Inklusivitas
Pendidikan Tinggi
Moh Nasih ; Guru
Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis;
Wakil Rektor II Universitas Airlangga
|
JAWA POS, 03 Juni 2015
PENDIDIKAN tinggi
adalah salah satu jalan untuk mengurangi kemiskinan struktural dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Memperluas aksesibilitas kelompok masyarakat miskin
dalam menikmati layanan pendidikan tinggi merupakan salah satu cara memotong
rantai kemiskinan (vicious circle of
poverty). Lulusan SMA dari keluarga miskin yang melanjutkan pendidikan
tinggi akan memberikan harapan bagi keluarga tersebut menikmati kesejahteraan
yang lebih baik. Lulusan perguruan tinggi mempunyai peluang yang lebih besar
untuk bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Kondisi saat ini
menunjukkan bahwa akses lulusan SMA untuk bisa menikmati pendidikan tinggi
masih sangat terbatas. Pada 2010, 77 persen lulusan SMA belum mendapatkan
kesempatan menikmati bangku kuliah atau hanya sekitar 23 persen yang
melanjutkan ke perguruan tinggi. Indikator anak usia sekolah/kuliah (19–24
tahun) ditunjukkan oleh angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi masih
minim. APK di perguruan tinggi pada 2010 masih 23 persen. Pada 2014,
pemerintah menargetkan 33 persen. Kondisi itu menyebabkan profil pekerja
berpendidikan tinggi hanya 9,8 persen (Februari 2013) sehingga meningkatkan
indeks daya saing nasional Indonesia sangat berat.
Persoalan rendahnya
APK di jenjang perguruan tinggi merupakan kombinasi dari faktor penawaran (supply) dan permintaan (demand). Dari faktor penawaran,
terkait dengan terbatasnya jumlah perguruan tinggi dengan sebaran yang tidak
merata, keterbatasan infrastruktur, dan keterbatasan sumber daya manusia,
khususnya tenaga dosen. Dari sisi permintaan, terkait dengan keterjangkauan
lokasi perguruan tinggi dengan calon peserta didik, ketidakmampuan keuangan
dari keluarga calon peserta didik yang menyebabkan secara akademik mereka
tidak mampu bersaing dengan kalangan berkemampuan, dan hilangnya kesempatan
untuk bisa membantu kondisi keuangan keluarga dengan segera.
Kombinasi dari faktor
penawaran dan permintaan tentu harus dicarikan jalan keluar yang
komprehensif. Kemampuan memahami faktor penyebab rendahnya APK di jenjang
perguruan tinggi akan bisa memberikan rekomendasi yang efektif untuk
meningkatkan aksesibilitas lulusan SMA dalam menikmati bangku kuliah. Masalah
dari sisi penawaran harus diselesaikan dengan meningkatkan aksesibilitas dan
menambah kapasitas. Sedangkan masalah dari sisi permintaan, memberikan
insentif kepada keluarga miskin agar mampu mengakses layanan bagi
anak-anaknya serta program afirmasi lain sejenis.
Harus diakui,
pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan akses masyarakat
kepada pendidikan tinggi. Beberapa upaya itu, antara lain, pertama, ekspansi
kapasitas PTN, melalui pembangunan infra struktur, peningkatan jumlah dosen,
dan biaya operational. Kedua, pendirian beberapa PTN baru di berbagai daerah.
Ketiga, melalui upaya konversi beberapa PTS menjadi PTN. Tetapi, masalah dari
sisi penawaran tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah semata. Menuntut
pemerintah, menambah jumlah perguruan tinggi dan kapasitas bangku kuliah
tidaklah bijaksana di tengah keterbatasan ruang fiskal yang dimiliki.
Dari sisi internal,
perguruan tinggi juga bisa berkontribusi mengatasi persoalan aksesibilitas
layanan pendidikan tinggi bagi keluarga tidak mampu. Keunggulan
intelektualitas dari SDM di kampus harus dipacu untuk menghasilkan inovasi
yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbagai inovasi, secara
kelembagaan maupun produk, akan bisa menguatkan kapasitas internal perguruan
tinggi dalam berkontribusi bagi dunia pendidikan nasional.
University Holding
Salah satu strategi
dalam meningkatkan kapasitas internal di perguruan tinggi melalui university holding. Perguruan tinggi
dengan beragam aset dan intellectual
capital yang dimiliki harus mampu dikelola secara optimal. Pengelolaan
aset tersebut harus dilakukan secara profesional dengan menggunakan prinsip
korporasi.
Perbedaan university holding dengan entitas
bisnis murni atau sektor swasta terkait dengan pemanfaatan laba usaha.
Korporasi swasta menggunakan laba usaha untuk kepentingan pengembangan bisnis
dan Pemilik. Sedangkan pada university holding, margin yang dihasilkan
diarahkan untuk menguatkan kapasitas keuangan universitas agar bisa
memperluas layanan pendidikan kepada mahasiswa dari keluarga miskin. Margin
yang diperoleh bisa digunakan untuk memberikan insentif kepada dosen untuk
melakukan inovasi melalui berbagai riset unggulan mandiri yang bermanfaat
bagi masyarakat. Dengan demikian, perguruan tinggi tidak lagi menyandarkan
dana riset dari pesanan instansi pemerintah, BUMN, maupun swasta, apalagi
uang kuliah mahasiswa.
Universitas Airlangga
yang memiliki 14 fakultas, sekolah pascasarjana, dan beragam unit strategis,
serta unit teknis pendukung mempunyai potensi untuk mengembangkan university holding. Berbagai hasil
penelitian di bidang kesehatan, pengobatan tradisional, dan bioteknologi
merupakan contoh nyata produk unggulan bagi university holding. Keberadaan kepakaran dan berbagai aset
produktif di lokasi strategis bisa dikelola secara profesional untuk
mendukung inklusivitas pendidikan di Universitas Airlangga.
Endowment Fund
Berbagai kampus besar
di luar negeri selalu mememiliki dana abadi (endowment fund), baik yang berasal dari sumbangan berbagai yang
dikelola secara profesional oleh seorang fund manager sehingga bisa
memberikan imbal hasil yang optimal. Endowment
fund bisa berasal dari pihak eksternal yang mempunyai kerja sama dengan
kampus, alumni, maupun berbagai hibah dari lembaga internasional.
Perguruan tinggi harus
lebih didorong untuk mengembangkan konsep endowment fund agar tidak
menyandarkan beban biaya operasional dari pemerintah dan SPP mahasiswa. Jika
hal itu serius dilakukan, kemandirian berbagai kegiatan kampus bisa dilakukan
Prinsip
kemandirian harus mulai menjadi pijakan seluruh pengelola perguruan tinggi.
Prinsip kemandirian melalui program university
holding maupun endowment fund
tidak ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan stakeholder internal semata.
Tujuan akhir yang harus dicapai adalah perguruan tinggi yang bisa memberikan
layanan pendidikan tinggi kepada masyarakat luas, termasuk keluarga miskin.
Jika paradigma tersebut digunakan, inklusivitas pendidikan tinggi tidak sulit
dicapai. Semoga!!! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar