Kamis, 18 Juni 2015

UU Migas Merah Putih

UU Migas Merah Putih

Junaidi Albab Setiawan  ;  Pengamat dan Praktisi Hukum Migas
KOMPAS, 17 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Undang-Undang Migas  yang lengkap dan komprehensif menjadi kebutuhan sangat mendesak saat ini. UU Migas No 22/2001 tak lagi mampu menjawab kebutuhan bangsa saat ini. Sebab, secara konseptual, UU No 22/2001 dianggap menyimpang dari konstitusi dan secara operasional tidak lagi mampu mengarahkan pemanfaatan migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sekaligus melindungi  kepentingan investor.

Pada 2015, rancangan perubahan UU Migas 2001 masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Semangatnya mengembalikan UU Migas  yang sejalan dengan filosofi dan konstitusi bangsa Indonesia. Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarno Putri, pada seminar nasional "Migas untuk Kemandirian Energi" di Gedung Kompleks Parlemen (27/2/2013) mengusulkan UU Migas khas Indonesia sebagai UU Migas "Merah Putih".

Keinginan melahirkan UU Migas Merah Putih itu juga muncul  dalam visi misi dan program pemerintahan Joko Widodo.  Pada butir 7 "Sembilan Agenda Prioritas" serta dalam rencana implementasi Trisakti,  di angka 3 (2) disebutkan, "Dalam jangka menengah, pemerintahan Jokowi akan merevisi UU Migas Merah Putih yang berkarakter membangun kapasitas nasional yang akan mampu memberikan kepastian hukum secara permanen." Secara tegas, rezim ini berkomitmen mendorong lahirnya UU Migas yang berbasis  pada Pasal 33 UUD 1945 dengan roh Trisakti.

Arti penting UU Migas

Mengingat migas adalah salah satu hajat hidup rakyat yang berjumlah terbatas dan tidak terbarukan serta pendapatan dari sektor migas penting untuk menopang pembangunan bangsa, UU Migas harus mampu jadi acuan dalam pemanfaatan migas nasional. UU ini harus bersumber pada konstitusi yang merupakan arah dan tujuan didirikannya negara. UU Migas yang tidak sejalan dengan konstitusi akan berisiko mudah berubah (labil), terombang-ombing mengikuti desakan zaman. Inilah yang terjadi pada UU Migas yang berlaku saat ini.

Pemanfaatan migas butuh aturan kuat yang mampu melewati batas rezim. Aturan itu harus mampu jadi landasan yang kokoh sekaligus payung hukum dalam   aktivitas pemanfaatan migas yang berkarakter jangka panjang. Aturan yang lemah juga akan berakibat kurangnya minat  investasi di bidang migas yang memiliki karakter unik berbeda daripada bisnis lain. Paling tidak ada empat faktor yang membuat industri hulu migas unik:  (i) lamanya rentang waktu antara saat terjadinya pengeluaran dan pendapatan; (ii) keputusan yang dibuat berdasarkan risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih; (iii) sektor ini perlu modal yang cukup besar, tetapi (iv) di balik semua risiko itu industri migas juga menjanjikan keuntungan yang cukup tinggi (Benny Lubiantara, 2012).

Faktanya, Indonesia menghadapi keterbatasan dalam hal dana dan kemampuan sehingga membuka ruang bagi investor asing dalam eksplorasi dan eksploitasi migas merupakan keniscayaan.  Karena itu, UU Migas harus terkait dengan aturan investasi yang memberikan jaminan kepada investor agar terbebas dari risiko perubahan politik dan peraturan. Jadi, UU migas  tidak berorientasi lokal semata, tetapi harus mampu mengakomodasi hadirnya investasi asing yang mensyaratkan suatu kepastian hukum.

Aturan dalam UU Migas  harus juga mengatur struktur kelembagaan dan birokrasi dalam pengelolaan migas yang meliputi pengaturan kebijakan umum, perizinan,  pengawasan, serta pengaturan pemanfaatan dan distribusi yang maksimal, yang berorientasi bagi kemakmuran rakyat. Di antaranya dengan mendirikan suatu national oil company, yang semua sahamnya dimiliki negara sebagai pelaksana kuasa pertambangan. 

UU Migas juga harus mengatur distribusi yang adil dalam hal pemanfaatan migas secara proporsional. Adil dalam artian sesuai kebutuhan riil yang wajib memerhatikan aspek  pemerataan pembangunan dan karakter geografis Indonesia sebagai negeri kepulauan.

UU Migas yang berlaku sekarang produk reformasi yang perumusannya diwarnai oleh pengaruh liberalisme, khususnya IMF sebagai kreditor  yang memiliki agenda khusus. Pada saat itu Indonesia sedang "tersandera" akibat utang-utang peninggalan rezim lama ditambah adanya perampokan uang negara (BLBI) oleh para pengkhianat bangsa pada saat ekonomi Indonesia sedang sekarat.  Akibatnya, kita tidak cukup bebas untuk bisa mengekspresikan keinginan kita bahkan dalam hal menyesuaikan isi UU dengan bunyi konstitusi sekalipun.

UU Migas sekarang berorientasi pasar, yang dalam kosiderannya dengan tegas memosisikan migas sebagai komoditi. Sebagai komoditi tentu sangat bergantung pada mekanisme pasar yang bertujuan mencari untung berdasar penawaran dan permintaan. Peran negara pun tereduksi atau bahkan cenderung ditiadakan. Akibatnya perlindungan terhadap posisi  migas bagi hajat hidup rakyat  jadi terabaikan.

Beberapa ketentuan pokok UU Migas 2001 telah dikoreksi oleh putusan MK No 36/PUU-X/2012-MK. Dalam putusan ini, yang dibatalkan meliputi aturan-aturan  yang bersifat strategis, termasuk aturan kelembagaan hulu migas (BP Migas).  Akibatnya, UU Migas yang ada "centang-perenang" dan tak layak lagi jadi acuan hukum. Saat ini aturan migas jadi tambal sulam, lebih didominasi oleh peraturan-peraturan operasional, sehingga secara esensial pemanfaatan dan  pengelolaan migas berjalan tanpa arah yang jelas.

Revisi UU Migas

Revisi tambal sulam terhadap UU Migas tidaklah cukup. Agar masalah migas tak semakin kronis, yang dibutuhkan adalah  UU Migas baru yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat, tetapi tetap disesuikan dengan perkembangan zaman.

UU Migas baru ditantang mampu menghubungkan tataran konsepsional yang "merah putih" agar tidak sekadar slogan, dengan tataran operasional sesuai kebutuhan riil. UU Migas harus mencerminkan kepribadian bangsa yang lebih mengutamakan kepentingan nasional. UU Migas harus kembali pada paradigma konstitusi, memperjelas keberpihakan pada kemandirian ekonomi bangsa untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi tetap dapat berlaku global. Sebab, bisnis migas adalah bisnis global yang sangat dipengaruhi: (i) nilai tukar uang karena 40 persen kebutuhan operasi hulu migas masih harus dipenuhi dari luar negeri dan (ii) harga minyak dunia. Faktanya, sebagai akibat UU Migas yang lemah, selain perlindungan negara terhadap hajat hidup dasar rakyat melemah, minat investasi migas pun ikut melemah.

Yang dibutuhkan saat ini adalah UU Migas yang kuat secara komprehensif  mengatur kebijakan, kelembagaan dan pengawasan, serta pelaksanaan, tetapi tetap berbasis konstitusisehingga dari waktu ke waktu mampu menjadi acuan dan payung hukum dalam pemanfaatan migas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar