Merintis Jalan ke Depan
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 14 September 2012
ADA layanan pesan singkat (SMS) yang intinya menganjurkan perlu
ada reformasi pada sikap inlander
kita. SMS itu merujuk ke permintaan agar para investor (asing) menanamkan modal
di infrastruktur. Dikhawatirkan, akan timbul persoalan karena pertanahan masih
menjadi masalah ketidakadilan. “Kita rupanya tidak belajar dari sejarah
penjajahan,” katanya.
Pendapat tersebut, dan pendapat-pendapat lain yang seiring, masih
menjadi bahan tarik-ulur vis a vis
kebijakan-kebijakan politik-ekonomi yang mengacu ke konsep pasar bebas dan
padanannya. Kekacauan akibat tarik-ulur serupa pernah terjadi di bidang-bidang
sosial-politik-ekonomi di negara-negara maju, yang diisyaratkan mengakibatkan
perubahan-perubahan besar di dunia.
Futurolog Alvin Toffler, 84, mengatakan waktu itu terjadi Gelombang Ketiga dalam
sejarah peradaban manusia-setelah Gelombang Pertama yang bercirikan masyarakat
pertanian dan Gelombang Kedua yang bercirikan masyarakat industri. Francis
Fukuyama, 60, ahli ekonomi-politik dari Universitas Stanford, menyebutnya
kekacauan akibat perkembangan informasi sejagat. Gejala itu melanda
negara-negara maju beberapa dasawarsa menjelang akhir abad ke-20.
Yang menarik, gejala kekacauan di negara-negara maju itu terjadi
serempak, dengan ciri-ciri serupa. Antara lain rusaknya tertib sosial karena
bangkitnya individualisme yang menuntut kebebasan individu dan fenomena lain
yang searah. Hubungan kekeluargaan melemah, hubungan antarwarga masyarakat
tidak seakrab sebelumnya, dan rasa saling peduli menipis. Contoh gejala itu
bisa dilihat bila kita membandingkan hubungan antartetangga di daerah perdesaan
dengan yang ada di daerah perkotaan di negeri ini. Di kota seperti Jakarta,
misalnya, tidak aneh bila sesama tetangga tidak saling kenal. Di perdesaan lain
keadaannya.
Ketika kekacauan tertib sosial di negara-negara maju serempak
mereda menjelang awal abad ke-21, di kita rupanya baru berangsur tumbuh. Mungkin
ketika negara-negara maju mulai mapan setelah aplikasi tertib hukum (rule of law) dan tahu apa yang mereka
mau dan di mana batasbatasnya, kita baru mencaricari mana yang paling tepat
untuk masyarakat kita. Soal nasionalisme, misalnya, masih saja diwacanakan
sementara kita berusaha mengatasi ledakan-ledakan kekacauan akibat gelombang
perubahan.
Generasi Anak Zaman
Salah satu ciri kekacauan akibat gelombang perubahan di negeri
kita disangkutpautkan dengan masalah agama. Mungkin karena Indonesia
berpenduduk Islam terbesar di dunia. Kekacauan terorisme yang meresahkan
masyarakat akhir-akhir ini terbukti dilakukan anak-anak muda yang dianggap
penerus dari gembong-gembong teroris lama. Generasi baru itu tentunya masih
anak-anak ketika generasi peledak bom Bali dan sejajaran mulai beraksi.
Dalam waktu sela sejak bom Bali sampai saat ini, apa yang terjadi pada
anak-anak itu? Apa dan siapa yang menggiring anak-anak itu menjadi
pemuda-pemuda radikal yang membentuk generasi baru teroris?
Ketika ada wacana tentang sertifikasi ulama, timbul reaksi yang
umumnya menolak. Lagi pula, agama memang bukan sine qua non, atau prasyarat, untuk ketertiban sosial; sekalipun
memang ada kekhawatiran, ceramah-ceramah yang menyimpang dari akidah agama akan
menyesatkan kaum muda yang nalar serta pengetahuan dan/atau pengalamannya belum
mapan. Lacurnya, banyak pihak mendesakkan kemauan atau kepentingan
masing-masing dengan mengatasnamakan agama. Terjadi kerancuan.
Dengan demikian, mereka berarti melakukan ‘desakralisasi’ terhadap
agama; kesucian agama dinodai. Ada ceramah-ceramah mengecohkan yang mendorong
kaum muda kemudian bersikap radikal. Politisasi agama memang perlu diwaspadai
karena dia mengabaikan falsafah Pancasila. Menggunakan agama untuk senjata
politik praktis menunjukkan ketidakmampuan menjaga etika politik dalam
berbangsa dan bernegara.
Mandat untuk Masyarakat
Tertib sosial pada dasarnya tidak akan tercipta lewat mandat
dan/atau pertolongan dari atas semata, tetapi terutama bergantung pada
bagaimana masyarakat mengorganisasi dirinya. Mungkin karena kepanikan,
masyarakat cenderung melempar kesalahan ke pemerintah dan aparatnya. Namun,
wacana macam itu menunjukkan betapa pasifnya masyarakat kita.
Ada iklan kopi yang menegaskan kopi itu menunjukkan karakter
bangsa Indonesia yang kuat dan berani. Sayangnya bukan kesan seperti itu yang
kita peroleh tentang karakter orang Indonesia, yang tampak menjadi tidak
berdaya menghadapi kekacauan sekarang. Padahal, untuk menghadapi masa depan,
siapa lagi yang wajib menyiapkan generasi penerus kalau bukan masyarakat
sendiri. Kekacauan yang ada sekarang sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan kita
untuk memenuhi harapan sesuai yang dijanjikan abad informasi.
Proses modernisasi memang mengganggu tertib sosial yang ada
sebelumnya. Kultur individualisme di satu pihak meningkatkan inovasi dan
pertumbuhan ekonomi, tetapi di lain pihak merongrong kerukunan, toleransi, dan
kesetiaan pada paham kebangsaan dan kenegaraan. Maka acap kali kita dikejutkan
kebijakan-kebijakan yang terkesan merugikan masa depan sendiri.
Namun, Fukuyama memberi harapan: manusia pada dasarnya makhluk sosial yang
memiliki naluri membangun aturan-aturan moral yang mengikat satu sama lain
dalam hidup bermasyarakat. Rasionalitas itu membuat mereka secara spontan
menciptakan cara-cara untuk bekerja sama demi kepentingan bersama. Alhasil selamat datang toleransi dan kerukunan.
Selamat tinggal kekacauan dan terorisme. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar