemilu. Bagi peserta pemilu, kecurangan berpotensi terjadi dalam berbagai bentuk seperti memanipulasi persyaratan, memalsukan dokumen, dan kecurangan lainnya. Sementara itu, pada level penyelenggara, ketidakjujuran pada tahap verifikasi dapat terjadi dalam bentuk membiarkan kecurangan yang dilakukan peserta ataupun turut serta melakukan kecurangan dengan meloloskan parpol yang seharusnya tidak lolos dalam verifikasi.

Kecurangan sangat mungkin terjadi pada setiap dalam verifikasi. Kecurangan sangat mungkin terjadi pada setiap tahapan verifikasi, baik administrasi maupun faktual. Pada tahap verifikasi administrasi, kecurangan dapat terjadi dalam bentuk meloloskan partai politik yang tidak memenuhi syarat. Hanya, sejauh perkembangan yang dapat diikuti, KPU masih mampu bersikap tegas terhadap partai politik yang dinilai tidak memenuhi syarat administrasi. Untuk itu, dari 46 partai politik yang telah mendaftarkan diri, 12 partai politik dinyatakan gagal karena tidak memenuhi persyaratan administrasi yang dipersyaratkan.

Karenanya, langkah lebih lanjut yang perlu dibangun ialah kewaspadaan terhadap partai politik yang telah dinyatakan memenuhi seluruh dokumen persyaratan pendaftaran. Sebab, dikhawatirkan partai politik akan mengambil sikap pragmatis dengan hanya sebatas memenuhi administrasi belaka. Sementara kebenaran informasi yang dicantumkan dalam dokumen yang diajukan luput dari perhatian serius. Pada tahap ini, meski mungkin telah terjadi kecurangan dengan memberikan informasi yang tidak benar. 

Sepanjang persyaratan administratif sudah terpenuhi, KPU tentunya tidak dapat berbuat banyak. KPU hanya dapat menerima keberadaan dokumen administrasi yang telah diserahkan. Adapun penilaian benar tidaknya isi dokumen baru dapat dilakukan KPU pada saat proses verifi kasi faktual.

Pada tahapan verifikasi faktuallah potensi terjadinya penyimpangan terbuka melebar karena pada tahap tersebut KPU berada pada posisi memeriksa kebenaran informasi dan syarat yang diserahkan partai politik peserta pemilu. Kolusi dan nepotisme antara penyelenggara pemilu dan parpol peserta pemilu sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, pada tahap ini pengawasan menjadi sangat penting untuk dilakukan.

Pengawasan proses verifikasi faktual tentunya bukan pekerjaan mudah. Sebab, tidak hanya dilaksanakan di tingkat pusat, tetapi juga dilaksanakan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Luasnya lingkup pekerjaan yang ada membuka ruang terjadinya ‘permufakatan jahat’ antara oknum penyelenggara pemilu dan pengurus partai politik, baik karena iming-iming materi maupun sekadar pertimbangan lain yang sulit dijelaskan secara konkret.

Minus Pengawasan
Sayangnya, sampai tahapan verifikasi faktual selesai dilaksanakan, diperkirakan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) kabupaten/kota belum akan terbentuk. Dengan demikian, proses verifikasi (termasuk verifikasi faktual) terancam tidak ada pengawasan. Padahal, salah satu titik rawan pada saat verifikasi faktual terletak pada pemenuhan syarat memiliki 1.000 anggota atau 1/1.000 dari jumlah penduduk kabupaten/kota yang diverifikasi jajaran KPU di tingkat kabupaten/kota.

Dengan tidak akan adanya pengawasan terhadap verifikasi faktual, tahapan itu sepenuhnya akan bergantung pada jajaran KPU. Dalam hal ini, jajaran KPU hanya punya dua pilihan. Pertama, membiarkan proses verifikasi berjalan dengan segala kemungkinan kecurangan yang dilakukan, baik oleh partai politik sendiri maupun bersama-sama dengan oknum penyelenggara. Kedua, melaksanakan verifikasi dalam kerangka nondiskriminasi dan semangat penyederhanaan partai politik. Dalam artian, melaksanakan verifikasi secara fair, memperlakukan semua peserta pemilu secara sama, dan melaksanakan verifikasi secara profesional. Banyak kalangan percaya, dengan cara tersebut, berbagai kecurangan yang mungkin terjadi dapat dihindari.

Pilihan tersebut akan sangat bergantung pada integritas komisioner mulai tingkat pusat sampai daerah. Memilih jalan pertama berarti KPU tidak hendak menjadi bagian dari elemen perbaikan kualitas demokrasi. Sebaliknya, memilih jalan kedua berarti KPU masih bermimpi dirinya tercatat sebagai lembaga yang mandiri. Karena itu, verifikasi tidak sebatas menjadi ajang pembuktian keterpenuhan syarat menjadi peserta pemilu, tetapi juga untuk memastikan apakah KPU benar-benar mampu menjaga kemandiriannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar