Mineral Nikel, SDA yang Memikat Dunia
Mudi Kasmudi ; Praktisi Industri, Energi, dan Pertambangan
|
KORAN SINDO, 20 Juni 2015
Indonesia dikenal
sebagai negara dengan sumber daya alam (SDA) mineral dan energi yang
melimpah. Indonesia pernah merasakan kejayaan sebagai negara eksportir minyak
yang sekarang bergeser menjadi net importer minyak bumi dan pernah merasakan
kejayaan sebagai negara eksportir LNG nomor satu dunia dan sudah digeser
posisinya oleh negara lain.
Tetapi, yang tidak
banyak diperbincangkan masyarakat umum adalah kita pernah menjadi salah satu
negara eksportir barang tambang mentah terbesar dunia. Berdasarkan UU Mineral
dan Batubara (Minerba) No 4/2009 yang diberlakukan efektif pada Januari 2014,
pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan pemegang izin usaha pertambangan
khusus (IUPK) operasi produksi diwajibkan melakukan pengolahan dan pemurnian
hasil penambangan di dalam negeri.
Sebelum diberlakukan
UU Minerba, banyak kapal-kapal besar dari berbagai negara seperti China,
Jepang, Australia, dan Eropa berlabuh di daerah Sulawesi, Maluku, Kalimantan,
Papua untuk membawa barang tambang ke negaranya untuk diproses pemurnian.
Setelah 12 Januari 2014, daerah tambang mineral seperti bauksit, pasir besi,
nikel, tembaga, dan tambang lainnya mendadak sunyi. Pelabuhan tempat
kapal-kapal besar yang berlabuh untuk mengangkut barang tambang juga sepi.
Walaupun konsentrat tembaga masih diizinkan oleh pemerintah dengan
persyaratan khusus.
Dengan sepinya
aktivitas pertambangan, perekonomian daerah-daerah pertambangan mineral
langsung turun tajam. Kontraktor pertambangan banyak yang tutup, sewa dan
penjualan alat berat dalam negeri turun. Di samping itu juga, negara
kehilangan pendapatan dari royalti, pajak, dan bea keluar sekitar USD9,2
miliar. Nilai tersebut apabila dikonversi dengan asumsi kurs APBNP 2015
(Rp12.500 per USD) setara dengan 6,5% total pendapatan negara pada APBNP
2015. Dampak total perekonomian, termasuk dampak pada pendapatan perusahaan
tambang, sangat besar.
Nikel Indonesia
Cadangan nikel
Indonesia nomor enam dunia setelah Australia, New Kaledonia, Brasil, Rusia,
dan Kuba (USGS, 2015). Menurut Bloomberg (April, 2015), berdasarkan data dari
Bea Cukai China, pada 2013, Indonesia mengekspor bijih nikel (nickel ore)
sebesar 41,1 juta ton. Jumlah tersebut setara dengan 450.000 ton nikel murni
apabila diolah oleh smelter di dalam negeri.
Sebelum 2014 China
mengimpor lebih dari 50% kebutuhan bijih nikel dari Indonesia. Setelah
berlakunya UU Minerba, posisi Indonesia diambil alih oleh Filipina walaupun
kualitas bijih nikel Indonesia lebih baik dari Filipina. Dengan kualitas
mineral yang baik, itulah mengapa negara lain mengimpor bijih nikel dari
Indonesia.
Nikel digunakan di
industri untuk pembuatan battery, plating, paduan, dan stainless steel (baja
tahan karat). Konsumsi nikel dunia, 70% diperuntukkan untuk bahan stainless
steel, di mana menurut International Stainless Steel Forum (ISSF-2014),
produsen stainless steel dunia pada 2013 adalah China (50%), Uni Eropa (19%),
Asia selain China (23%), Amerika (6%), dan 2% sisanya adalah negara lain.
Dari data di atas, konsumsi nikel terbesar dunia adalah China.
Konsumsi dan produksi
nikel dunia, tren pertumbuhannya selalu naik dari tahun ke tahun. Sekalipun
dunia mengalami berbagai krisis dan guncangan ekonomi seperti : krisis minyak
dunia yang pertama (1973), krisis minyak dunia yang kedua (1979), Perang
Teluk (1990), krisis Asia (1998), Resesi Dunia (2001), krisis finansial dunia
(2008), tetapi tren pertumbuhan tahunan produksi stainless steel dunia pada
1950-2013 selalu positif yaitu 5,53% (ISSF-2014).
Komoditas nikel
diperdagangkan pada London Metal Exchange (LME), dan sebagaimana komoditas
lainnya, harga mengalami naik dan turun. Sejak 2004 sampai 2014 harga
rata-rata tertinggi pada 2007 yaitu USD37.000 dolar per ton. Salah satu
faktor pendorongnya, pada masa itu China sedang membangun besar-besaran
infrastruktur menjelang Olimpiade Beijing 2008.
Di kuartal pertama
2015, harga nikel masih lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Sekalipun
harga nikel turun, minat investasi smelter tetap tinggi. Hal ini karena
menurut perkiraan analis seperti Macquarie, Citi Research, dan analis lainnya,
harga pada 2015 dan selanjutnya akan terus naik.
Pembangunan Smelter
Indonesia sejak
1970-an sudah mengoperasikan smelternikel yaitu Inco dan PT Antam Tbk (BUMN),
keduanya berada di Sulawesi. Pada 2014 telah beroperasi PT Indo Ferro (Growth
Sumatra Group) di Banten dan yang baru tahun ini adalah smelter Tsingshan
Group di Sulawesi. Kapasitas bijih nikel yang diolah oleh dua smelter yang
baru beroperasi tersebut masih jauh jika dibandingkan total ekspor bijih
nikel pada 2013.
Indonesia masih
memerlukan investor untuk membangun smelter lebih banyak. Tetapi, untuk
membangun smelter dengan kapasitas 450.000 ton nikel per tahun, sangatlah
sulit dilakukan selama tiga sampai lima tahun ke depan. Hal ini karena
investasi membangun smelter di luar Jawa memerlukan investasi yang sangat
mahal, mengingat rendahnya dukungan infrastruktur.
Investasi smelter di
luar Jawa, termasuk infrastruktur dan pembangkit sekitar USD25.000 dolar
sampai USD50.000 per ton nikel, tergantung teknologi yang digunakan dan
lokasi. Sekiranya total kapasitas yang hendak dibangun untuk semua smelter
hanya diambil 50%-nya (250.000 ton nikel per tahun) selama lima tahun ke
depan, dibutuhkan total investasi sebesar USD6,25 miliar sampai USD12,5
miliar (Rp156,25 triliun). Sekiranya setelah berproduksi harga diasumsikan
USD20.000 per ton, pendapatan penjualan mencapai USD5 miliar per tahun. Suatu
jumlah yang sangat besar untuk menggerakkan pembangunan ekonomi nasional.
Banyak kendala untuk
merealisasikan pembangunan smelter di Indonesia, terutama masalah pendanaan.
Pendanaan proyek besar umumnya harus mempunyai equity sebesar 30-40% dari modal sendiri, sedangkan sisanya dari
pinjaman bank. Di samping itu, untuk pinjaman besar, manajemen risiko bank
juga membutuhkan persyaratan yang ketat dan tidak sedikit. Selain masalah
pendanaan, yang diperlukan oleh investor dari pemerintah pusat maupun daerah
adalah memberi dukungan yang sangat besar dan tidak memberatkan para
investor.
Indonesia harus segera
memberikan jalan bagi industri smelter
nikel, sebelum daya saing nikel Indonesia dikalahkan oleh Filipina, karena Filipina
berencana mengikuti langkah Indonesia dengan melarang barang tambang mentah
diekspor dan mewajibkan untuk diolah di dalam negeri. Bila tidak, kesempatan
akan diambil negara lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar