Prospek Industri Halal Lifestyle
Sapta Nirwandar ; Praktisi
Dunia Pariwisata
|
KORAN SINDO, 15 Juni 2015
Di berbagai konferensi
dan pertemuan yang diselenggarakan negara-negara Organization of Islamic Cooperation (OIC) atau biasa kita kenal
dengan nama Organisasi Kerja sama Islam (OKI), pembicaraan mengenai halal lifestyle kian ramai.
Pembicaraan tersebut diperbincangkan organisasi yang beranggotakan 59 negara
tersebut dalam konferensi-konferensinya yang diadakan baik di negara yang
mayoritas penduduknya muslim atau negara-negara yang penduduk muslimnya
relatif kecil seperti Thailand, Korea, Jepang, Australia. Halal lifestyle
telah menjadi tren, bahkan ada istilah halal
is a brand.
Kalau kita terjemahkan
secara umum halal lifestyle berarti
gaya hidup halal. Dalam perspektif Islam kata halal disampaikan dengan
thayyiban : “halalan thayyiban“
berarti halal dan baik yang bermakna secara akidah (spiritual) gaya hidup yang sesuai dengan ajaran Islam dan berarti
juga sesuatu yang baik. Contohnya gaya hidup yang halal dan baik adalah
memakan makanan yang halal (halal food).
Makanan halal berarti juga baik (good
food) dan sehat (healthy food).
Tentu makanan halal dapat juga dikonsumsi oleh nonmuslim sehingga makanan
halal (halal food) itu tidak
eksklusif bagi umat Islam saja, tetapi menjadi inklusif bagi seluruh manusia rahmatan lil alamin.
Thailand yang hanya 5%
jumlah penduduk muslimnya menghasilkan 25% dari total ekspor adalah produk
makanan halal ke negara-negara OIC. Korea Selatan mampu mengekspor produk
kosmetika (USD89 juta pada 2013) obat-obatan (USD299,8 juta pada 2013) dan
baru-baru ini Korea Selatan membuka sekitar 150 restoran besertifikat halal.
Demikian pula Jepang mengembangkan makanan halal di perusahaan besarnya
seperti Ajinomoto, Asahi Beverage, Umakane dan bahkan di sektor farmasi dan
kosmetik. Dalam meningkatkan pelayanan di Bandara, Jepang telah mendirikan
musala bagi kaum muslimin di bandara Haneda.
Kontribusi Ekonomi Global
Dalam laporan State of the Global Islamic Economy
(2014- 2015) yang dikeluarkan Thomson Reuters dan Dinar Standard, sektor
utama (core sector) halal lifestyle
(halal food, halal travel, clothing and
fashion, pharmaceutical and cosmetics, media recreation serta keuangan
dan perbankan) cukup besar dan diperkirakan akan meningkat.
Kontribusinya dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini. Nilai sektor industri halal food pada tahun
2013 mencapai USD 1.292 miliar dengan pertumbuhan global mencapai 21,2% dan
diperkirakan nilainya pada 2019 akan mencapai USD2.357. Nilai sektor industri
halal travel pada tahun 2013 mencapai USD140 miliar dengan pertumbuhan global
mencapai 11,6% dan diperkirakan nilainya pada 2019 akan mencapai USD238.
Nilai clothing and fashion nilainya
(2013) mencapai USD266 dengan pertumbuhan 11,9% dan diperkirakan pada 2019
nilainya 4USD488 miliar. Industri
pharmaceutical and cosmetics halal pada 2013 mencapai USd72 miliar
diperkirakan mencapai USD103 miliar pada 2019 dengan pertumbuhan 6,6%.
Media and recreation pada 2013 bernilai USd185 miliar dengan
pertumbuhan global 5,5% akan mencapai USD301 miliar pada 2019. Terakhir
industri finance and bank halal
pada 2013 mencapai USD1.214 miliar dengan pertumbuhan global 14% diperkirakan
pada 2019 nilainya mencapai USD4.178 miliar.
Dari data di atas
dapat kita baca bahwa produk dan jasa halal mempunyai pertumbuhan yang tinggi
dalam ekonomi global. Kebutuhan dan gaya hidup kaum muslimin tidak saja besar
dalam kuantitas tetapi juga dalam bentuk produk dan jasa yang berkualitas,
kemampuan daya beli sebagian besar umat Islam di negara anggota OIC juga
tinggi, PDB negaranegara OIC lebih dari USD6,7 triliun dolar.
Bisnis Global
Penduduk muslim dunia
dewasa ini yang mencapai 1,6 miliar yang merupakan 25% dari total penduduk
dunia (6,8 miliar) dengan PDB sebesar USD6,7 triliun dalam satu tahun. Dengan
pertumbuhan mencapai 6,3% per tahunnya di negara-negara OIC, kondisi ini
sebenarnya merupakan peluang bisnis global. Sayangnya sebagian penyedia
produk dan jasa yang dibutuhkan kaum muslimin disediakan dan diproses
sebagian besar oleh bukan negara-negara OIC. Penyedia (penyuplai) daging
sapi, kambing, dan ayam bagi negara-negara OIC adalah Australia, Selandia
Baru dan Brasil. Adapun untuk negara penghasil produk olahan multinasional
adalah seperti Nestle (Swiss), Carrefour (Prancis), Saffron Road (USA), Tesco
(UK), ARMAN (China) dan Marrybrown (Malaysia).
Demikian pula negara
produsen terbesar untuk pakaian muslim, China, produk media recreation dikuasai oleh Singapura. Indonesia baru dikenal
sebagi produsen mi instan (Indomie) dari Indofood dan menguasai kawasan Timur
Tengah dan Afrika.
Dari data-data di atas
dapat dikatakan bahwa negara-negara non OIC-lah yang hingga saat ini melayani
supply chain produk dan jasa halal.
Negara-negara OIC lebih banyak hanya menjadi konsumen produk dan jasa
tersebut.
Tantangan ke Depan
Tantangan bagi
negara-negara OIC terutama Indonesia tentunya harus memberikan iklim yang
kondusif bagi tumbuhnya industri produk dan jasa halal. Tentunya harus
didukung dengan standar produk dan jasa halal serta sertifikasi secara
sistematis dan terpadu dari hulu hingga hilir.
Untuk sertifikasi
halal bagi negara OIC diperlukan saling menghargai proses sertifikasi di
negara-negara OIC yang dilakukan oleh negara masing masing (mutual recognition), dengan demikian
produktivitas dan inovasi dari produkproduk dan jasa halal di negara OIC bisa
terus ditingkatkan dan berkembang.
Dari perspektif
pelayanan kepada wisatawan mancanegara dan wisatawan Nusantara, halal lifestyle/produk dan jasa halal
merupakan tambahan pelayanan, extended
services. Dari sisi bisnis juga memperluas jangkauan bisnis, oleh karena
itu Singapura, Malaysia, Korea, dan lain-lain sudah menyediakan panduan
online maupun offline/guide book
bagi traveller muslim yang
berkunjung ke negara-negara tersebut sebagai tambahan pelayanan.
Sudah saatnya bagi
pebisnis Indonesia memperluas usaha dalam sektor halal lifestyle yang sangat
prospektif baik bagi kebutuhan Indonesia maupun negara-negara OIC.
Angka-angka di atas telah menjawab prospektif tersebut. Indonesia tentu tidak
lagi menjadi konsumen tetapi bisa menjadi produsen. Lebih lagi Indonesia
mempunyai sumber daya alam dan lahan yang relatif luas untuk pertanian,
perkebunan dan peternakan serta perikanan terutama ikan dan laut.
Tantangan ke depan
sudah waktunya kita susun program yang semakin terarah dan terintegrasi untuk
pengembangan halal lifestyle.
Kebijakan dan regulasi pemerintah yang memberikan lingkungan yang kondusif,
dukungan dari sektor keuangan bank dan keuangan syariah maupun konvensional
harus dipadukan untuk memberikan peluang bisnis bagi pengusaha Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar