Bung
Karno, NU dan Kokohnya NKRI
M Hanif Dhakiri ; Aktivis NU; Menteri Ketenagakerjaan RI
|
KORAN SINDO, 06 Juni 2015
Ketika memberikan
sambutan pada Muktamar Ke-23 Nahdlatul Ulama, 28 Desember 1952 di Solo, Jawa
Tengah, Presiden Sukarno (Bung Karno/BK) menyatakan: ”Saya cinta sekali
kepada Nahdlatul Ulama (NU)”. Dan BK menyatakan sangat gelisah jika ada yang
mengatakan bahwa dia tidak cinta kepada NU.
Mengapa BK begitu
cinta dan dekat dengan NU? Menurut BK, karena antara NU dan dirinya memiliki
kesamaan visi, ideologi dan cita-cita yang fundamental. Menurut BK, NU adalah
organisasi keagamaan yang terbuka dan dinamis. Di dalamnya ada berbagai
pendapat yang berkembang dan terus dilestarikan, sehingga NU memperkokoh
fakta dan kultur kebinekaan masyarakat.
Kedua, sebagaimana BK,
NU juga organisasi keagamaan yang berwatak nasionalis. Menurut BK, NU ikut
dalam revolusi kemerdekaan. NU ikut berkorban, berjuang, membanting tulang
dan mengucurkan darah untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia,
mempertahankannya dan mempersatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Sementara, ada organisasi lain yang tidak membantu terbentuknya negara
Indonesia yang kuat, tapi justru menggerogotinya.
Ketiga, menurut BK, NU
adalah organisasi yang bervisi sosialis, yaitu suatu visi yang menentang
sistem yang menghisap manusia kepada manusia lain. Bahkan BK menilai, dalam
pandangan NU, sosialisme merupakan cita-cita sejati dari ajaran Islam.
BK dan NU memang
ibarat dua sisi mata uang. NU berangkat dari pemikiran dan tradisi
keagamaannya yang terbuka dan dinamis, secara terus-menerus memperkokoh
bangunan negara-bangsa melalui pribumisasi Islam; di mana Islam diposisikan
sebagai etika sosial yang memberi warna dan makna pada budaya masyarakat yang
ada, yang pada akhirnya menjadi kokohlah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang majemuk dari segi agama, keyakinan dan budaya.
Sementara BK, berangkat
dari nasionalisme dan mimpi revolusinya, bersama masyarakat yang disebut
marhaen atau ”abangan” dalam terminologi Clifford Geertz secara terusmenerus
berusaha memperkuat NKRI menjadi negara yang berdaulat secara politik,
mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Jauh sebelum Indonesia
merdeka, masyarakat santri yang menjadi cikal bakal NU dan masyarakat
marhaen-abangan sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat selama berabad-abad.
Masyarakat santri atau Islam tradisional berkembang bersama dan menyatu
dengan kultur masyarakat marhaen abangan yang sudah ada. Kultur masyarakat
yang ada sendiri menjadi semakin kuat dan bermakna karena ada suntikan
nilai-nilai Islam rahmatan lil
Islam rahmatan alamin. Hubungan saling menguatkan ini pada akhirnya membentuk Islam
Nusantara yang kokoh yang mampu bertahan dari gempuran nilai-nilai Barat yang
dibawa kaum penjajah, serangan kaum Islam puritan, atau terjangan nilai-nilai
modern yang dibawa globalisasi, sampai saat ini.
Bersatunya kaum
tradisionalis Islam dan masyarakat marhaen-abangan merupakan fondasi paling
kokoh atas peradaban Nusantara dan tegaknya NKRI sampai saat ini. Kedekatan
kaum tradisionalis Islam dengan masyarakat marhaenabangan bukanlah ”koalisi
karena kebutuhan sementara” (marriage
of inconvenience), bukan juga sekadar hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence), tetapi menyatu
dalam berbagai manifestasi kebudayaan, di mana keduanya saling mengisi, memberi
dan menerima (take and give) dan
pada akhirnya saling menguatkan.
Itulah genealogi
historis-ideologi yang bisa menjelaskan kedekatan antara Islam tradisional
dan masyarakat marhaenabangan, yang kemudian dibuktikan juga dengan kedekatan
kiai-kiai NU dengan BK. Simak misalnya ketika terjadi perdebatan mengenai
dasar negara pada Sidang BPUPKI tahun 1945. BK dan NU bisa dikatakan dalam
posisi yang sama, setidaknya NU-lah yang selalu menjembatani perdebatan
antara BK dengan kelompok yang menentang pemikiran-pemikirannya.
Suatu ketika pernah
Presiden Sukarno bertanya kepada Kiai Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri
NU: ”Pak kiai, apakah nasionalisme itu
termasuk ajaran Islam?”. Kiai Wahab menjawab, ”Nasionalisme ditambah bismillaah itulah Islam. Kalau Islam
dilaksanakan dengan benar pasti umat Islam akan nasionalis.”
Kemudian, pada 21-22
Oktober 1945, untuk merespons mendaratnya pasukan sekutu di Surabaya dan
beberapa pelabuhan lain di Indonesia, ulama NU berkumpul di Surabaya untuk
membicarakan langkah-langkah yang diperlukan. Dalam pertemuan itu, hal paling
penting yang dibahas adalah status hukum NKRI berdasarkan Pancasila yang
diproklamasikan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Setelah melalui
pembahasan selama dua hari, akhirnya diputuskan bahwa NKRI berdasarkan
Pancasila adalah sah secara fikih. Karena itu, umat Islam wajib
mempertahankan kemerdekaan dan mengusir tentara sekutu. Kewajiban ini
merupakan perang suci (jihad) dan hukumnya fardu fardu ain bagi mereka yang
tinggal dalam radius 90 km dari keberadaan tentara sekutu.
Keputusan NU yang
kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad
itu sangat melegakan BK sebagai presiden yang baru di negara yang juga baru
berdiri. Ini sekaligus membuktikan bahwa visi nasionalisme NU sangat kuat dan
nyata, seperti diakui oleh BK sendiri. Puncaknya, ketika terjadi
pemberontakan terhadap NKRI yang dilakukan oleh golongan Islam ”modernis”,
terjadi pembangkangan terhadap kepemimpinan BK, maka NU berada di garis depan
memberi jaminan kepada BK bahwa ”semua
gerakan yang melawan pemerintahan yang sah adalah makar (bughat). Karena
statusnya menurut hukum agama (fikih) adalah makar, maka pemerintah wajib
menumpas.”
Bahkan, NU kemudian
memberi gelar kepada BK sebagai ”penguasa sementara dengan kekuasaan penuh” (waliyyul amri ad-dharuri bis-syaukah),
sebagai legitimasi kepada BK selaku kepala negara yang sah dan, oleh
karenanya, ipso facto harus
dipatuhi dan ditaati oleh semua golongan, termasuk umat Islam.
Begitu dekat dan
cintanya kepada NU, sampai BK saat memberikan sambutan pada Muktamar Ke-23 NU
di Solo tersebut menyatakan: ”Meski
harus merayap, saya akan datang ke Muktamar ini. Agar orang tidak meragukan
kecintaan dan kedekatan saya dengan NU”.
Telah puluhan tahun NU
marhaen bersatu dalam jiwa dan berbagai manifestasi budaya. Orang seperti BK
dianggap sebagai pemimpin bagi warga NU. Sementara para tokoh dan ulama NU
juga dianggap sebagai pengayom oleh kaum marhaen. Persatuan keduanya telah
menjadi inti kekuatan Nusantara di masa lalu dan NKRI di masa kini. Meminjam
kalimat Snouck Hurgronje, ”Islam
tradisional dan kaum marhaen di Indonesia yang kelihatannya demikian statis
dan demikian kuat terbelenggu oleh pikiran-pikiran masa lalu, sebenarnya
telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental. Tetapi
perubahan-perubahan tersebut demikian bertahap-tahap, demikian rumit dan
demikian dalam tersimpan. Itulah sebabnya bagi para pengamat yang tidak kenal
dengan pola pikiran Nusantara, maka perubahan-perubahan tersebut tidak akan
bisa terlihat, walaupun sebenarnya terjadi di depan matanya sendiri, kecuali
bagi mereka yang mengamatinya secara seksama ”.
Selamat memperingati
hari lahir BK, 6 Juni 1901 - 6 Juni 2015. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar