Sabtu, 10 Juli 2021

 

Relevansi Komponen Cadangan

Probo Darono Yakti ;  Dosen Hubungan Internasional UPN “Veteran” Jawa Timur, Pengamat Pertahanan Stratagem Indonesia

KOMPAS, 7 Juli 2021

 

 

                                                           

Awal tahun ini, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) No 3 Tahun 2021 yang mengatur teknis Komponen Cadangan/Komcad sebagai pelapis kedua komponen utama yang terdiri atas TNI/Polri yang didefinisikan dalam UU 23/2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara.

 

Program ini melatih selama tiga bulan pemuda berusia 18-35 tahun yang terpilih serta memberikan pesangon dan pangkat selayaknya TNI/Polri. Sampai saat ini, rekrutmen Komcad di berbagai daerah terus digulirkan, termasuk melihat potensi yang ada di kalangan mahasiswa, pekerja, Aparatur Sipil Negara (ASN).

 

Dalam pernyataan yang diungkapkan Juru Bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak sebagaimana dilansir Kompas.com, Komcad yang dibutuhkan 25.000 orang dan akan terbagi dalam 35 batalion yang berbeda. Mobilisasi Komcad diatur dalam Pasal 87 yang menjadi wewenang penuh dari Presiden berdasarkan persetujuan DPR.

 

Kendati bersifat sukarela tanpa paksaan, program yang berada dalam tanggung jawab Kementerian Pertahanan tersebut sejak awal mendapatkan beragam kritikan. Sandrayati dari Komnas HAM dan Gufron dari Imparsial mempersoalkan pemberlakuan Undang-Undang (UU) Militer terhadap warga sipil yang akan berdampak pada pemenuhan HAM para Komcad serta prioritas yang seharusnya diutamakan Kementerian Pertahanan terkait peningkatan kualitas dan kuantitas alutsista (alat utama sistem senjata) serta kesejahteraan prajurit.

 

Tenggelamnya KRI Nanggala-402 juga menjadi salah satu contoh bahwa pemerintah masih tampak linglung dalam memberikan prioritas dalam membenahi alutsista TNI. Selain masalah pemberlakuan UU Militer dan prioritas pemerintah dalam masalah-masalah pertahanan, pemerintah perlu memerhatikan kembali lingkungan strategis dalam urgensi rekrutmen Komcad.

 

Lingkungan strategis dan ancaman negara

 

Sejak merdeka, lingkungan strategis Indonesia terus berkembang dari posisi silang di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik dalam Wawasan Nusantara, sehingga secara otomatis masuk dalam kawasan Indo-Pasifik.

 

Indonesia beberapa tahun ke belakang mencoba memperkenalkan kembali posisi penting dalam kawasan Indo-Pasifik dengan dideklarasikannya Poros Maritim Dunia oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2014. Posisi sentral Indonesia dalam sebuah lingkungan strategis penuh konflik, membuatnya rentan akan ancaman-ancaman yang berasal dari luar maupun dalam negeri.

 

Dari luar negeri, klaim sepihak China terhadap perairan Laut China Selatan berdasarkan Sembilan Garis Putus (Nine Dashed Line), telah menggegerkan kawasan dengan mengajak negara tetangga dalam sebuah klaim tumpang tindih.

 

Berbeda dengan negara-negara seperti Filipina, Malaysia, Vietnam, Kamboja, dan Brunei Darussalam yang melayangkan protes terhadap China, Indonesia justru mengambil sikap non-claimant state yang ditunjukkan dari pelbagai insiden yang merongrong kedaulatan terhadap wilayah laut.

 

Respons serius hanya diutarakan ketika pihak luar memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), seperti dalam bentuk kunjungan Presiden Jokowi ke KRI Imam Bonjol pada 2016, lantas KRI Usman Harun dan KRI Karel Satsuit Tubun tahun lalu, sebagai aksi spontan untuk sekadar mengirim sinyalemen pada China agar tidak bermain-main di Laut Natuna Utara milik Indonesia.

 

Dari dalam negeri, kasus terorisme yang terjadi di berbagai titik di Indonesia yang mengklaim sebagai “sel-sel Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang masih hidup” dan sisa-sisa kelompok Mujahidin Indonesia Timur di Poso, juga menambah deretan ancaman di lingkungan strategis yang rentan.

 

Belum lagi satu kelompok yang baru saja dinaikkan statusnya dari Kelompok Kekerasan Bersenjata (KKB) menjadi Kelompok Teroris oleh pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD, yakni Operasi Papua Merdeka (OPM).

 

Sebagai catatan, penetapan status KKB OPM menjadi teroris mendapat penolakan dari pihak pemerintah daerah di Papua karena berpotensi meningkatkan agresivitas pemerintah dan pemberian stigma yang berakibat buruk pada hubungan masyarakat Papua dengan Pemerintah Indonesia.

 

Di era Revolusi Industri Keempat, Indonesia juga dihadapkan dengan ancaman-ancaman dari dunia siber yang tentu berbeda apabila dibandingkan dengan era-era di mana kekuatan fisik diutamakan. Seperti serangan siber yang membuat Indonesia harus merelakan 15 juta data pengguna Tokopedia diretas pada tahun lalu dan 279 juta data BPJS yang terdiri atas terjadi 20 Mei lalu.

 

Kasus-kasus di atas mengartikan pemerintah masih bimbang mendefinisikan ancaman negara yang dijadikan “musuh bersama”, sehingga timbul pertanyaan serius siapa nantinya musuh yang “dilawan” oleh Komcad?

 

Strategi kontekstual dan "up-to-date"

 

Ada tiga catatan yang dapat menjadi evaluasi dari pelaksanaan Komcad. Pertama, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertahanan dapat menentukan secara jelas sasaran atau “musuh” yang membuat negara urgen dalam mengadakan rekrutmen Komcad dengan menyesuaikan dinamika zaman dan teknologi.

 

Kedua, terdapat keperluan mendesak untuk membagi secara jelas kebutuhan tiap matra (TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Polri) mengingat definisi ancaman dan peperangan telah berubah total dari ancaman yang tradisional pada non-tradisional.

 

Ketiga, dalam situasi damai dan bukan darurat militer, pelaksanaan Komcad harus dievaluasi dengan ketat. Pengalaman historis Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa menunjukkan bahwa tekanan psikis-mental masyarakat sudah cukup dihantui dengan keberadaan aparat berseragam yang hanya menunjukkan bahwa Komcad hanya sebatas militerisasi sipil. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar