Kontroversi
Keberadaan Wamen
Rusmin Effendy ; Direktur
Eksekutif Komisi Kebijakan Publik
SUMBER : SUARA
KARYA, 7 Juni 2012
Putusan uji materi (judicial
review) Mahkamah Konstitusi (MK) yang menerima sebagian gugatan tentang
jabatan wakil menteri (wamen) yang dianggap kontroversi dan inkonstitusional
pantas diapresiasi. Sekalipun putusan MK tersebut menyisakan komplikasi hukum
karena subtansi gugatan bukanlah menyangkut posisi wamen sebagaimana diatur
dalam UU No.39/2008 tentang Kementerian Negara, tapi proses dan mekanisme
pengangkatannya melalui Keppres yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Mengapa demikian? Keppres pengangkatan wamen yang dilakukan
Presiden bukan saja cacat secara yuridis, tapi dianggap bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sayangnya, konsekuensi putusan MK terkesan tidak independen
dengan cara menganjurkan pemerintah merevisi Keppres tanpa membatalkan 20
jabatan wamen. Apalagi, akibat putusan MK, posisi wamen yang ada saat ini
menjadi status quo, tidak serta-merta batal demi hukum. Karena itu, ada
beberapa catatan yang patut diantisipasi akibat putusan MK tersebut.
Pertama, karena asas peradilan MK bersifat prospektif dan tidak
berlaku surut (retroaktif), maka putusan MK tentang pengangkatan wamen bersifat
status quo. Artinya, putusan MK tidak
serta merta membatalkan pengangkatan. Seharusnya, putusan MK bersifat mengikat
dan 'batal demi hukum' terhadap pengangkatan wamen yang cacat secara yuridis,
sehingga tidak ada celah bagi pemerintah merevisi Keppres yang sudah melanggar
UUD 1945.
Kedua, terjadi komplikasi hukum kapan berakhirnya jabatan wamen.
Kelemahan UU No.39/2008 juga tidak memberikan penjelasan rinci mengenai hal
itu, hanya dalam Bab V diatur tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Menteri.
Pasal 24 ayat (1) menyebutkan; Menteri berhenti dari jabatannya karena; (a) Meninggal
dunia atau (b). Berakhir masa jabatan.
Terlepas dari kontroversi tersebut, putusan MK yang menerima
gugatan pemohon tentang pengangkatan wamen menjadi pembelajaran bagi pemerintah
agar berhati-hati dalam menerbitkan kebijakan. Karena, dalam setahun terakhir
pemerintahan SBY ibarat seperti 'rezim' yang tidak lagi memiliki kemampuan
menghadapi pelbagai persoalan hukum. Bahkan, pemerintah dianggap tidak berdaya
dan kehilangan marwah dalam menghadapi beberapa kasus hukum yang dilakukan
mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendara, terakhir soal Keppres No.48/P/2012
tentang Pengangakatan Gubernur Bengkulu definitif menggantikan Agusrin
Najamudin.
Langgar Konstitusi?
Sekalipun UU No.39/ 2008 tentang Kementerian Negara sudah mengatur
secara rinci tentang posisi wamen, namun Presiden SBY secara sewenang-menang
telah menabrak UU No.39/2008 serta UUD 1945 karena memaksakan diri mengubah
Peraturan Presiden No.47/2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian
Negara hingga dua kali, yakni Peraturan Presiden No.76/ 2011 kemudian Peraturan
Presiden No.77/2011, sehingga menimbulkan conflict of interest dalam rangka
menjustifikasi orang yang tidak memenuhi syarat diangkat sebagai wakil menteri.
Salah satu yang menjadi kontroversial adalah pengangkatan Prof DR
Denny Indrayana yang sama sekali tidak memenuhi persyaratan karena yang
bersangkutan bukanlah pejabat karier, dan hanya dosen biasa yang kepangkatan
akademik golongan IIIB. Selain Denny Indrayana, masih ada beberapa wamen yang
tidak memenuhi kualifikasi jabatan karier maupun struktural (Eselon IA).
Apalagi, pengangkatan wamen tidak melalui proses Tim Penilai Akhir (TPA) yang
dipimpin Wakil Presiden atas usulan masing-masing instansi terkait.
Kondisi inilah yang sesungguhnya menjadi persoalan hukum, karena
pemerintah seolah-olah 'tuli' untuk mendengarkan aspirasi publik yang menentang
terbitnya Keppres yang sengaja direkayasa dalam beberapa hari untuk meloloskan
Denny Indrayana. Padahal, publik masih ingat bagaimana dengan kasus Anggito
Abimayu yang gagal menjadi Wakil Menteri Keuangan karena belum memenuhi
persyaratan, tapi memilih sikap kesatria mundur dari jabatannya. Idealnya,
pengangkatan wamen seyogianya menjadi domain kementerian tanpa harus melibatkan
presiden.
Karena itu, dapat dipahami pengangkatan wamen sesungguhnya
bernuansa politis, apalagi pengangkatannya dilakukan di Istana Negara dengan
menggunakan prosedur layaknya pelantikan menteri, bukan prosedur yang berlaku
bagi seorang PNS yang menduduki jabatan karier tertentu. Barangkali karut-marut
persoalan yang dihadapi memberikan kesan kepada publik betapa bobroknya
administrasi dan manajerial pemerintahan, sehingga pemerintah seringkali
melanggar aturan dan konstitusi UUD 1945.
Dengan demikian dapatlah dipahami, di tengah keterpurukan praktik
hukum yang dilakukan pemerintah membuat rakyat semakin pesimistis terhadap
potret tata kelola pemerintahan yang semakin karut-marut. Sejatinya, pemerintah
memberikan teladan tentang penegakan dan supremasi hukum, bukan sekedar slogan
pencitraan untuk mencari popularitas dan simpati publik. Yang terjadi justru
sebaliknya, pemerintah asyik dan terlena membungkam lawan-lawan politiknya
dengan cara melakukan politisasi hukum.
Mungkinkan bangsa ini masih bisa berharap atau bermimpi menuntut
persamaan di depan hukum (equality before
of the law)? Paling tidak, kita berharap berharap suatu saat nanti prinsip
keadilan harus ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh. Wallahu a'lam bish-shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar