Kamis, 07 Juni 2012

Kontroversi Keberadaan Wamen


Kontroversi Keberadaan Wamen
Rusmin Effendy ; Direktur Eksekutif Komisi Kebijakan Publik
SUMBER :  SUARA KARYA, 7 Juni 2012


Putusan uji materi (judicial review) Mahkamah Konstitusi (MK) yang menerima sebagian gugatan tentang jabatan wakil menteri (wamen) yang dianggap kontroversi dan inkonstitusional pantas diapresiasi. Sekalipun putusan MK tersebut menyisakan komplikasi hukum karena subtansi gugatan bukanlah menyangkut posisi wamen sebagaimana diatur dalam UU No.39/2008 tentang Kementerian Negara, tapi proses dan mekanisme pengangkatannya melalui Keppres yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Mengapa demikian? Keppres pengangkatan wamen yang dilakukan Presiden bukan saja cacat secara yuridis, tapi dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sayangnya, konsekuensi putusan MK terkesan tidak independen dengan cara menganjurkan pemerintah merevisi Keppres tanpa membatalkan 20 jabatan wamen. Apalagi, akibat putusan MK, posisi wamen yang ada saat ini menjadi status quo, tidak serta-merta batal demi hukum. Karena itu, ada beberapa catatan yang patut diantisipasi akibat putusan MK tersebut.

Pertama, karena asas peradilan MK bersifat prospektif dan tidak berlaku surut (retroaktif), maka putusan MK tentang pengangkatan wamen bersifat status quo. Artinya, putusan MK tidak serta merta membatalkan pengangkatan. Seharusnya, putusan MK bersifat mengikat dan 'batal demi hukum' terhadap pengangkatan wamen yang cacat secara yuridis, sehingga tidak ada celah bagi pemerintah merevisi Keppres yang sudah melanggar UUD 1945.

Kedua, terjadi komplikasi hukum kapan berakhirnya jabatan wamen. Kelemahan UU No.39/2008 juga tidak memberikan penjelasan rinci mengenai hal itu, hanya dalam Bab V diatur tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Menteri. Pasal 24 ayat (1) menyebutkan; Menteri berhenti dari jabatannya karena; (a) Meninggal dunia atau (b). Berakhir masa jabatan.

Terlepas dari kontroversi tersebut, putusan MK yang menerima gugatan pemohon tentang pengangkatan wamen menjadi pembelajaran bagi pemerintah agar berhati-hati dalam menerbitkan kebijakan. Karena, dalam setahun terakhir pemerintahan SBY ibarat seperti 'rezim' yang tidak lagi memiliki kemampuan menghadapi pelbagai persoalan hukum. Bahkan, pemerintah dianggap tidak berdaya dan kehilangan marwah dalam menghadapi beberapa kasus hukum yang dilakukan mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendara, terakhir soal Keppres No.48/P/2012 tentang Pengangakatan Gubernur Bengkulu definitif menggantikan Agusrin Najamudin.

Langgar Konstitusi?

Sekalipun UU No.39/ 2008 tentang Kementerian Negara sudah mengatur secara rinci tentang posisi wamen, namun Presiden SBY secara sewenang-menang telah menabrak UU No.39/2008 serta UUD 1945 karena memaksakan diri mengubah Peraturan Presiden No.47/2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara hingga dua kali, yakni Peraturan Presiden No.76/ 2011 kemudian Peraturan Presiden No.77/2011, sehingga menimbulkan conflict of interest dalam rangka menjustifikasi orang yang tidak memenuhi syarat diangkat sebagai wakil menteri.

Salah satu yang menjadi kontroversial adalah pengangkatan Prof DR Denny Indrayana yang sama sekali tidak memenuhi persyaratan karena yang bersangkutan bukanlah pejabat karier, dan hanya dosen biasa yang kepangkatan akademik golongan IIIB. Selain Denny Indrayana, masih ada beberapa wamen yang tidak memenuhi kualifikasi jabatan karier maupun struktural (Eselon IA). Apalagi, pengangkatan wamen tidak melalui proses Tim Penilai Akhir (TPA) yang dipimpin Wakil Presiden atas usulan masing-masing instansi terkait.

Kondisi inilah yang sesungguhnya menjadi persoalan hukum, karena pemerintah seolah-olah 'tuli' untuk mendengarkan aspirasi publik yang menentang terbitnya Keppres yang sengaja direkayasa dalam beberapa hari untuk meloloskan Denny Indrayana. Padahal, publik masih ingat bagaimana dengan kasus Anggito Abimayu yang gagal menjadi Wakil Menteri Keuangan karena belum memenuhi persyaratan, tapi memilih sikap kesatria mundur dari jabatannya. Idealnya, pengangkatan wamen seyogianya menjadi domain kementerian tanpa harus melibatkan presiden.

Karena itu, dapat dipahami pengangkatan wamen sesungguhnya bernuansa politis, apalagi pengangkatannya dilakukan di Istana Negara dengan menggunakan prosedur layaknya pelantikan menteri, bukan prosedur yang berlaku bagi seorang PNS yang menduduki jabatan karier tertentu. Barangkali karut-marut persoalan yang dihadapi memberikan kesan kepada publik betapa bobroknya administrasi dan manajerial pemerintahan, sehingga pemerintah seringkali melanggar aturan dan konstitusi UUD 1945.

Dengan demikian dapatlah dipahami, di tengah keterpurukan praktik hukum yang dilakukan pemerintah membuat rakyat semakin pesimistis terhadap potret tata kelola pemerintahan yang semakin karut-marut. Sejatinya, pemerintah memberikan teladan tentang penegakan dan supremasi hukum, bukan sekedar slogan pencitraan untuk mencari popularitas dan simpati publik. Yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah asyik dan terlena membungkam lawan-lawan politiknya dengan cara melakukan politisasi hukum.

Mungkinkan bangsa ini masih bisa berharap atau bermimpi menuntut persamaan di depan hukum (equality before of the law)? Paling tidak, kita berharap berharap suatu saat nanti prinsip keadilan harus ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh. Wallahu a'lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar