Wamen
dan Pejabat Karier
Agun Gunandjar Sudarsa ; Ketua Komisi II DPR,
Mantan Ketua Pansus RUU Kementerian Negara
SUMBER : SUARA
KARYA, 7 Juni 2012
Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan penjelasan Pasal 10 UU Nomor
39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (KN) dengan alasan bertentangan dengan
UUD 1945. Artinya, UU-nya konstitusional, jabatan wamen konstitusional, hanya
saja pengangkatannya yang inkonstitusional. Ini akibat dari penjelasan, yang
menurut MK, bertentangan secara konstitusional karena wamen itu disebut dengan
jabatan karier, yang diterjemahkan dengan jabatan struktural dan fungsional.
Ketika dilakukan pembahasan RUU KN, sebetulnya naskah aslinya tak
ada penjelasan terkait hal itu. Namun, ketika ada pertanyaan tentang posisi
wamen, pemerintah diwakili Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyebutkan bahwa
wamen itu merupakan pejabat karier dari dalam dan bukan anggota kabinet. Pansus
Kementerian Negara pun merumuskannya dalam penjelasan. Namun, MK berpandangan,
seharusnya hal itu dianggap sebagai norma, bukan penjelasan sehingga patut
dibatalkan.
Yang pasti, konsekuensi dari pembatalan itu, cita-cita Pansus
Kementerian Negara yang menginginkan struktur pemerintahan sederhana, ramping
dan efektif makin jauh. Semula Pansus ingin membatasi agar jabatan-jabatan itu
tidak diisi oleh orang-orang "bebas" dari mana pun. Posisi itu
seharusnya diisi oleh aparatur birokrasi PNS yang kompeten. Namun, ternyata
terjadi kesalahan penerapan pengangkatannya.
Bagaimanapun, PNS harus diberi peluang agar tidak hanya berhenti
sampai di eselon I, tetapi juga bisa menggapai disebutkan pejabat karier.
Karena itu, wamen menjadi jabatan karier dan bukan anggota kabinet. Wamen
adalah pejabat negara yang bertugas membantu para menteri, tapi bukan anggota
kabinet.
Maksudnya, supaya manajemen kementerian lebih efektif hingga perlu
diangkat orang dari dalam. Yakni, pejabat karier yang secara sederhana adalah
PNS yang menggapai karier puncak, seperti sekjen atau dirjen. Wamen bertanggung
jawab kepada menteri, khususnya dalam urusan internal. Wamen tidak membuat
kebijakan dan hanya menjalankan kebijakan-kebijakan menteri. Ia tidak bisa
menandatangani surat-menyurat.
Dengan pembatalan itu, sekarang orang dari luar birokrasi --
termasuk politikus -- bisa leluasa masuk kementerian. Padahal, pengangkatan
wamen sejak awal semangatnya untuk tidak mengakomodasi orang-orang dari luar
birokrasi guna menghindari intervensi, menghindari rangkap jabatan partai
sehingga tidak lupa mengurus rakyat. Untuk itulah, wamen diangkat dari pejabat
karier (PNS termasuk pensiunan), bukan dari jabatan karier (dosen, peneliti dan
lain-lain).
Dengan adanya putusan MK, secara hukum, kedudukan wamen sudah gugur.
Tetapi, secara administratif bisa tetap bekerja sebagaimana mestinya sambil
menunggu keppres yang baru.
Putusan MK tidak tepat, tapi harus dihargai karena mungkin MK
menerjemahkan wamen dari jabatan karier, yakni PNS semua. Padahal putusan
Pansus RUU KN, wamen dari pejabat karier dan bukan jabatan karier. Apabila
dalam hal terdapat beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus,
presiden bisa mengangkat wamen. Jadi, jabatan wamen tidak struktur permanen,
tergantung beban kerja yang memerlukan job analysis. Tak mungkin wamen dari
jabatan karier membawahkan dirjen-dirjen yang pangkatnya lebih tinggi. Bukankah
kalau orang yang ditunjuk jadi wamen pangkatnya lebih rendah dan hanya dosen,
nanti bisa arogan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar