Menguji Kemandirian KPU
Khairul Fahmi ; Dosen Hukum Tata
Negara, Koordinator Kajian Pemilu
Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum
Universitas Andalas
|
MEDIA
INDONESIA, 14 September 2012
SAMPAI batas akhir penyerahan syarat pendaftaran peserta pemilu,
tercatat 46 partai politik yang mengajukan diri menjadi peserta pemilu 2014.
Jumlah tersebut lebih sedikit ketimbang parpol yang mendaftar sebagai peserta
Pemilu 1999, 2004, dan 2009. Pada Pemilu 1999 yang mendaftar 141 partai
politik, Pemilu 2004 50 partai politik, dan Pemilu 2009 sebanyak 49 partai
politik.
Sekalipun jumlah pendaftar hanya 46 partai politik, beban kerja
verifi kasi peserta Pemilu 2014 jauh lebih berat bila dibandingkan dengan verifikasi
sebelumnya. Sebab, secara kuantitatif, jumlah partai politik yang harus diverifikasi
jauh lebih banyak daripada dua pemilu sebelumnya. Secara substansi persyaratan,
yang harus diverifi kasi juga lebih banyak ketimbang pemilupemilu terdahulu.
Selain itu, dalam sejarah pemilu Indonesia, inilah kali pertama
seluruh peserta pemilu diwajibkan mengikuti verifi kasi. Pada Pemilu 1999, masih
terdapat tiga parpol yang dinyatakan sebagai peserta pemilu tanpa verifikasi. Begitu
pula dalam Pemilu 2004, enam parpol yang memenuhi electoral threshold ditetapkan sebagai peserta pemilu 2004 tanpa
harus diverifikasi. Terakhir, pemilu 2009, sebanyak 20 partai politik mengikuti
pemilu tanpa melalui verifi kasi keterpenuhan syarat yang ditentukan
undang-undang.
Hakikat Verifikasi
Tampak luar, verifikasi dimaknai sebagai proses
pemeriksaan terhadap kebenaran semua
persyaratan yang disampaikan partai politik untuk menjadi peserta pemilu. Seiring
dengan itu, verifikasi partai politik juga dipahami sebagai mekanisme update
terhadap keberadaan dan perkembangan partai politik. Pada level tersebut,
verifikasi ditujukan untuk membuktikan apakah organisasi, personalia pengurus, anggota,
administrasi, dan keuangan partai betul-betul nyata adanya.
Secara substansi, verifikasi ditujukan untuk mendorong partai
politik membuktikan tanggung jawabnya sebagai penyerap, penghimpun, dan
penyalur aspirasi politik rakyat. Juga apakah partai politik terkait
betul-betul mengakar dalam masyarakat atau sekadar perwujudan hasrat segelintir
elite yang masih genit untuk menari di atas panggung politik. Melalui verifi
kasi, keseriusan partai politik untuk terus membangun dan mengembangkan diri
menjadi partai yang merepresentasikan mayoritas rakyat dapat diuji. Pada
tingkat itu, verifi kasi dapat dimaknai sebagai sebuah langkah untuk ‘memaksa’
terjadinya penguatan terhadap kelembagaan partai politik.
Karena itu, verifikasi merupakan salah satu tahapan krusial dalam
penyelenggaraan pemilu. Dalam posisi demikian, tahap tersebut harus
diselesaikan KPU secara cerdas dan akurat. Dalam arti, verifikasi mesti
dijadikan momentum untuk mengeva luasi keberadaan partai politik guna mendorong
terjadinya penataan sistem kepartaian.
Bagaimanapun, verifikasi bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, verifikasi
yang dilakukan dalam semangat membenahi partai politik sebagai infrastruktur
politik tentunya akan menghadapi persoalan yang tidak sederhana. Persoalan itu
dapat muncul karena adanya perlawanan terbuka partai politik yang berpikir
pragmatis ataupun perlawanan dengan cara menggerogoti integritas penyelenggara
pemilu.
Keniscayaan Pengawasan
Dalam pelaksanaannya,
verifikasi peserta
pemilu akan dihantui berbagai bentuk tindakan tidak fair, baik yang dilakukan
partai politik peserta pemilu maupun oleh penyelenggara pemilu. Bagi peserta
pemilu, kecurangan berpotensi terjadi dalam berbagai bentuk seperti
memanipulasi persyaratan, memalsukan dokumen, dan kecurangan lainnya. Sementara
itu, pada level penyelenggara, ketidakjujuran pada tahap verifikasi dapat
terjadi dalam bentuk membiarkan kecurangan yang dilakukan peserta ataupun turut
serta melakukan kecurangan dengan meloloskan parpol yang seharusnya tidak lolos
dalam verifikasi.
Kecurangan sangat mungkin terjadi pada setiap dalam verifikasi. Kecurangan
sangat mungkin terjadi pada setiap tahapan verifikasi, baik administrasi maupun
faktual. Pada tahap verifikasi administrasi, kecurangan dapat terjadi dalam
bentuk meloloskan partai politik yang tidak memenuhi syarat. Hanya, sejauh
perkembangan yang dapat diikuti, KPU masih mampu bersikap tegas terhadap partai
politik yang dinilai tidak memenuhi syarat administrasi. Untuk itu, dari 46
partai politik yang telah mendaftarkan diri, 12 partai politik dinyatakan gagal
karena tidak memenuhi persyaratan administrasi yang dipersyaratkan.
Karenanya, langkah lebih lanjut yang perlu dibangun ialah
kewaspadaan terhadap partai politik yang telah dinyatakan memenuhi seluruh
dokumen persyaratan pendaftaran. Sebab, dikhawatirkan partai politik akan
mengambil sikap pragmatis dengan hanya sebatas memenuhi administrasi belaka.
Sementara kebenaran informasi yang dicantumkan dalam dokumen yang diajukan
luput dari perhatian serius. Pada tahap ini, meski mungkin telah terjadi
kecurangan dengan memberikan informasi yang tidak benar.
Sepanjang persyaratan
administratif sudah terpenuhi, KPU tentunya tidak dapat berbuat banyak. KPU
hanya dapat menerima keberadaan dokumen administrasi yang telah diserahkan.
Adapun penilaian benar tidaknya isi dokumen baru dapat dilakukan KPU pada saat
proses verifi kasi faktual.
Pada tahapan verifikasi faktuallah potensi terjadinya penyimpangan
terbuka melebar karena pada
tahap tersebut KPU berada pada posisi memeriksa kebenaran informasi dan syarat
yang diserahkan partai politik peserta pemilu. Kolusi dan nepotisme antara
penyelenggara pemilu dan parpol peserta pemilu sangat mungkin terjadi. Oleh
karena itu, pada tahap ini pengawasan menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Pengawasan proses verifikasi faktual tentunya bukan pekerjaan
mudah. Sebab, tidak hanya dilaksanakan di tingkat pusat, tetapi juga
dilaksanakan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Luasnya lingkup
pekerjaan yang ada membuka ruang terjadinya ‘permufakatan jahat’ antara oknum
penyelenggara pemilu dan pengurus partai politik, baik karena iming-iming
materi maupun sekadar pertimbangan lain yang sulit dijelaskan secara konkret.
Minus Pengawasan
Sayangnya, sampai tahapan verifikasi faktual selesai dilaksanakan,
diperkirakan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) kabupaten/kota belum akan
terbentuk. Dengan demikian, proses verifikasi (termasuk verifikasi faktual)
terancam tidak ada pengawasan. Padahal, salah satu titik rawan pada saat verifikasi
faktual terletak pada pemenuhan syarat memiliki 1.000 anggota atau 1/1.000 dari
jumlah penduduk kabupaten/kota yang diverifikasi jajaran KPU di tingkat
kabupaten/kota.
Dengan tidak akan adanya pengawasan terhadap verifikasi faktual,
tahapan itu sepenuhnya akan bergantung pada jajaran KPU. Dalam hal ini, jajaran
KPU hanya punya dua pilihan. Pertama, membiarkan proses verifikasi berjalan
dengan segala kemungkinan kecurangan yang dilakukan, baik oleh partai politik
sendiri maupun bersama-sama dengan oknum penyelenggara. Kedua, melaksanakan
verifikasi dalam kerangka nondiskriminasi dan semangat penyederhanaan partai
politik. Dalam artian, melaksanakan verifikasi secara fair, memperlakukan semua peserta pemilu secara sama, dan
melaksanakan verifikasi secara profesional. Banyak kalangan percaya, dengan
cara tersebut, berbagai kecurangan yang mungkin terjadi dapat dihindari.
Pilihan tersebut akan sangat bergantung pada integritas komisioner
mulai tingkat pusat sampai daerah. Memilih jalan pertama berarti KPU tidak
hendak menjadi bagian dari elemen perbaikan kualitas demokrasi. Sebaliknya,
memilih jalan kedua berarti KPU masih bermimpi dirinya tercatat sebagai lembaga
yang mandiri. Karena itu, verifikasi tidak sebatas menjadi ajang pembuktian
keterpenuhan syarat menjadi peserta pemilu, tetapi juga untuk memastikan apakah
KPU benar-benar mampu menjaga kemandiriannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar