Angeline dan Potret Suram Pengasuhan Anak
A Helmy Faishal Zaini ; Ketua
Fraksi PKB DPR; Anggota Komisi X DPR
|
MEDIA INDONESIA, 16 Juni 2015
ANGELINE, bocah berparas ayu berusia 8 tahun
kelahiran Banyuwangi, membuat kita sebagai orangtua melinangkan air mata
sekaligus memendam kesedihan yang begitu mendalam.Angeline hadir sebagai
potret serta kristalisasi wajah pola pengasuhan anak di Indonesia yang masih
sarat dihiasi kekerasan fisik dan psikis.
Angeline ditemukan meninggal dan dikubur di
bawah pohon pisang di belakang rumah orangtua angkatnya, Margrieth, di
Denpasar, Bali.Sebelum jasadnya ditemukan pada 10 Juni 2015, Angeline
dilaporkan hilang pada 16 Mei 2015.
Ironisnya, hasil autopsi pihak kepolisian
menyatakan penyebab kematian Angeline ialah kekerasan atau semacam benturan
dengan benda tumpul di kepala. Bahkan, besar kemungkinan jasad Angeline
ketika ditemukan sudah terkubur sekitar satu minggu. Hal yang sangat
menyedihkan sekaligus menyayat hati.
Apa yang dialami Angeline bukan tidak mungkin
dialami banyak anak di Indonesia. Perlakuan yang menjurus ke arah kekerasan
kerap melanda anak-anak. Tercatat, berdasarkan data KPAI pada 2014, dari
Januari-September, jumlah kekerasan menembus angka 2.726 kasus. Jumlah angka
yang sangat fantastis. Karena itu, sangat wajar jika KPAI menetapkan 2014
sebagai tahun darurat kekerasan anak.
Ketika memasuki 2015, wajah kekerasan terhadap
anak bukan malah surut, justru sebaliknya, mengalami peningkatan dan pada
puncaknya kita dikejutkan dengan kematian Angeline. Lebih ironisnya,
kekerasan yang berujung pada kematian siswi kelas 2 SD Sanur itu terjadi di
Denpasar, sebuah kota yang belum lama ini dinobatkan sebagai kota layak anak
pada 2014 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Pertanyaan yang mendesak untuk diajukan
kemudian ialah apa yang bisa kita lakukan dalam merespons peristiwa tersebut?
Menurut saya, ada dua sudut langkah yang harus ditempuh sebagai upaya untuk
meminimalkan dan mengeliminasi semaksimal mungkin perilaku-perilaku kekerasan
terhadap anak.
Pertama, mengubah sudut pandang cara mendidik
anak. Hal itu penting mengingat masih sangat banyak orangtua yang belum
memiliki pemahaman yang mendasar bahwa seorang anak terlahir untuk menjadi
dirinya sendiri, tumbuh kembang berdasarkan kecenderungan, bakat, dan
ketertarikannya sendiri dalam menjalani kehidupan.
Banyak orangtua yang masih ingin memaksakan
keinginan mereka untuk membentuk anak. Keinginan orangtua agar si anak
menjadi ini dan itu kerap menyebabkan anak tidak nyaman dan bahkan stres. Pada
tahap itu, sesungguhnya kekerasan pada anak sedang dimulai.
Anak yang cenderung tidak nyaman mengikuti
keinginan orangtua biasanya melakukan perlawanan dengan dua cara dominan.
Pertama, ia diam dan pura-pura mengikuti sembari memendam dendam dan
ketidaksukaan terhadap perilaku orangtua. Kedua, ia melawan dengan cara
membangkang dan mengabaikan segala anjuran dan perintah orangtua.
Dua perlawanan itu sesungguhnya sama-sama
bermuara pada kekerasan terhadap anak dan tentu saja dengan varian dan jenis
kekerasan yang berbeda, tetapi memiliki dampak serta bahaya yang sama.
Perlawanan anak dengan cara diam biasanya akan
membuat anak bersikap murung dan menjadi pendiam sebagaimana yang terjadi
pada Angeline. Adapun perlawanan anak dengan cara membangkang biasanya
berujung pada pertengkaran fisik yang bermuara pada tindak kekerasan.
Saya sangat sepakat dengan Kahlil Gibran dalam
hal memandang anak. Ia dalam sebuah syairnya mengatakan “anakmu bukanlah anakmu, ia adalah putra-putri kehidupan.“ Ya, sejatinya
setiap bayi yang terlahir di muka bumi ini bukanlah anak orangtuanya, dalam
arti orangtua tersebut tidak boleh memaksakan keinginan mereka kepada
anak.Sebaliknya, bayi yang terlahir di dunia merupakan putriputri kehidupan.
Ia berhak dan merdeka untuk menjadi dirinya sendiri.
Besarnya keinginan agar anak menjadi
sebagaimana yang diinginkan oleh orangtua itulah yang rupanya membentuk gaya
dan cara mendidik yang salah. Anak dianggap nakal jika tidak menuruti
keinginan orangtua. Sebaliknya, anak akan dianggap baik jika ia selalu
menurut apa saja yang diinginkan orangtuanya.
Lebih jauh mengenai 0 anak tersebut,
menurut Emha Ainun Nadjib (2012) hal tersebut bisa dibuktikan dengan argumen
bahwa kebudayaan kita sampai hari ini masih menggolongkan jenis anak
berdasarkan dua kategori besar, yakni anak nakal dan anak baik. Anak yang
patuh dan cenderung pejah gesang nderek
oleh kebudayaan kita dianggap sebagai anak baik, sementara anak yang mencoba
untuk rasional dan memilih otoritasnya justru disebut sebagai anak nakal.
Padahal, menilai perilaku seorang anak tidak
bisa dilakukan dengan kerangka hitam putih sebagaimana yang kerap masih kita
lakukan tersebut. Anak yang cenderung selalu nurut belum tentu itu anak baik,
sebaliknya anak yang cenderung memiliki daya `perlawanan' tidak bisa dengan
begitu saja disimpulkan bahwa ia anak nakal.
Hal kedua yang penting untuk dilakukan ialah
memperberat hukuman bagi para pelaku tindak kekerasan. Kematian Angeline
merupakan momentum untuk menjadi pintu masuk guna meninjau kembali UU No
23/2002 tentang Perlindungan Anak. Pada UU tersebut, hukuman maksimal yang
dikenakan terhadap perilaku kekerasan terhadap anak hingga menyebabkan
kematian ialah denda sebesar Rp200 juta dan penjara maksimal 10 tahun.
Saya sepakat dengan pendapat yang menginginkan
agar hukuman yang ditimpakan kepada pelaku kekerasan terhadap anak hingga
berakibat pada kematian sang anak ialah hukuman yang setimpal, yakni hukuman
seumur hidup atau bahkan hukuman mati. Pasalnya, anak merupakan masa depan
bangsa. Membunuh anak sama artinya dengan membunuh masa depan bangsa. Karena
itu, pelakunya harus dihukum seberat-beratnya.
Dua langkah tersebut menurut hemat saya
penting dilakukan sebagai wujud nyata atas kepedulian kita terhadap wajah
pengasuhan anak di Indonesia. Jika tidak demikian, hampir bisa dipastikan
wabah serta virus kekerasan terhadap anak akan menjadi potret tunggal wajah
pengasuhan anak di Indonesia. Tentu saja kita semua tidak mau hal itu terjadi
kepada anak-anak kita. Wallahu a'lam
bisshawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar