Masa
Depan KPK
Romli Atmasasmita ; Guru Besar (Emeritus) Universitas
Padjadjaran
|
KORAN SINDO, 08 Juni 2015
Pemberantasan korupsi
di Indonesia sejak Reformasi 1998 semakin meningkat dan tampak intensitas
kegiatan yang dimotori Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terutama KPK jilid
III. Intensitas kegiatan pemberantasan korupsi oleh KPK telah menenggelamkan
peranan Polri dan kejaksaan sehingga terbentuk persepsi masyarakat bahwa
kedua lembaga tersebut memang tidak efektif.
Kegiatan KPK yang
mendapat tempat lebih besar di dalam pandangan masyarakat dibandingkan Polri
dan kejaksaan ternyata juga karena didukung kuat oleh koalisi LSM
antikorupsi, termasuk ICW, yang bahkan dapat disebut die hard KPK. Kekuatan
dukungan koalisi LSM tersebut juga dikokohkan oleh pemberitaan yang penulis
nilai sangat agresif mengenai perkara korupsi yang ditangani KPK. Apakah
semua itu salah? Jawabannya tidak salah dan bukan tidak boleh karena memang
korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary
crimes) sehingga memerlukan cara-cara luar biasa. Semula keluarbiasaan
KPK hanya dalam hal kewenangan saja (kekecualian) sesuai dengan UU KPK 2002,
kemudian berkembang dan meluas keluarbiasaan itu pada pola dukungan koalisi
LSM antikorupsi dan pemberitaan pers.
Keluarbiasaan sokongan
kedua pendukung KPK tersebut tampak nyata dalam mengangkat berita tersangka
KPK dengan semua aib-aib yang bersifat personal sifatnya ke hadapan publik
sekalipun prinsip praduga tak bersalah telah diakui dalam KUHAP dan UU Nomor
48 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Bahkan keluarbiasaan
yang telah diatur dan dibatasi dalam UU KPK telah dikembangkan oleh komisioner
KPK jilid III, termasuk status penyelidik dan penyidik; satu alat bukti saja
dapat digunakan untuk menetapkan tersangka. Tidak mengherankan bila dalam
kurun waktu/periode 2013-2014 telah terjaring tersangka kurang lebih 36
orang.
Idealnya KPK hanya
dapat menjaring 10 tersangka per tahun karena keterbatasan sumber daya
manusia dan infrastruktur. Namun keberhasilan KPK secara kuantitatif tetap
memperoleh apresiasi penuh dari masyarakat luas dan koalisi LSM antikorupsi.
Sedemikian tingginya apresiasi tersebut sehingga telah menafikan kemungkinan
kekeliruan tindakan hukum yang dilakukan KPK sesuai dengan UU KPK dan KUHAP.
***
Bertolak dari
kenyataan tersebut dapat saya katakan bahwa bagi KPK dan pendukungnya, KPK
telah dijadikan satu-satunya simbol kebenaran dan penguatan simbol tersebut
dibenarkan baik oleh koalisi LSM antikorupsi maupun pers.
Layaknya pepatah
sepandai-pandainya tupai melompat, ia akan terjatuh juga, begitulah KPK di
bawah komisioner KPK jilid III. Satu per satu terkuak kekeliruan atau
kesalahan tindakan hukum KPK jilid III dalam hal penetapan tersangka dan
tindakan hukum lain sehubungan dengan tiga kekalahan pada sidang praperadilan
BG, IAS, dan HP.
Kekalahan beruntun KPK
dalam sidang praperadilan ini seharusnya dijadikan titik balik introspeksi
bagi KPK dan koalisi LSM antikorupsi untuk tetap kritis juga terhadap kinerja
KPK. Kekalahan KPK dalam praperadilan harus dijadikan evaluasi secara serius
dari pemerintah dan DPR untuk meninjau kembali substansi UU KPK agar dapat
dicegah kekeliruan KPK jilid III di masa depan.
Tidak ada UU yang
sempurna, begitu kata pepatah, dan hal itu juga berlaku terhadap pimpinan
KPK. Kekalahan yang telah dialami tidak perlu disikapi berlebihan, apalagi
dengan sikap arogan dan jumawa seolah merasa paling benar. Apalagi sikap
kritis terhadap KPK secara apriori dianggap memusuhi KPK, termasuk terhadap
penulis sendiri yang berperan dalam persiapan dan pembentukan KPK.
***
KPK adalah anak
kandung Reformasi dan ia dipersiapkan dan dibentuk untuk menjalankan amanat
suci Reformasi membangun sistem pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.
Ketika KPK telah dijadikan sarana untuk meraih kepentingan pribadi atau
kelompok atau tujuan politik, seketika itu pula roh Reformasi suci terkoyak
dan tentu membawa dampak buruk terhadap lembaga KPK kini dan di masa depan.
Seyogianya kerja
Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK jilid IV harus didukung semua
pihak untuk memperoleh calon pimpinan KPK tepercaya dan memiliki integritas
serta akuntabilitas yang ”sempurna”. Tidak mudah, tetapi dengan kesungguhan
partisipasi masyarakat hal itu pasti ada. Namun dalam proses rekrutmen calon
pimpinan KPK harus terbebas dari sikap apriori bahwa mantan birokrat, petugas
Polri atau jaksa selalu buruk kinerjanya karena bukti kinerja KPK jilid III
tidak lebih baik pula di samping sukses yang telah dicapainya.
Tapi pepatah ”karena
nila setitik rusak susu sebelanga” juga terjadi pada KPK jilid III. Pansel
Calon Pimpinan KPK jilid IV harus mampu menemukan sosok yang telah
berpengalaman dalam sistem birokrasi, berusia dewasa setidaknya 50 tahun,
amanah, dan sudah mapan dalam kehidupan sehari-hari, bijak, rasional tidak
emosional, tidak agresif, dan memiliki sikap patuh pada UU KPK dan KUHAP. Sosok tersebut juga harus menjauhi
terobosan-terobosan yang melanggar UU, memahami manajemen dan ahli hukum,
ahli psikologi sosial, memiliki human
relationship yang baik, kuat sense
of belonging dan sense of solidarity-nya
karena kepemimpinan KPK harus kolektif-kolegial, memiliki dan menguasai nilai
humanisme dan humanistik yang baik, serta bersikap rendah hati dan tidak
arogan.
Manajemen KPK jilid I
sd II dalam bentuk SOP yang terbit tahun 2008, baik tentang manajemen
administrasi maupun manajemen penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta
hambatan-hambatan dan keberhasilannya, perlu diketahui dan didalami Pansel
KPK karena dari situlah pansel dapat membuat kriteria calon pimpinan KPK yang
diperlukan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6-12 UU KPK dengan benar dan
bertanggung jawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar