Kamis, 04 Juni 2015

Tahun Pembinaan Pajak

Tahun Pembinaan Pajak

Yustinus Prastowo  ;   Direktur Eksekutif
Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Jakarta
KOMPAS, 04 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Di bawah bayang-bayang realisasi penerimaan pajak yang masih di bawah target, Presiden Joko Widodo mencanangkan Tahun Pembinaan Wajib Pajak pada 29 April 2015. Optimalisasi penerimaan pajak memang bukan proyek jangka pendek sekali jadi, terlebih berbagai warisan persoalan mendasar yang tak terselesaikan. Alih-alih terjebak dalam tekanan target tahunan, Presiden Jokowi seyogianya kembali ke visi Nawacita yang lebih menjanjikan perbaikan komprehensif. Jika ditempatkan dalam desain besar pembangunan sistem perpajakan, Tahun Pembinaan Wajib Pajak merupakan terobosan yang menjanjikan dan penting bagi reformasi sistem perpajakan.

Persoalan mendasar

Pemerintahan Jokowi mewarisi timbunan persoalan yang tak sederhana. Meski penerimaan perpajakan sumber penerimaan terbesar dalam APBN, mencapai 75 persen dari total penerimaan negara, nisbah penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) masih berkisar 12-13 persen atau  hanya naik 0,1 persen dalam rentang 2004-2014. Kondisi ini masih di bawah Filipina (14 persen), Malaysia (16 persen), Thailand (17 persen), Korea Selatan (25 persen), Afrika Selatan (27 persen), dan Brasil (34 persen).

Pertumbuhan penerimaan pajak pun semakin menurun dan hanya mampu tumbuh 6 persen tahun 2014. Artinya, kapasitas institusi perpajakan dalam memungut pajak menurun. Stagnasi pemungutan pajak juga ditunjukkan oleh tax coverage ratio (kemampuan memungut potensi yang ada) yang masih berkutat di kisaran 53,8 persen. Kondisi di atas diperparah oleh rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak. Alih-alih meningkat, pada 2014 hanya 9 juta wajib pajak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) dari seharusnya 18,4 juta wajib pajak, dan tak lebih dari 900.000 wajib pajak dengan status SPT kurang bayar.

Kurun 2004-2014 ternyata juga ditandai naiknya koefisien gini dari 0,32 menjadi 0,41 yang menunjukkan semakin lebarnya kesenjangan. Pada saat yang bersamaan Palma Index mencatat pangsa pendapatan 10 persen penduduk terkaya sebesar 2,08 kali pendapatan  40 persen penduduk termiskin (Anshory Yusuf: 2014). Ini berarti terjadi konsentrasi kekayaan dan pendapatan pada kelompok atas disertai kegagalan redistribusi pendapatan yang baik.

Di sinilah pajak lantas menjadi isu sentral. Pajak merupakan sarana mentransfer kekayaan dari the have ke the have not berdasarkan prinsip ability to pay- siapa yang memiliki kemampuan ekonomis lebih tinggi membayar pajak lebih besar. Namun, lagi-lagi keganjilan terjadi: kontribusi wajib pajak orang pribadi non-karyawan hanya sekitar Rp 5 triliun, sangat jauh di bawah kontribusi wajib pajak orang pribadi karyawan yang Rp 105 triliun. Lalu penerimaan PPN mencapai Rp 408,8 triliun atau 35,7 persen dari total penerimaan. Secara kasatmata sistem perpajakan kita belum mencerminkan prinsip keadilan karena baru berhasil memungut pajak dari kelompok yang relatif mudah dijangkau, dan belum maksimal menyasar hard to tax sector seperti orang pribadi usahawan, sektor UKM, dan ekonomi informal.

Tiga agenda besar

Peta masalah di atas dapat dijadikan pijakan bagi perumusan kebijakan dan strategi perpajakan jangka menengah yang berkelanjutan dan kokoh. Setidaknya ada tiga agenda besar yang harus diperhatikan dan dituntaskan pemerintah.

Pertama, penegasan visi keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam UU Perpajakan. Tanpa disadari, visi keadilan sudah menjauh dari praktik perpajakan Indonesia. Hal ini disebabkan kita terlena oleh beban target penerimaan yang tinggi. Roh UU Perpajakan seyogianya dikembalikan kepada visi Reformasi 1983: peneguhan self assessment system sebagai wujud kegotongroyongan yang ditopang penghormatan hak wajib pajak,  optimalisasi fungsi pembinaan dan bimbingan oleh fiskus, penegakan hukum untuk meningkatkan kepatuhan pajak, dan penegasan prinsip ability to pay yang tecermin dalam progresivitas tarif dan optimalisasi insentif pajak sebagai instrumen kebijakan sosial.

Kedua, desain ulang kelembagaan dan arsitektur fiskal. Pemisahan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan merupakan cita-cita sekaligus janji Jokowi. Lebih dari itu, desain ulang kelembagaan tak boleh hanya berhenti pada pemisahan Ditjen Pajak, tetapi pemastian bahwa institusi perpajakan bekerja secara profesional, akuntabel, dan transparan. Selain itu, tata kelembagaan perpajakan yang baru harus mampu memastikan koordinasi antarlembaga yang baik, termasuk akuntabilitas redistribusi pendapatan melalui belanja publik yang berkualitas.

Ketiga, perbaikan administrasi yang komprehensif. Perbaikan sistem administrasi yang sedang dilakukan wajib mendapat dukungan penuh karena pemungutan pajak yang optimal mengandaikan ketersediaan data dan sistem administrasi yang baik. Implementasi single identification number (SIN) tidak dapat ditawar dan ditunda lagi. Formulasi kerja sama Ditjen Pajak-PPATK-OJK untuk memastikan akses fiskus ke transaksi keuangan mencurigakan perlu segera dibuat. Terakhir, inisiasi kebijakan peta tunggal (one map policy) sebagai basis pemajakan yang akurat.

Presiden Jokowi dihadapkan pada belantara persoalan yang tidak mudah sekaligus horizon peluang yang menjanjikan harapan. Ia telah mengawali dengan perbaikan remunerasi pegawai pajak dan mengeluarkan Inpres Perlindungan Hukum bagi petugas pajak-dua keberpihakan simbolis yang nyata.

Dalam konteks inilah Tahun Pembinaan Wajib Pajak sebaiknya ditempatkan. Bukan pertama-tama untuk mengejar target penerimaan 2015, melainkan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pajak bagi kemandirian bangsa dan pembiayaan pembangunan, memperluas partisipasi publik, membangun kepercayaan timbal balik dengan warga negara, dan memperkuat kerja sama dan koordinasi kelembagaan. Pembenahan sistem perpajakan merupakan batu uji kesetiaan Jokowi pada visi Trisakti karena dalam sistem perpajakanlah tecermin kualitas demokrasi, kematangan politik, dan kemandirian ekonomi. Kita kelak akan berbangga, Indonesia sejahtera itu kita bangun dengan jerih payah pajak sebagai batu penjurunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar