Melampaui
Kutub Arab dan Iran
Fajar Riza Ul Haq ; Direktur Eksekutif Maarif Institute
|
KOMPAS, 06 Juni 2015
Indonesia adalah rujukan bagi Afganistan. Keberhasilan memadukan
demokrasi dan Islam melalui proses transisi politik yang damai menjadi alasan
utama.
Pengakuan itu dilontarkan seorang aktivis pro demokrasi
Afganistan, Kawa Aahangar, kepada penulis saat menjadi pembicara tamu dalam "Workshop Islam dan Demokrasi"
di Kolombo, 5-7 Mei 2015. Kawa adalah sepupu dari tokoh Mujahidin Afganistan,
Ahmad Shah Massoud, yang tewas dibunuh Al Qaeda pada September 2001.
Massoud merupakan komandan perang yang berhasil mengusir pasukan
Uni Soviet dari "Negeri Mullah" itu. Ia percaya pada demokrasi,
salah satu faktor yang membuatnya dimusuhi Taliban dan Al Qaeda.
Workshop yang difasilitasi International
Foundation and Electoral System (IFES) dan Search for Common Ground itu diikuti para pegiat pemilu dan
demokrasi dengan latar belakang Muslim dari Maladewa dan Sri Lanka. Islam
agama resmi negara di Maladewa, nyaris 100 persen penduduknya Muslim.
Adapun Sri Lanka dihuni Etnik Sinhala (82 persen), Sri
Lanka-Tamil (4,3 persen), India-Tamil (5,1 persen), dan Sri Lanka-Moro (7,9
persen). Meski dari sisi jumlah, populasi Etnik Sinhala merupakan mayoritas,
distribusi kewilayahan etnisitasnya cukup cair. Negeri mayoritas berpenduduk
Buddha ini masih berupaya merekonsiliasi hubungan etnik dan menyelesaikan
persoalan HAM pasca konflik berkepanjangan.
Keberadaan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dengan
populasi penduduk Muslim-nya mencapai dua pertiga membuat para pegiat
demokrasi di kedua negara tersebut terkagum-kagum. Mereka menilai, gambaran
kehidupan demokrasi di Indonesia berbeda dari Malaysia yang selama ini
dijadikan referensi "negara ideal" untuk pemeluk Islam, di samping
negara-negara Timur Tengah. Direktur Search
for Common Ground Sri Lanka dan Maladewa Muhamed Nawaz menyebut,
komunitas Muslim membayangkan mereka seakan tinggal di negara Islam meskipun
hidup di lingkungan mayoritas Sinhala-Buddhis.
Di sisi lain, sentimen anti Islam dari kelompok ekstrem Bodu
Bala Sena telah memicu kerusuhan Juni 2014 sehingga membuat ketegangan relasi
etnik-keagamaan. Pengalaman Indonesia mengelola perbedaan etnik dan agama
dalam bingkai politik kewargaan atas dasar kesetaraan dan kebinekaan dapat
menjadi salah satu referensi bagi negara seperti Sri Lanka.
Buku baru
Kajian Islam dan demokrasi di negara-negara berpenduduk Muslim
masih didominasi pengalaman dan pengaruh geopolitik di Timur Tengah dan Asia
Selatan, seperti terlihat dalam tulisan Olivier Roy dan Gilles Kepel. Namun,
belakangan Alfred Stepan (2013) mengamati fenomena kemunculan demokrasi di
Indonesia, Senegal, dan Tunisia yang dianggap memiliki kebijakan mendukung
kolaborasi negara dan agama di ruang publik. Menurut Stepan, tidak ada satu
pun negara berpenduduk mayoritas Muslim melegalisasi syariah sebagai hukum
positif negara dan menjadikan Islam sebagai agama resmi negara.
Secara historis-sosiologis, Islam yang berkembang di luar
kawasan Timur Tengah masih diperlakukan sebagai-memakai bahasa Surin
Pitsuwan-halaman belakang, catatan pinggir dalam sejarah dunia Islam.
Keberadaan dua kota suci Mekkah dan Madinah di Arab Saudi telah dilembagakan
sebagai pusat otoritas keagamaan yang kemudian diberi bingkai politik oleh
Pemerintah Arab Saudi.
Revolusi Iran tahun 1979 di bawah komando Ayatullah Khoimaini
menjelma menjadi ancaman serius terhadap supremasi politik Islam-Arab Saudi,
terlebih ada upaya menginternasionalisasikan semangat revolusi itu. Persekutuan
Arab Saudi dan Amerika Serikat telah memberikan keleluasaan kepada otoritas
Negara Arab, tidak hanya dalam rangka kepentingan memotong pengaruh politik
Iran, tetapi juga untuk menyokong kekuatan-kekuatan pro Arab Saudi di Asia
Selatan, seperti Pakistan dan Timur Tengah.
Dalam konteks ketegangan kedua kutub politik-keagamaan tersebut,
Indonesia menjadi sangat penting untuk tidak terseret ke dalam pusaran
konflik di Timur Tengah. Bahkan, Indonesia punya peluang menjadi rujukan baru
bagi tradisi Islam rahmatan lil 'alamin pada abad ke-21. Negeri ini punya
modal sosial dan politik yang menjanjikan.
Negara-negara berpenduduk Muslim di dunia mengakui pencapaian
luar biasa Indonesia mengatasi krisis politik dengan sukses membangun sistem
pemerintahan demokratik tanpa menegasikan Islam.
Potret global Islam hari ini dan esok akan banyak ditentukan
oleh perkembangan Islam di negara-negara Asia dan Afrika. Pesatnya
pertumbuhan populasi Muslim di kedua kawasan ini sungguh tidak bisa
diabaikan, terlebih Asia dihuni kekuatan-kekuatan regional strategis bagi
kepentingan keseimbangan geopolitik global; Tiongkok, India, Jepang, dan
Korea Selatan.
Survei Pew Research Project memprediksi, pertambahan populasi
Muslim akan lebih cepat dibandingkan dengan pemeluk agama lain hingga tahun
2050. Populasi Muslim di India diperkirakan akan menjadi terbesar dunia
menyalip Indonesia.
Menjadi masalah serius ketika berlarutnya konflik politik di
kawasan Timur Tengah yang di antaranya dipicu persaingan kutub Arab Saudi dan
Iran memengaruhi hubungan antarkelompok sosial-keagamaan di Indonesia. Di
satu sisi, hubungan kesejarahan dan arus transmisi intelektualisme Islam dari
Jazirah Arab ke Nusantara telah berjasa besar dalam penyebaran dan
pertumbuhan tradisi Islam di Indonesia hingga hari ini.
Islam Indonesia
Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy'ari, dua tokoh kunci yang melahirkan
dua garda organisasi moderat Muhammadiyah dan NU, menimba ilmu di Tanah Suci
Mekkah pada awal abad ke-20. Di sisi lain, proyek penyebarluasan Madhab
Islam-Sunni Arab Saudi dan Madhab Islam-Syiah Iran beberapa dekade belakangan
berimplikasi terhadap dinamika hubungan kelompok keagamaan di Indonesia.
Ada kekhawatiran masyarakat Muslim Indonesia akan terdeterminasi
oleh konflik politik kutub Arab dan Iran dengan indikasi peningkatan
sektarianisme dan syiar kebencian.
Pilihan bijaknya jelas. Bangsa ini harus punya kesadaran
kolektif untuk keluar dari jebakan pengerasan poros Saudi dan Teheran. Asas
politik luar negeri "bebas aktif" penting diterjemahkan dalam konteks
ini demi kepentingan nasional, tidak terjebak pada ekstremisme ideologi
politik sektarian. Indonesia berkesempatan besar bukan sebatas mendapat
pengakuan dari negara-negara berpenduduk Muslim, seperti diutarakan pegiat
demokrasi Afganistan, melainkan juga menulis "buku baru" dan
menjadi bacaan utama dalam konstelasi dunia yang multipolar.
Perlu kerja keras diplomasi pemerintah untuk bersinergi dengan
kelompok sipil dalam menyuarakan pengalaman Indonesia melembagakan nilai dan
perangkat demokrasi yang selaras dengan prinsip syariah Islam, yaitu
kesetaraan, keadilan, dan bebas dari diskriminasi.
Indonesia bukan lagi halaman belakang di tengah perubahan
geopolitik global, melainkan poros alternatif yang mewakili kekuatan baru
negara berpenduduk Muslim di Asia. Ini menuntut keseriusan pemerintah dengan
visi jauh ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar