Jebakan Dana Aspirasi
Yuna Farhan ;
Penyintas peristiwa penculikan
aktivis pro-demokrasi 1998; Anggota Dewan Pengurus IKOHI; Program Officer
Senior untuk HAM dan Demokrasi INFID
|
KOMPAS, 16 Juni 2015
Upaya DPR mengusulkan
program pembangunan daerah pemilihan senilai Rp 15 miliar-Rp 20 miliar per
anggota menuai reaksi keras banyak kalangan.
Beberapa anggota DPR
bahkan turut mengkritik usulan dana aspirasi yang diperkirakan akan
menghabiskan Rp 11,2 triliun per tahun ini.
Perlu dicatat, dana ini
pernah diusulkan tahun 2010 untuk diajukan pada APBN 2011, dengan besaran
yang tidak jauh berbeda, Rp 15 miliar per anggota. Meskipun usulan ini kandas
setelah publik bereaksi keras, diam-diam praktik ini terus berlangsung. Kasus
suap Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) yang menimpa anggota Badan
Anggaran mengonfirmasi adanya praktik ini.
Praktik ini juga lazim
berlangsung di banyak daerah. Perseteruan Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD
berkaitan dengan ”dana siluman” pada pembahasan RAPBD DKI Jakarta 2015
merupakan salah satu bentuk ”dana aspirasi”. Di banyak daerah, umumnya dana
ini berbentuk bantuan sosial ataupun program pembangunan yang bisa
dialokasikan DPRD untuk konstituen di daerah pemilihannya.
Di beberapa negara
berkembang praktik ini umumnya dikenal dengan nama Constituency Development Fund (CDF). Tercatat, pada 2010
sekurangnya terdapat 23 negara berkembang di Asia dan Afrika yang
mengimplementasikan CDF (International
Budget Partnership, 2010).
Kebanyakan negara yang
menerapkan praktik ini adalah negara dengan sistem parlementer, yang diduga
terkait dengan lemahnya peran parlemen pada sistem ini dalam mengubah
anggaran. Tentunya ini tidak berlaku di Indonesia, di mana DPR dijamin
undang-undang untuk mengubah proposal anggaran pemerintah, baik dari sisi
pendapatan maupun belanja, sepanjang tidak melebih defisit 3 persen.
Alasan yang mengemuka
perlunya dana aspirasi juga hampir sama. Dengan dana aspirasi, legislator
dapat merespons cepat kebutuhan konkret konstituen pada daerah pemilihannya.
DPR juga beralasan, adanya dana ini dapat memangkas rantai birokrasi
perencanaan penganggaran yang dianggap kerap mengabaikan kebutuhan masyarakat
dan mengakselerasi pembangunan serta ketimpangan daerah.
Jebakan
Jika ini yang
dijadikan alasan, seharusnya bukan dana aspirasi yang menjadi proposal
kebijakan DPR. Perbaikan sistem perencanaan penganggaran yang menjawab
kebutuhan masyarakat dan sistem dana perimbangan yang seharusnya menjadi
agenda utama perbaikan. Alih-alih mengatasi persoalan disparitas antardaerah,
dana aspirasi dengan model pukul rata setiap daerah pemilihan dengan
keputusan pengalokasian di tangan anggota DPR justru akan merusak sistem dana
perimbangan.
Publik juga akan
menilai, kelahiran dana aspirasi adalah penanda dari kegagalan DPR dan partai
politik dalam melakukan peran sebagai saluran agregasi dan artikulasi
aspirasi. Sejatinya, jika peran ini berjalan, masih terdapat anggaran yang
hampir mencapai Rp 2.000 triliun pada APBN yang harus dikritisi DPR sebagai
manifestasi fungsi anggarannya.
Ekses negatif yang
mungkin timbul, DPR sama saja bunuh diri karena kehilangan daya kritisnya
terhadap proposal anggaran yang diajukan pemerintah. DPR disibukkan mengurus
dana aspirasi untuk daerah pemilihan masing-masing.
Dana aspirasi juga berdampak
pada terjadinya perubahan pola relasi DPR dengan konstituennya. Dari pola
relasi yang bersifat demokratis, di mana DPR seharusnya merepresentasikan
kepentingan konstituen pada ranah kebijakan nasional, ke arah relasi
clientelistic, di mana DPR dinilai dari seberapa banyak program pembangunan
di daerah pemilihannya.
Bukan tidak mungkin,
masyarakat akan beralih menuntut DPR untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di
daerahnya ketimbang kepada pemerintah. Tidak mengherankan jika pemerintah
dapat saja mengalihkan tanggung jawab tuntutan pembangunan kepada DPR.
Legalisasi dana aspirasi
Pengakuan beberapa
anggota, lahirnya Pasal 80 Huruf j UU No 17 Tahun 2014, untuk mengurangi
kecemburuan dana aspirasi yang selama ini tidak dinikmati secara adil
terhadap semua anggota. Hanya anggota yang berada di alat kelengkapan
strategis, seperti badan anggaran dan komisi yang bersentuhan dengan
pelayanan publik langsung, yang dapat menikmati dana aspirasi.
Publik mungkin saja
tak akan resisten jika diskursus program pembangunan daerah pemilihan tidak
melulu soal berapa dana yang dianggarkan dan pukul rata setiap anggota.
Legalisasi hak anggota DPR untuk mengusulkan program pembangunan daerah
pemilihannya perlu dimaknai sebagai cara untuk mengatasi praktik perburuan rente
dan meningkatkan fungsi anggaran DPR dengan fungsi representasi yang melekat
di dalamnya.
Untuk menghindari
jebakan dana aspirasi, tim yang dibentuk Badan Legislasi untuk merumuskan
mekanisme hak DPR dalam mengusulkan program pembangunan daerahnya tidak
berkutat soal alokasi yang dikhususkan untuk ini.
Hak mengusulkan
program pembangunan daerah pemilihan harus diletakkan dalam konteks fungsi
anggaran yang lebih luas pada keseluruhan APBN agar bermanfaat bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang diwakilinya. Agar konstituen dapat
menilai sejauh mana anggota DPR daerah pemilihannya telah memperjuangkan
aspirasinya, tim yang dibentuk Badan Legislasi ini perlu merumuskan mekanisme
transparansi dan akuntabilitas.
Misalnya, setiap
usulan oleh DPR yang berakibat pada perubahan usulan anggaran yang diajukan
pemerintah perlu disampaikan kepada publik. Dengan demikian, sistem ini
memungkinkan bagi publik untuk menilai apakah usulan itu sejalan dengan
aspirasi konstituen atau tidak.
Pengalaman
negara-negara yang menerapkan CDF atau dana aspirasi menunjukkan sulitnya
gurita persoalan dana ini dihilangkan. Hasil penelusuran IBP (2010),
misalnya, mengungkapkan berbagai laporan mengenai praktik korupsi dan
manipulasi politik terkait dengan penerapan CDF. Oleh karena itu,
penerjemahan sempit hak mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan
sebagai dana aspirasi tak ayal bisa menjerumuskan DPR dalam cengkeraman
praktik koruptif tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar