Merombak Perum Bulog
Sapuan Gafar ;
Mantan Wakil Kepala Bulog
|
KOMPAS, 16 Juni 2015
Menarik untuk menyimak
”di balik” keinginan Presiden Joko Widodo yang akan merombak ”fungsi” Perum
Bulog (Kompas, 28/5/2015). Apakah hanya akan menambah komoditas atau sekadar
mengganti direksi atau ada alasan strategis lain? Catatan ini mudah-mudahan
membantu memahami kemauan Presiden itu.
Sebenarnya Presiden
Megawati Soekarnoputri sudah melihat jauh ke depan nasib Bulog. Pada tahun
2003, Presiden Megawati merombak bentuk Bulog dari yang sebelumnya lembaga
pemerintah nondepartemen (LPND) menjadi perum. Presiden Megawati melihat
Bulog harus diselamatkan. Apabila tetap sebagai LPND, Bulog hanya menjadi
lembaga di tingkat pusat, sedangkan cabangnya di provinsi dan kabupaten
diserahkan kepada pemerintah daerah, seperti Badan Koordinasi Keluarga
Bencana Nasional (BKKBN). Perum Bulog diberi waktu lima tahun untuk
menyiapkan diri menjadi perusahaan yang kegiatannya tidak tergantung dari
tugas pemerintah.
Namun, sampai detik
ini, Perum Bulog kegiatannya masih menggantungkan diri pada tugas-tugas
pemerintah. Di lain pihak, kompetitor Bulog bergerak dengan cepat berkembang
dan sekarang sudah mulai ”mendikte” pasar. Buktinya, ketika Presiden Jokowi
mengeluarkan Inpres No 5 Tahun 2015 dengan menetapkan harga pokok pembelian
(HPP) untuk gabah kering panen Rp 3.700 per kilogram, mereka memasang harga
di atas Rp 4.000. Ketika pengadaan seret, pemerintah panik dan akhirnya
berujung pada penggantian direksi Perum Bulog yang baru bekerja tiga bulan
setelah Inpres Perberasan terlambat diteken.
Presiden Megawati
mungkin masih merasakan pahitnya pengalaman Presiden Soekarno ketika didikte
oleh monopoli/oligopoli kalangan penggilingan/ pedagang besar tahun 1960-an.
Bayangkan, pada Januari 1965 harga beras masih sekitar Rp 300 per kilogram.
Akibat ulah kalangan penggilingan/pedagang besar, harga bergerak naik dan
pada bulan Desember mencapai Rp 1.760, sehingga memicu krisis politik yang
membuat kedudukan Presiden Soekarno goyah.
Belajar dari
pengalaman Presiden Soekarno tersebut, Presiden Soeharto memperkenalkan
teknologi penggilingan padi kecil dengan sistem rubber roll (rol karet) untuk mengupas gabah dan menyosoh beras
dengan jalan memasukkan ratusan penggilingan padi kecil itu untuk menyaingi
penggilingan padi besar. Sementara untuk ”menandingi” kekuatan pedagang
swasta dibentuk Bulog yang diberi otoritas penuh untuk mengendalikan harga
sehingga bisa bergerak cepat. Sekarang otoritas inilah yang ”hilang” dari
Bulog, semuanya harus minta izin atau seizin pemerintah pusat atau daerah.
Bangkitnya swasta
dalam investasi penggilingan dan gudang sebenarnya mulai terlihat awal tahun
2000-an. Kemudian, tahun 2010 swasta besar mulai tertarik untuk terjun di
perdagangan dan penggilingan gabah/beras. Selanjutnya, tahun 2012 Bulog mulai
merasakan kesulitan mendapatkan gabah/beras. Indikasinya adalah penggilingan
padi terpadu (PPT) yang memiliki fasilitas lengkap dan jaringan pasar sendiri
mulai berebut di pasar gabah dan beras. Yang jelas, PPT pasarnya bukan untuk
Bulog.
Kemudian, penggilingan
padi besar (PPB) yang pasarnya adalah pasar antardaerah dan antarpulau ikut
”rayahan” bahan baku gabah/beras. PPB yang dulu merupakan mitra Bulog dalam
pengadaan sekarang sudah merupakan pesaing Bulog, dan PPB yang bermitra
dengan Bulog juga semakin sedikit. Bagaimana kuatnya PPB sebagai kompetitor
Bulog tergambar, misalnya, seperti di Yogyakarta, untuk satu penggilingan
besar omzetnya ada yang mencapai 75.000 ton beras setahun, melebihi
penyerapan Divisi Regional Bulog DIY yang hanya sekitar 40.000 ton setahun.
Padahal, terdapat empat penggilingan besar di Yogyakarta.
Sekarang tinggal
penggilingan padi kecil (PPK). Mereka umumnya mencari margin harga yang baik
sehingga jelas Bulog akan kalah. Sisanya adalah penggilingan padi kecil
sederhana (PPKS) dan penggilingan padi kecil keliling (PPKL) yang menjadi
andalan Bulog untuk memasok beras. PPKS dan PPKL umumnya merupakan huller
yang kita kenal hasil olah berasnya mengandung butir patah tinggi. Oleh karena
itu, banyak keluhan dari penerima raskin akan kualitas beras yang
diterimanya, apalagi beras seperti ini juga tidak tahan disimpan lama.
Merombak fungsi
Pada dasarnya fungsi
Bulog ada empat macam, yaitu (1) awalnya sebagai penyedia pangan/beras bagi pegawai
pemerintah, TNI/Polri, dan buruh perkebunan sejak zaman Belanda sampai tahun
1999; (2) sebagai stabilisator harga sejak 1969 sampai kini; (3) ditambah
lagi sebagai stok penyangga yang secara resmi diumumkan mulai tahun 1973
jumlahnya minimal tiga bulan kebutuhan dan lebih diperjelas penganggarannya
tahun 1985; (4) sebagai penyedia beras untuk keluarga miskin mulai tahun 1998
sampai sekarang.
Keinginan Presiden
Jokowi untuk merombak fungsi Bulog mungkin dilatari juga oleh ”aspek lain”
setelah melihat Bulog mendapat kesulitan untuk membeli beras dalam negeri dan
”dipermainkan” oleh pasar beras pada Februari 2015.
Dengan semakin
kompetitifnya pasar gabah/beras di dalam negeri, sebenarnya persoalan jaminan
harga untuk petani produsen sudah selesai. Falsafah dasar kerja Bulog the
buyer of the last resort atau pembeli terakhir apabila sudah tidak ada
pembeli lagi, maka tugas pemerintah selesai. Namun, karena Bulog perlu
menjaga stok cadangan minimum dan pemerintah telanjur mengeluarkan pendapat
tidak ada impor beras, akhirnya pemerintah bingung sendiri. Bulog pun
akhirnya dipaksa membeli 4 juta ton beras walaupun harganya sudah tak cocok
lagi.
Fungsi baru Bulog
Sebenarnya keadaan
Bulog yang sulit membeli gabah/beras sudah dirasakan sejak tahun 2005. Ketika
itu harga beras mulai terus-menerus bergerak naik. Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kurun 2004-2009
menaikkan HPP rata-rata 15 persen per tahun. Saat ini harga beras di
Indonesia sudah dua kali harga beras di Bangkok dan 2,5 kali harga beras di
Vietnam, sedangkan subsidi sektor pertanian per hektar juga sudah melebihi
negara maju. Tragisnya lagi, semua itu tidak dirasakan oleh petani.
Bagaimana keluar
dari karut-marut keadaan ini? Pertama, fungsi Bulog untuk
menjaga harga di tingkat petani sudah tidak relevan lagi, dan juga harga
berasnya sendiri di dalam negeri sudah demikian tinggi. Daripada membatasi
gerak Perum Bulog untuk membeli gabah/beras, maka mulai sekarang diumumkan
tidak ada inpres perberasan lagi. Bulog dibiarkan bertarung di pasar sehingga
akan diketahui harga pokok secara riil. Misalnya nanti harga pokok Bulog Rp
10.000 per kilogram dan kemampuan pemerintah memberikan subsidi untuk raskin
dan operasi pasar hanya Rp 5.000, maka harga jual Bulog adalah selisihnya.
Oleh karena Bulog merupakan pembeli terbesar, agar tak terjadi eskalasi
kenaikan harga, maka diberikan panduan kapan Bulog berhenti membeli
gabah/beras, misalnya kenaikan harga eceran tidak boleh lebih dari 20 persen
dari rata-rata harga yang lalu.
Kedua, Bulog diberi otoritas penuh untuk menentukan besaran impor dan
kapan harus impor, di mana ini sudah barang tentu atas keputusan presiden.
Penentuan kebutuhan impor tidak perlu melibatkan kementerian pertanian yang
sudah pasti pendapatnya bias. Termasuk penentuan impor beras kualitas khusus
hanya melalui Bulog, walaupun nanti izinnya dari menteri perdagangan. Yang
diperbolehkan berbicara soal impor beras hanya Presiden. Masalah seperti ini
pasti banyak yang tidak sepakat, tetapi jika mau efektif mengendalikan beras,
sistemnya harus seperti itu.
Ketiga, Bulog diberi kewenangan penuh untuk melakukan operasi pasar
beras, tidak harus melibatkan kementerian perdagangan dan pemerintah daerah.
Sistem seperti yang ada selama ini tidak efektif menekan harga, terlalu banyak
birokrasi dan wacana. Cara ini pun pasti tidak disenangi oleh kementerian
perdagangan dan pemerintah daerah. Sekali lagi yang dihadapi adalah pasar
dengan perilaku yang selalu mengambil keuntungan di antara keruwetan. Untuk
itu pemerintah harus mempunyai kriteria yang jelas kapan Bulog harus
melakukan operasi pasar, misalnya kalau harga sudah naik 20 persen.
Keempat, agar tugas Perum Bulog efektif dan tidak terlalu menabrak
kesepakatan antara regulator dan operator, jabatan direktur Perum Bulog
dirangkap badan yang mengurus cadangan pangan. Sebenarnya, sesuai dengan UU
Pangan No 18 Tahun 2102, belum terdapat lembaga yang menangani masalah
cadangan pangan, diversifikasi pangan, dan pembinaan pola kebiasaan makan.
Oleh karena itu, agar lebih fokus, disarankan dibentuk Badan Koordinasi
Cadangan Pangan yang tugasnya mengoordinasikan cadangan pangan pemerintah dan
membina cadangan pangan masyarakat, termasuk memantau cadangan pangan
masyarakat.
Apabila Kepala Badan
Koordinasi Cadangan Pangan merangkap jabatan sebagai Dirut Perum Bulog (dua
tangan satu kepala), maka fungsinya mirip Bulog pada zaman Soeharto yang kuat
dan dapat bertindak cepat. Sesuai dengan UU Pangan yang baru, diamanatkan
untuk membentuk lembaga pangan. Namun, berdasarkan pengalaman, badan baru
pangan selalu menimbulkan friksi dengan Bulog, belum lagi friksi dengan
kementerian yang lain. Sesuatu yang ideal belum tentu dapat berjalan dengan
baik.
Fungsi ”baru” Bulog
yang kelima adalah sebagai ”penyeimbang” swasta, seperti dilakukan Conasupo
(Bulog-nya Meksiko) tahun 1980-an, yaitu sebagai countervailing agent menghadapi kuatnya swasta.
Kalau hanya menambah
komoditas atau mengganti direksi tanpa otoritas, dipastikan tidak akan
efektif. Fungsi baru Perum Bulog memerlukan penguasaan stok yang lebih besar,
dan mendapat prioritas dalam impor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar