Tragedi Engeline, Alarm bagi Kita
Ilham Khoiri ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS, 16 Juni 2015
Dua pekan ini,
masyarakat Indonesia terharu biru oleh tragedi Engeline, bocah perempuan usia
8 tahun yang ditemukan tewas terkubur di rumah orangtua angkatnya di
Denpasar, Bali. Tak hanya membuat publik terkesiap dengan seluk-beluk kisah
kriminal yang mengudak emosi, drama ini juga bisa menjadi pintu masuk untuk
kembali membicarakan lebih serius isu penelantaran anak dalam rumah tangga.
Bagaimana semestinya kita, semua elemen bangsa ini, mengurus anak telantar,
terutama mengawasi anak angkat?
Pada 16 Mei 2015,
Engeline dinyatakan hilang saat bermain di depan rumah orangtua angkatnya,
Margriet C Megawe, di Sanur, Bali. Ia dilaporkan tak pulang selama tiga hari.
Keluarga melaporkan kasus ini ke Kepolisian Sektor Denpasar Timur.
Esok harinya, kakak
angkat Angeline, Yvon, membuat fan page di Facebook, "Find Engeline-Bali's Missing Child", seraya mengunggah
foto dan video bocah itu. Hati publik terenyuh. Polisi turun tangan untuk
mencari. Begitu pula dengan orangtua kandung Engeline, Hamidah dan Rosidik,
asal Banyuwangi, Jawa Timur.
Engeline memang
diadopsi oleh Margriet dan almarhum suaminya asal Amerika Serikat sejak 2007.
Ayah angkat Engeline meninggal tiga tahun lalu.
Di rumah orangtua
angkatnya, Engeline tinggal, antara lain, bersama ibu angkat dan seorang
pembantu laki-laki, Agustinus Tai, yang membersihkan rumah dan mengurus
kandang ayam. Bocah perempuan itu juga sering ikut memberi makan ayam.
Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi serta Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise
mengunjungi rumah keluarga Engeline di Sanur secara terpisah, 5 dan 6 Juni
2015. Namun, keduanya tidak ditemui oleh keluarga.
Pada 10 Juni 2015,
polisi menemukan jenazah Engeline di halaman belakang rumah orangtua
angkatnya. Jenazah terkubur sedalam sekitar setengah meter di dekat kandang
ayam rumah itu. Publik geger. Polisi lantas menetapkan Agustinus Tai sebagai
tersangka pembunuhan. Dalam proses berikutnya, Margriet juga ditetapkan
sebagai tersangka, kali ini terkait penelantaran anak angkat dan kekerasan
dalam rumah tangga.
Kita berharap proses
hukum di kepolisian berjalan secara cermat, adil, tegas, dan menjerat semua
pelaku yang terlibat dalam pembunuhan Engeline. Diduga kasus itu tak hanya
dilakukan oleh pembunuh tunggal, tetapi merupakan persekongkolan beberapa
orang. Sambil terus mengawasi proses itu, ada baiknya kita mengulik soal
adopsi Engeline, perlindungan dalam keluarga angkatnya, dan sanksi hukum. Hal
ini agar tragedi Engeline tak terulang pada bocah-bocah lain.
Dari penjelasan polisi
dan kuasa hukum Margriet, kita tahu, proses adopsi Engeline tidak berjalan
sempurna. Terdesak kesulitan ekonomi untuk menutup biaya kelahiran, orangtua
kandung menyerahkan bayi Engeline kepada Margriet dan suami. Orangtua angkat,
diwakili Margriet, lantas membuat penetapan adopsi di depan notaris.
Proses itu tidak
cukup, terutama karena tidak disertai rekomendasi dari Kementerian Sosial
(Kemsos) dan penetapan oleh pengadilan negeri. Proses adopsi bisa dilakukan
melalui dua jalur, yaitu dinas sosial (dinsos) dan yayasan. Sejauh ini, baru
ada sembilan yayasan pengasuh anak telantar yang diberi kewenangan untuk mengurus
proses adopsi oleh Kemsos.
Prosedur adopsi
Sebagaimana dijelaskan
Kepala Subdirektorat Kesejahteraan Anak dan Balita Kemsos Puti Chairida Anwar
(Kompas, 13/6), setelah memenuhi kelengkapan dokumen, seperti kartu tanda
penduduk, kartu keluarga, dan akta kelahiran anak, orangtua kandung
mengajukan permohonan menyerahkan anak untuk diadopsi ke dinsos. Tim khusus
penilaian mengecek keluarga orangtua angkat, seperti suasana rumah, keuangan,
hingga kesiapan mental. Anak akan diberi waktu enam bulan untuk berinteraksi
dengan calon keluarga angkat. Jika dinilai cocok, adopsi ditetapkan oleh
surat pengesahan dari pengadilan. Jika tidak, prosesnya dihentikan.
Semua proses itu
sebenarnya sudah diatur, seperti termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor
54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak serta Peraturan Mensos No
110/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak. Setelah anak resmi diadopsi,
tim dari dinsos terus melakukan pemantauan selama satu tahun hingga dua
tahun.
Langkah itu demi
memastikan anak angkat mendapat perlindungan dan pendidikan serta keluarga
angkat mampu menangani anak itu dengan baik. Artinya, adopsi harus diarahkan
untuk memberikan kehidupan yang berkualitas bagi anak, bukan sebaliknya.
Sebagaimana anak-anak
yang diasuh orangtua kandung, anak-anak adopsi juga dilindungi undang-undang
(UU). Salah satunya, UU No 35/2014 tentang Perubahan atas UU No 23/2002
tentang Perlindungan Anak. Ada juga UU No 23/2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Aturan ini mewajibkan orangtua untuk
melindungi, mendidik, dan merawat anak secara baik. Orangtua, termasuk
orangtua angkat, yang melakukan pelanggaran, seperti menelantarkan anak, bisa
dijerat dengan pasal-pasal dalam UU ini.
Pelajaran dari kasus Engeline
Kembali ke tragedi Engeline,
data sementara menunjukkan, proses adopsi tidak berjalan dengan semestinya.
Tidak ada peninjauan dari dinsos ataupun pengesahan dari pengadilan. Setelah
diadopsi, bocah itu diperkirakan mendapat kekerasan berkelanjutan.
Seperti disebutkan
dalam beberapa berita, guru tempat Engeline belajar, SDN 12 di Sanur, Bali,
sebenarnya mencurigai kondisi muridnya yang sering datang ke sekolah dalam
keadaan kotor, terkesan menderita luka, dan belum makan. Namun, sekolah
kurang melangkah jauh. Para tetangga juga mencium gelagat Engeline menjadi
korban kekerasan, tetapi belum ambil tindakan untuk menghentikan.
Bagaimana dengan
negara? Karena tidak dilibatkan sejak awal proses adopsi, negara, dalam hal
ini dinsos di Bali, terkesan belum melakukan apa-apa. Adalah Komnas
Perlindungan Anak yang aktif mengadvokasi kasus ini, mengunjungi rumah
Engeline, dan mengawal proses hukum di pengadilan.
Publik mengikuti kasus
ini sejak muncul laporan kehilangan di Facebook dan Twitter, diikuti
pemberitaan di media daring dan cetak, hingga temuan jenazah yang disiarkan
media secara nasional. Selain terkesiap dengan tragedi memilukan yang menimpa
Engeline, publik menuntut kasus ini dibongkar tuntas. Semua pelaku yang
terlibat kekerasan ditindak dan dijatuhi hukuman setimpal. Kepolisian juga
diminta bekerja profesional. Hingga kini, polisi memperlihatkan kinerja yang
baik.
Lebih dari itu, kasus
Engeline hendaknya menjadi alarm, peringatan, agar kita kian peka dengan
pentingnya perlindungan terhadap anak-anak. Kita juga diingatkan untuk segera
mengambil langkah jika melihat ada gejala anak di sekitar kita mengalami
kekerasan.
Anak adalah amanat.
Orangtua wajib mengasuh, melindungi, membesarkan, dan memberi anak pendidikan
yang layak, baik anak kandung maupun angkat. Kita semua berharap tragedi ini
tidak lagi menimpa anak-anak lain di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar