Sabtu, 15 September 2012

Merintis Jalan ke Depan


Merintis Jalan ke Depan
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 14 September 2012


ADA layanan pesan singkat (SMS) yang intinya menganjurkan perlu ada reformasi pada sikap inlander kita. SMS itu merujuk ke permintaan agar para investor (asing) menanamkan modal di infrastruktur. Dikhawatirkan, akan timbul persoalan karena pertanahan masih menjadi masalah ketidakadilan. “Kita rupanya tidak belajar dari sejarah penjajahan,” katanya.

Pendapat tersebut, dan pendapat-pendapat lain yang seiring, masih menjadi bahan tarik-ulur vis a vis kebijakan-kebijakan politik-ekonomi yang mengacu ke konsep pasar bebas dan padanannya. Kekacauan akibat tarik-ulur serupa pernah terjadi di bidang-bidang sosial-politik-ekonomi di negara-negara maju, yang diisyaratkan mengakibatkan perubahan-perubahan besar di dunia.

Futurolog Alvin Toer, 84, mengatakan waktu itu terjadi Gelombang Ketiga dalam sejarah peradaban manusia-setelah Gelombang Pertama yang bercirikan masyarakat pertanian dan Gelombang Kedua yang bercirikan masyarakat industri. Francis Fukuyama, 60, ahli ekonomi-politik dari Universitas Stanford, menyebutnya kekacauan akibat perkembangan informasi sejagat. Gejala itu melanda negara-negara maju beberapa dasawarsa menjelang akhir abad ke-20.

Yang menarik, gejala kekacauan di negara-negara maju itu terjadi serempak, dengan ciri-ciri serupa. Antara lain rusaknya tertib sosial karena bangkitnya individualisme yang menuntut kebebasan individu dan fenomena lain yang searah. Hubungan kekeluargaan melemah, hubungan antarwarga masyarakat tidak seakrab sebelumnya, dan rasa saling peduli menipis. Contoh gejala itu bisa dilihat bila kita membandingkan hubungan antartetangga di daerah perdesaan dengan yang ada di daerah perkotaan di negeri ini. Di kota seperti Jakarta, misalnya, tidak aneh bila sesama tetangga tidak saling kenal. Di perdesaan lain keadaannya.

Ketika kekacauan tertib sosial di negara-negara maju serempak mereda menjelang awal abad ke-21, di kita rupanya baru berangsur tumbuh. Mungkin ketika negara-negara maju mulai mapan setelah aplikasi tertib hukum (rule of law) dan tahu apa yang mereka mau dan di mana batasbatasnya, kita baru mencaricari mana yang paling tepat untuk masyarakat kita. Soal nasionalisme, misalnya, masih saja diwacanakan sementara kita berusaha mengatasi ledakan-ledakan kekacauan akibat gelombang perubahan.

Generasi Anak Zaman

Salah satu ciri kekacauan akibat gelombang perubahan di negeri kita disangkutpautkan dengan masalah agama. Mungkin karena Indonesia berpenduduk Islam terbesar di dunia. Kekacauan terorisme yang meresahkan masyarakat akhir-akhir ini terbukti dilakukan anak-anak muda yang dianggap penerus dari gembong-gembong teroris lama. Generasi baru itu tentunya masih anak-anak ketika generasi peledak bom Bali dan sejajaran mulai beraksi.

Dalam waktu sela sejak bom Bali sampai saat ini, apa yang terjadi pada anak-anak itu? Apa dan siapa yang menggiring anak-anak itu menjadi pemuda-pemuda radikal yang membentuk generasi baru teroris?

Ketika ada wacana tentang sertifikasi ulama, timbul reaksi yang umumnya menolak. Lagi pula, agama memang bukan sine qua non, atau prasyarat, untuk ketertiban sosial; sekalipun memang ada kekhawatiran, ceramah-ceramah yang menyimpang dari akidah agama akan menyesatkan kaum muda yang nalar serta pengetahuan dan/atau pengalamannya belum mapan. Lacurnya, banyak pihak mendesakkan kemauan atau kepentingan masing-masing dengan mengatasnamakan agama. Terjadi kerancuan.

Dengan demikian, mereka berarti melakukan ‘desakralisasi’ terhadap agama; kesucian agama dinodai. Ada ceramah-ceramah mengecohkan yang mendorong kaum muda kemudian bersikap radikal. Politisasi agama memang perlu diwaspadai karena dia mengabaikan falsafah Pancasila. Menggunakan agama untuk senjata politik praktis menunjukkan ketidakmampuan menjaga etika politik dalam berbangsa dan bernegara.

Mandat untuk Masyarakat

Tertib sosial pada dasarnya tidak akan tercipta lewat mandat dan/atau pertolongan dari atas semata, tetapi terutama bergantung pada bagaimana masyarakat mengorganisasi dirinya. Mungkin karena kepanikan, masyarakat cenderung melempar kesalahan ke pemerintah dan aparatnya. Namun, wacana macam itu menunjukkan betapa pasifnya masyarakat kita.

Ada iklan kopi yang menegaskan kopi itu menunjukkan karakter bangsa Indonesia yang kuat dan berani. Sayangnya bukan kesan seperti itu yang kita peroleh tentang karakter orang Indonesia, yang tampak menjadi tidak berdaya menghadapi kekacauan sekarang. Padahal, untuk menghadapi masa depan, siapa lagi yang wajib menyiapkan generasi penerus kalau bukan masyarakat sendiri. Kekacauan yang ada sekarang sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan kita untuk memenuhi harapan sesuai yang dijanjikan abad informasi.

Proses modernisasi memang mengganggu tertib sosial yang ada sebelumnya. Kultur individualisme di satu pihak meningkatkan inovasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi di lain pihak merongrong kerukunan, toleransi, dan kesetiaan pada paham kebangsaan dan kenegaraan. Maka acap kali kita dikejutkan kebijakan-kebijakan yang terkesan merugikan masa depan sendiri.

Namun, Fukuyama memberi harapan: manusia pada dasarnya makhluk sosial yang memiliki naluri membangun aturan-aturan moral yang mengikat satu sama lain dalam hidup bermasyarakat. Rasionalitas itu membuat mereka secara spontan menciptakan cara-cara untuk bekerja sama demi kepentingan bersama. Alhasil selamat datang toleransi dan kerukunan. Selamat tinggal kekacauan dan terorisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar