Pemiskinan
Makna
Mudji Sutrisno ; Budayawan
|
KORAN SINDO, 06 Juni 2015
Ketika Nusantara
menghayati kehidupan dengan memuliakannnya dan merayakannya melalui festival
dan ritual, maka di situ yang berharga dari kehidupan dihayati sebagai makna.
Apa maksudnya?
Orang-orang sebagai
pelaku mengusahakan untuk menimba kebenaran dari kehidupan, merumuskannya
melalui bahasa mitos, dongeng, peribahasa dan pepatah untuk dipakai menjadi
acuan agar menjalani kehidupan secara bijaksana dalam realitas alam. Maka,
usaha menyelaraskan diri dengan kenyataan Nusantara serta 400 gunung berapi dan
aktif 127 di antaranya, dicoba hayati dengan benar melalui membaca
tanda-tanda alam, siap menyelamatkan diri ketika meletus.
Namun karena siklus
berdekade-dekade waktu yang mengalami suburnya tanah setelah letusan, maka
rasa terima kasih selalu diucapkan semisal di lereng-lereng gunung Merapi,
Merbabu, Sumbing, Sindoro dalam tari, nyanyi dan seni ritual syukur atas
suburnya humus tanah berkat vulkanologi.
Orang belajar memahami
ekspresi gunung-gunung dan hidup bersama dalam selaras menyelaraskan sehingga
kebenaran alam gunung diwujudkan ritus syukurnya dengan kebaikan berbagi ke
sesama manusia. Ini di kala Merapi melepaskan energi panasnya diartikan oleh
satu pihak sebagai membagi milik kekayaan kesuburan dalam magma panas dan di
lain pihak memberi kesuburan untuk hidup bagi para penduduknya.
Sisi kebaikan yang
memberi dan membagi inilah menjadi inspirasi dasar bahwa pemilikan yang
serakah tidak cocok dengan pasang surutnya ancaman hidup dan anugerahnya yang
dicerna sebagai kebijaksanaan hidup hanyalah ”mampir minum”, maka pemilikan
akan menghalangi ziarah panjang lepas diri menuju moksa tanpa beban ikatan.
Menghayati kehidupan
untuk memberinya arti bagi diri dan komunitasnya merupakan tindakan atau laku
kebudayaan. Manusia sebagai the
signifying actor atau si pemberi makna pada tindakannya dalam relasi
dengan alam, realitas sekitar, dan dalam hubungannya dengan sesama manusia,
setiap kali dipanggil untuk memberi makna baru pula pada tindakan memuliakan
kehidupan.
Bila para penghuni
gunung-gunung berani dihadapkan tiap kali pada soal bencana letusan yang
berwajah kematian dan sesudahnya kesuburan tanah yang berwajah kehidupan,
maka mau tidak mau akan memproses kedalaman diri yang merenungi siapakah sang
pemilik kehidupan dan siapakah penentu kematian.
Di sinilah rasa
religius terbentuk dan menjadi embrio kesadaran akan Yang Ilahi, pencipta
kehidupan. Barangkali dalamproseslamadanterusmenerus berhadapan dengan
ancaman kehidupan yaitu ketidakkekalan dalam rupa kematian serta dambaan akan
tetap abadi dalam ruh meski raga bisa hancur menjadi asal muasal kepercayaan
pada yang transenden, yang dalam istilah Rudolf Otto disebut Yang Suci.
Lalu Otto mencoba
merangkumkan pengalaman manusia berhadapan dengan Yang Ilahi itu sekaligus
rasa gemetar ketakutan sebagai numinosum dan rasa tertarik untuk
menjemputnya, menangkapnya sebagai fascinans.
Relasi dengan alam yang bergunung berapi dan menyikapinya dengan mencari
makna dan memberi arti merupakan usaha hidup berdampingan dengan alam.
Relasi antar-sesama
manusia dan kesadaran akan sumber hidup atau Sang Pencipta, pelan-pelan
mengendap dalam kesadaran religius sebagaimana para ahli ilmu perbandingan
agama menamainya religi bumi atau keyakinan kosmis. Rumusan alam dan yang numinosum menggetarkan dan menarik
untuk menyembah-hormati dalam yang fascinans lalu dirumuskan sederhana
menegaskan alam kosmik sebagai punya jiwa alias animisme.
Dan alam kosmis
memiliki daya hidup yaitu dinamisme yang merupakan sekadar contoh antara
menghayati dalam laku tindakan di alam serta usaha merumuskan pengalamannya.
Selanjutnya secara logika dikotomik dibagilah hitam putihnya biner kehidupan
dalam yang spiritual dan yang material.
Kehidupan sendiri
dirumuskan dalam logika bagi dua yaitu hasil dan proses. Dengan kata lain,
bisa disimpulkan bahwa yang berharga dari kehidupan itu bisa diperlawankan
dalam logika biner, yaitu yang bermakna dan yang tidak bermakna; yang benar
dan yang tidak benar atau salah. Lalu Thomas Aquinas memaknai baru paham
kehidupan sebagai realitas dari Aristoteles dalam ranah yang berharga, yang
bermakna, maka kehidupan manusia ini punya sisi dasarnya yaitu kebenaran.
Memiliki pula ranah
kebaikan dan terakhir ranah keindahan. Kehidupan yang ada dan sedang kita
hayati ini sekaligus bila dihayati dengan menangkap artinya akan sekaligus
benar, baik dan indah. Makna kebenaran menjadi sumber perkembangan ilmu
pengetahuan. Makna kebaikan dari kehidupan menjadi eksplorasi pengembangan
etika. Keindahan kehidupan menjadi sumber pengembangan estetika.
Ketika kesadaran
menghayati kehidupan menjadi nilai (baca: berharga, bermakna) maka muncul
kesadaran budaya memuliakan dan merayakan kehidupan. Ketika nilai-nilai itu
dikerdilkan dan dimiskinkan maka yang terjadi adalah pemiskinan makna.
Menjadi sadar akan pemiskinan makna menuntut pembacaan mata budi dan hati
terhadap fenomena-fenomena pemiskinan makna di sekitar hidup kita.
Fenomena-fenomena
pemiskinan makna, kita jumpai di mana-mana. Pemiskinan makna dari nilai
(reduksi) menggejala dalam pemiskinan makna dari nilai-nilai pokok hidup,
awalnya menggejala dalam rancu acuan nilainilai lalu menjadi pengering makna.
Pertama, yang spirit atau immaterial sudah direduksi nilainya
menjadihitunghitungan material yaitu uang.
Kesukarelaan tanpa
ganti imbalan uang semakin tidak ditemukan lagi dalam keseharian hidup.
Kedua, esensi hidup sebagai proses direduksi dalam ”jalan pintas”, mau
hasilnya tidak mau keringatnya. Ranah atau wilayah politik dari cita-cita
kenegarawanan dan politik sebagai ikhtiar perjuangan hidup bersama lebih
sejahtera direduksi menjadi politik rebutan kekuasaan dan kursi.
Etika politik
perjuangan kesejahteraan rakyat atau publik dengan nafas untuk menuju
keadilan dan kemakmuran serta merawat kemajemukan dan keikaan telah direduksi
menjadi rebutan kuasa untuk kepentingan ego pribadi dengan kelompok tanpa
etika. Ketiga, indikasi reduksionis nilai sebagai harga dan makna acuan
perilaku dan putusan hidup telah direduksi penghayatannya menjadi sekadar
kognitif, pengetahuan, hafalan. Akibatnya tiada terjadi proses pembatinan
disgesti (memamahbiaknya lembu).
Keempat, direduksinya
penghayatan etis tentang yang baik menjadi ajaran-ajaran moralitas teks
tulis. Hidup direduksi dalam moralitas hitam-putih, baik dan buruk; neraka
dan surga tanpa penghayatan hidup yang semestinya disyukuri kepada Sang
Pencipta dalam suka dan duka. Akibatnya, legalisme dihayati radikal dalam
ketakutan akan hukuman neraka membuat indikasi-indikasi puritanisme saat di
ruang doa namun di hidup sehari-hari punya wajah lain.
Kelima, disempitkannya
kekayaan multidimensi kehidupan publik hanya dalam ruang publik ciptaan.
Baudrillard menegaskan bahwa dalam dunia maya melalui revolusi teknologi
informasi dan revolusi digital, ”ruang hidup dimampatkan bahkan dilipat
seperti kertas”. Sehingga tiada lagi ruang nyata natural untuk berhening,
bersyukur secara alami dalam ruang-ruang ceria alami nyata digunung-gunung
yang indah dan tak lagi hirup udara segar di taman-taman bunga nyata.
Keenam, reduksi waktu.
Waktu dimampatkan dalam contoh nyata sekaligus mengendarai mobil di jalan
menyetir dan mendengarkan musik pada saat yang sama melihat televisi mobil
dan ber-SMS menggunakan ponsel. Dampak reduksi waktu ini adalah tiadanya lagi
atau habisnya waktu hening untuk mengolah pengalaman hidup.
Semua informasi
berhamburan ke mata dan telinga dengan kecepatan kilat sehingga tak ada waktu
sunyi untuk mengheningi arti dan makna hidup.Maka penghayatan waktu sebagai
aliran arus untuk merasakan dengan hati, menimbang dengan budi jernih telah
”dilipat mampat” tanpa pengendapan apalagi pendalaman makna peristiwa hidup.
Kesemuanya bersumber
hasrat. Sumbernya ini yang harus dikendalikan oleh budi jernih dan nurani.
Victor E Frankl di ranah-ranah budaya menunjukkan hasrat-hasrat untuk terus
hidup dalam tiga jenis. Hasrat untuk mencari dan memuasi nikmat (will to pleasure), hasrat berkuasa (will to power = bahasa populernya
syahwat kekuasaan), hasrat untuk mencari dan memberi makna pada hidup (will to significance).
Orientasi nilai proses
telah diperpendek oleh materialisme, uang, kenikmatan, kekuasaan sehingga
hasrat yang ketiga untuk makna nyaris tidak diberi ruang untuk hidup. Penting
sekali untuk mampu mengendalikan hasrat. Pengalaman Bung Hatta menemukan
pentingnya rasionalitas budi sebagai pengendali ketika mengalami koyak dan
keadaan parah di pembuangan Boven Digul sehingga tertulislah Alam Pikiran
Yunani untuk mas kawin Rahmi Hatta, ya untuk bangsa Indonesia agar
”kedaulatan budi” dan daulat diri menyelesaikan mentalitas Inlander koeli dan
budak.
Hasrat untuk konsumsi
terus inilah yang dipacu oleh konsumerisme. (bangsa produktif abad 7-9 dengan
Borobudur, Budhisme Sriwijaya yang menyumbang produktif kreatif untuk Tibet,
untuk Ayyuttaya Thailand, Cambodia dengan Lingga-Yoni di Ankor Watt kini nyaris
melenyap. Dan, kita jadi pasar konsumsi mulai dari makanan, sandang,
elektronik bahkan music-musik hiburan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar