Penetapan Panglima TNI
Sayidiman Suryohadiprojo ; Ketua
Wantimpus Legiun Vet RI;
Mantan
Gub Lemhannas; Mantan Wakasad
|
KOMPAS, 17 Juni 2015
Penetapan Panglima
TNI tahun ini membuat saya terkejut karena merupakan tanda kurang perhatian terhadap
tradisi yang sudah dibangun dengan
tidak mudah di masa lampau. Dengan begitu, wewenang berupa hak prerogatif
telah digunakan secara kurang arif.
Tahun 1970 Presiden
Soeharto yang merangkap Menteri Pertahanan-Keamanan (Menhankam) memutuskan
perlunya kebijaksanaan untuk mengakhiri kurangnya harmoni antara TNI AD, TNI
AL, TNI AU, dan Kepolisian yang sejak tahun 1964 secara keseluruhan diberi
sebutan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Meskipun disatukan
dalam sebutan ABRI, Presiden Soekarno menetapkan empat angkatan itu dikelola
oleh empat kementerian berbeda dan menterinya merangkap panglima angkatan.
Jadi, ada Kementerian TNI AD yang dipimpin seorang Menteri Panglima TNI AD,
Menteri Panglima TNI AL, Menteri Panglima TNI AU, dan Menteri Panglima AK.
Karena masing-masing bersifat kementerian, setiap Angkatan dapat menyusun
organisasinya secara independen.
Kementerian Pertahanan
hanya diberikan wewenang koordinasi terbatas karena setiap menteri langsung
di bawah Presiden. Pemegang wewenang koordinasi terbatas itu disebut Menteri
Koordinator Staf Angkatan Bersenjata atau Menko Hankam Kasab.
Penyusunan itu
menimbulkan dampak politik yang kurang menguntungkan karena digunakan untuk
mengadu domba angkatan satu dengan yang lain, yang rupanya secara sadar atau
tidak juga persiapan bagi terjadinya G30S pada 30 September 1965.
Dilihat dari sudut
manajemen pun organisasi sangat kurang tepat karena mengakibatkan banyak
duplikasi yang amat mahal dan tidak perlu. Seperti usaha di setiap angkatan
menyusun kemampuan yang tak perlu karena sebenarnya dapat disediakan angkatan
lain. Maka, ABRI menjadi bentuk kekeliruan manajemen yang membebani negara.
Masuk akal sekali
bahwa pada 1970 diadakan perubahan yang menuju kepada integrasi ABRI.
Presiden memutuskan bahwa untuk mencapai integrasi itu setiap angkatan
berhenti sebagai kementerian dan hanya ada satu kementerian, yaitu
Kementerian Pertahanan. Juga pimpinan angkatan tidak lagi panglima, tetapi
kepala staf. Hanya ada satu panglima, yaitu Panglima Angkatan Bersenjata atau
Pangab. Maka, ada KSAD, KSAL, KSAU yang tidak mempunyai wewenang komando.
Kecuali Kepolisian
yang tidak lagi disebut Angkatan Kepolisian dan kepalanya disebut Kepala
Kepolisian. Meski mempunyai wewenang komando atas seluruh fungsi kepolisian,
kepolisian masih di bawah Menhankam.
Fungsi teritorial
Unsur operasi ABRI
dibagi dalam fungsi teritorial atau kewilayahan dan fungsi operasi mobil.
Fungsi teritorial dilakukan sebagai integrasi tiga angkatan dalam bentuk
Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan), dengan dibentuk Kowilhan I Sumatera,
Kowilhan II Jawa, Kowilhan III Bali dan Nusa Tenggara, Kowilhan IV
Kalimantan, Kowilhan V Sulawesi, Kowilhan VI Maluku dan Irian.
Semua komando
teritorial yang sebelumnya dibentuk setiap angkatan, yaitu Kodam AD, Kodaeral
AL, dan Kodau AU, diintegrasikan dalam Kowilhan yang meliputi daerah itu.
Sementara fungsi operasi mobil dilaksanakan oleh Kostrad AD, Kopassus AD,
Armada AL dan semua pasukan khusus AL, Komando Pertahanan Udara AU dan
Pasukan Khas AU, plus Kostranas di tingkat Hankam, semua dikendalikan secara
terpusat oleh Menhankam-Pangab.
Fungsi angkatan
beralih menjadi fungsi penyusunan, pendidikan, pembinaan, dan pengurusan.
Jadi, Kasad, Kasal, dan Kasau tak punya wewenang komando.
Pada tingkat pusat mula-mula
ada Menhankam-Pangab, tetapi sejak tahun 1982 dipisah menjadi Menhankam dan
Pangab. Menhankam-Pangab dibantu oleh
Wapangab serta Staf Departemen dan
Staf Umum. Dengan susunan ini diusahakan agar TNI-ABRI mengatasi perpecahan
yang amat merugikan negara, baik politik maupun ekonomi dan sosial.
Saya yang ditetapkan
sebagai Ketua Gabungan Personel Staf Umum dan fungsinya mengelola semua
personel ABRI (termasuk kepolisian) menyadari segera bahwa untuk mencapai
integrasi yang efektif harus diciptakan harmoni di antara segenap personel
ABRI. Karena masa itu emosi dalam masyarakat dan dalam ABRI sangat meluap,
untuk mencapai harmoni, faktor
perasaan harus sangat diperhatikan.
Di ABRI itu berarti
kebanggaan corps (esprit de corps)
dan tradisi kesatuan. Hal itu harus dimulai dengan pengangkatan pejabat
dengan menghargai setiap angkatan. Di Hankam, Presiden Soeharto menjadi
Menhankam-Pangab, Jenderal Panggabean Wapangab, maka Kepala Staf Departemen
(Kasdep) dan Kepala Staf Umum (Kasum) harus dari AL dan AU, yaitu Marskal
Saleh Basarah sebagai Kasdep dan Laksamana Subono sebagai Kasum. Pangkowilhan
I AD, Pangkowilhan II AD, Pangkowilhan III AL, Pangkowilhan IV AU,
Pangkowilhan V AD, dan Pangkowilhan VI AL. Di Staf Umum Hankam dan Staf Dep
Hankam para asisten dan ketua gabungan juga bercampur dari semua Angkatan,
demikian pula pada Staf Kowilhan.
Yang penting kemudian
adalah manajemen kendali personel yang sebelumnya cukup beda di antara
angkatan. Untuk itu, sebagai Ketua G3, saya setiap minggu kumpul dengan Ass
Pers AD, Ass Pers AL, Ass Pers AU, dan Ass Pers Polri, mula-mula untuk saling
mengenal, kemudian setelah faktor emosi dapat diredam menjadikan organisasi
lebih tunggal.
Saya pun harus rajin
menghadap Kasad (Pak Umar Wirahadikusuma), Kasal (Pak Sudomo), Kasau (Pak
Suwoto), dan Kapolri (Pak Hugeng). Untung bahwa saya sudah kenal dekat dengan
mereka sehingga mereka percaya bahwa usaha integrasi ini tidak akan
mengesampingkan atau merugikan organisasi. Dengan begitu, dapat kita susun
Peraturan Personel ABRI, Peraturan Sebutan dan Tanda Kepangkatan yang semua
pada 1971 disahkan oleh semua pimpinan ABRI, baik di tingkat Hankam maupun
Angkatan dan Polri.
Menuju persatuan
Lambat laun perpecahan
dan egoisme Angkatan berubah menjadi persatuan, saling percaya, dan
solidaritas. Ketika setelah Reformasi ABRI berubah menjadi TNI dan Polri, dan
ada jabatan Panglima TNI, saya sebagai purnawirawan TNI menyampaikan kepada
Presiden Habibie agar harmoni TNI tetap dipelihara.
Karena organisasi
Kowilhan sudah dihapus zaman Jenderal LB Moerdani, saya usulkan agar jabatan
Panglima TNI sebaiknya bergilir antara AD, AL, dan AU. Tindakan ini penting
untuk memelihara harmoni, nilai yang
begitu menonjol dalam Pancasila sebagai dasar negara RI.
Di Indonesia harmoni
tidak kalah penting dari efisiensi. Sebab itu kebijaksanaan integrasi yang
dimulai tahun 1970 juga amat penting bagi TNI dan bagi masyarakat Indonesia.
Karena itu, saya amat menyesalkan keputusan penetapan Panglima TNI tahun ini.
Tidak ada persoalan dengan Jenderal Gatot Nurmantio yang pasti menjalankan
fungsi Panglima TNI dengan baik. Akan tetapi, mengapa harus mengorbankan
harmoni dalam TNI ketika AU memahami bahwa sekarang giliran AU?
Memang pejabat-pejabat
tinggi mengatakan tak ada undang-undang bahwa harus cara giliran. Akan
tetapi, dalam kehidupan tidak semua yang baik dan perlu diperhatikan masuk
undang-undang. Seperti di Inggris yang menganggap common law atau kebiasaan,
tradisi, tidak kalah penting dari undang-undang tertulis.
Bagi seorang pemimpin
negara, kearifan adalah hal amat penting, apalagi bagi Indonesia yang di
dalam tubuhnya begitu banyak perbedaan. Tanpa kearifan akan sukar sekali
menjalani perbedaan dalam kesatuan/kebersamaan dan kesatuan/kebersamaan dalam
perbedaan.
Karena nasi sudah
menjadi bubur, sebagai veteran pejuang kemerdekaan dan purnawirawan TNI, saya
doakan semoga Jenderal Gatot Nurmantio dapat mencegah dan mengatasi masalah
disharmoni. Semoga TNI selalu kokoh sebagai pengabdi negara serta pembela
Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar