Mengelola Laju Inflasi
Mukhamad Misbakhun ; Anggota
Komisi XI DPR RI
|
KORAN SINDO, 16 Juni 2015
Beberapa bulan
terakhir kondisi ekonomi makro terusik oleh nilai tukar rupiah yang merangkak
tajam hingga menyentuh level Rp13.329 pada awal Juni 2015.
Lemahnya nilai tukar
tersebut bahkan menghampiri nilai rupiah saat krisis moneter 1998 sebesar
yang mencapai Rp16.650.
Pemerintah memandang,
gejolak nilai tukar rupiah lebih disebabkan sentimen eksternal. Isu-isu
global terkait perbaikan fundamental ekonomi Amerika Serikat hingga
kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga, serta kondisi ekonomi negara-negara
investor yang sedang tidak stabil menjadi faktor signifikan.
Meski demikian,
kondisi makroekonomi tidak sepatutnya sekadar disandarkan pada kondisi
eksternal yang justru bisa diprediksi. Gejolak nilai tukar rupiah akan
menjadi persoalan jangka panjang tatkala pemerintah tidak mampu melakukan
pengelolaan yang baik. Apalagi, Bank Indonesia berperan dalam kebijakan
moneter sebagai penjaga inflasi, suku bunga, dan stabilisator nilai rupiah.
Dampak inflasi bahkan
telah menjadi persoalan serius bagi perekonomian. Inflasi yang tinggi membuat
BI enggan menurunkan “BI rate “. Akibatnya, perbankan pun tidak mampu
menurunkan suku bunga kredit. Cost of
fund yang mahal juga menjadi penyebab surat utang pemerintah harus juga
memberikan imbalan bunga yang tinggi. Pada gilirannya, semua dampak bermuara
pada inflasi yang tinggi akibat pengelolaan stabilitas yang tidak cukup
serius.
Pada Mei 2015 inflasi
mencapai 0,50%, lebih tinggi dibanding kondisi Mei 2014 yang mengalami
inflasi 0,16%. Meski asumsi makro APBN-P 2015 menetapkan target inflasi
sebesar 5,3% serta Bank Indonesia (BI) menargetkan inflasi 2015 sebesar 4%
plus minus 1%, inflasi pada Mei 2015 sebesar 0,5% sepatutnya memperoleh
perhatian serius.
Bank Indonesia
mengakui realisasi inflasi pada Mei 2015 di atas perkiraan.
Tingkat inflasi pada
bulan yang sama tahun sebelumnya cenderung lebih tinggi yakni 0,36% pada
2014. Kondisi ini menunjukkan bahwa laju inflasi secara tahunan (yer on year) mencapai 7,15% yang
juga lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 6,79%.
Secara teoritis,
realisasi inflasi menandakan ada kenaikan atau tarikan permintaan (demand pull inflation) dan desakan
biaya (cost push inflation).
Data BPS mencatat
inflasi pada Mei 2015 dipengaruhi oleh kenaikan indeks pada komponen inti (core) 0,23%, komponen yang harganya
diatur pemerintah (administered prices)
0,38% dan komponen bergejolak (volatile)
1,52%. Sementaraitu, inflasi Mei 2015 berasal dari sumbangan inflasi komponen
inti 0,13%, barang/jasa yang harganya diatur pemerintah memberikan sumbangan
inflasi 0,08%, dan komponen bergejolak sebesar 0,29%.
Berdasarkan data
tersebut, kenaikan angka inflasi karena peningkatan harga bahan makanan
bergejolak (volatile food).
Peningkatan inflasi volatile food terutama
terjadi pada komoditas cabai, daging, telur ayam ras, bawang merah, dan
bawang putih. Dengan perkembangan realisasi inflasi Mei 2015 tersebut, BI
menilai bahwa target inflasi 2015 di kisaran 4% plus minus 1% masih dapat
dicapai.
Catatan penting dari
realisasi inflasi pada Mei 2015 adalah angka tersebut di atas rata-rata
inflasi historis pada Mei dalam lima tahun terakhir. Tekanan inflasi
diperkirakan akan terus berlanjut jelang Ramadan dan Lebaran yang jatuh pada
Juni dan Juli. Apalagi tren penaikan inflasi pada umumnya lebihdisebabkan
oleh faktor musiman berupa lonjakan harga makanan pokok pada bulan puasa.
Belum lagi pengalaman
realisasi target inflasi yang tidak memenuhi dan mencapai target dalam lima
tahun terakhir. Pada konteks ini kita menanti langkah-langkah strategis
apakah yang disiapkan pemerintah dan BI dalam menekan laju inflasi yang
potensinya sudah terlihat di depan mata.
Instrumen Pengendali
Rapat koordinasi Tim
Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang dipimpin langsung Presiden Joko
Widodo beberapa waktu lalu menyiratkan upaya serius dalam merespons tekanan
inflasi. Sejumlah kepala daerah, jajaran kabinet kerja, serta gubernur BI
dituntut melakukan pembenahan sistem distribusi pangan yang bertujuan untuk
mengendalikan inflasi hingga bisa mencapai target yang telah ditetapkan oleh
bank sentral. Upaya pengendalian juga dimaksudkan untuk ketersediaan pasokan,
keterjangkauan harga, kelancaran distribusi, dan komunikasi yang intensif di
antara tiga pihak tersebut.
TPID sebagai salah
satu pilar pengendali inflasi dituntut kesiapannya agar berbagai dampak
kebijakan pemerintah terhadap inflasi dapat dikelola secara baik. Dengan lebih
dari 80% inflasi nasional dipengaruhi oleh daerah, kehadiran TPID bukan
sekadar pelengkap struktur. TPID harus tertantang untuk berjalan efektif di semua
daerah, khususnya di daerah yang punya kecenderungan inflasi tinggi. Pada
sisi proses, mendorong daerah untuk melakukan inisiatif dalam pengendalian
daerah juga harus terus dikembangkan.
Memang harus diakui
kondisi dan masalah-masalah inflasi sangat beragam di tiap daerah sehingga
dibutuhkan penanganan khusus dan sinergi dengan daerah lain serta dengan
pemerintah pusat. Namun, di tengah perlambatan ekonomi di Indonesia, jika
TPID mampu bekerja maksimal, pemerintah mampu memitigasi risiko yang ada.
BI memiliki mandat
dalam menjaga kestabilan nilai tukar yang tercermin dari inflasi. Apabila
inflasi bisa dijaga rendah dan stabil, suku bunga akan turun. Pertanyaannya,
apakah langkah-langkah BI dalam menjalankan mandatnya tersebut sudah berjalan
optimal yang tercermin dari turunnya laju inflasi? Pertanyaan itulah yang
perlu terus didengungkan agar dampak inflasi tinggi yang jahat tersebut
menggerogoti penghasilan masyarakat.
Sudah saatnya BI
berperan lebih nyata dalam kehidupan masyarakat, khusus berkontribusi dalam
upaya mencapai kemakmuran. BI boleh saja berdiri independen dalam proses
pengambilan kebijakan, namun tidak boleh independen dalam tujuannya. Tujuan
untuk memakmurkan bangsa harus juga menjadi tujuan dan cita-cita BI sebagai
bank sentral.
Manajemen pengendalian
inflasi yang dilakukan oleh BI sebagai penanggung jawab dan penjaga
stabilitas inflasi harus memaksimalkan instrumen besar yang dimilikinya,
khususnya cadangan devisa dan surplus agar dapat digunakan. Di samping itu,
pengendalian inflasi juga membutuhkan penguatan koordinasi serta sinergi yang
kuat, utamanya dengan pemerintah pusat dan daerah.
Saat melakukan peran
penjagaan stabilitas, BI mendapatkan keuntungan dari pengelolaan dana
cadangan yang sekaligus merupakan sumber pendapatan. Dengan demikian,
keseriusan BI dalam mengelola laju inflasi seharusnya dilakukan dengan
menggunakan sebagian dana tersebut untuk tujuan pengelolaan inflasi.
Hal tersebut dilakukan
dengan memasuki pasar-pasar melalui instrumen TPID demi memperkuat cadangan
besar untuk pendanaan beras, daging, minyak goreng, tepung terigu, bawang
merah, dan cabai. Upaya ini bisa menggunakan lembaga Bulog atau lembaga lain
yang disepakati bersama. Hambatan legalitas dalam proses pengelolaan tersebut
dapat dilakukan dengan dukungan DPR agar tidak menuai persoalan legalitas dan
legitimasi.
Semua upaya tersebut
dilakukan dalam rangka menjaga laju inflasi sehingga tidak menjadi “momok”
menakutkan yang setiap saat mengancam untuk merampok uang rakyat. Pada
gilirannya, inflasi yang tidak terkendali akan berujung pada kesengsaraan
rakyat. Sebaliknya, inflasi juga merupakan instrumen penting dalam rangka
menstimulus pertumbuhan ekonomi itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar