Laporan Diskusi
Kompas-Murdoch University
Populist Politics in Southeast Asia:
Transforming or Impending Democracy?
Ilusi Politik Citra
di Filipina
KOMPAS,
09 Juni 2015
|
Januari 2001, rantai
manusia yang merentang sepanjang kurang lebih 10 kilometer di sekitar Istana
Malacanang, Manila, Filipina, akhirnya menurunkan Joseph Estrada dari kursi
kepresidenan. Belum genap empat tahun usia pemerintahannya, pengganti Fidel
Ramos itu tumbang oleh gerakan kekuatan rakyat (people power), gerakan yang juga menjatuhkan diktator Filipina
Ferdinand Marcos tahun 1986.
Tuduhan skandal
korupsi menjungkalkan mantan aktor ternama Filipina itu. Popularitas dan
dukungan dari penggemar yang semula mengantarkan menjadi orang nomor satu tak
mampu menyelamatkan Estrada. Peristiwa itu seperti kisah ironi dalam film:
seorang pahlawan berakhir sebagai pecundang.
Dukungan kelompok
miskin perkotaan di Filipina, terutama di Manila, atas Estrada seperti
semacam ilusi. Populisme yang melingkupi kemenangan Estrada pada tahun 1998
bak candu, sebagaimana agama dipersepsikan Karl Marx. Populisme menjadi
semacam obat penderitaan rakyat akibat deraan kemiskinan.
Dalam situasi
sosial-ekonomi seperti itu, Estrada pada awalnya harapan akan obat tersebut.
Popularitas dan janjinya menanggulangi kemiskinan akut di Filipina, secara
khusus di Manila, melahirkan dukungan rakyat yang memiliki jaringan pada
struktur dan basis isu politik kelompok miskin perkotaan. Isu utama yang dia
gulirkan adalah kepemilikan lahan dan perumahan.
Sebelum dan sesudah
era Estrada, kampanye pro rakyat selalu digunakan kandidat Presiden Filipina
untuk meraih suara rakyat. Isu itu memang dinilai andal mengamankan suara
pemilih. Namun, pada era Estrada terjadi pergeseran karena masyarakat
Filipina sebenarnya masih bersifat paternalistik, bukan populis.
Populisme Estrada
muncul sejak masa kampanye. Dia memperlihatkan dirinya berjarak dari kelompok
elite tradisional, menjadi bagian dari masyarakat kebanyakan dan kelompok
miskin. Kelompok miskin itulah yang menjadi basis populisme di Filipina.
Strategi itu semakin kukuh oleh tayangan media yang terus-menerus menampilkan
Estrada mengunjungi komunitas warga miskin. Strategi itu mampu menempatkan
Estrada sebagai figur utama komunitas besar itu.
Melalui media, Estrada
mampu mengakumulasi kegelisahan warga miskin kota.. Ia pun merancang
"gerakan rakyat melawan kemiskinan".
Namun, minimnya visi
dan strategi untuk mengurangi persoalan kemiskinan dan menjawab tuntutan riil
warga miskin kota, serta dugaan skandal korupsi, perlahan-lahan menggerogoti
dukungan pada Estrada. Aktor kawakan itu pun perlahan-lahan kehilangan
popularitas dan dukungan massa yang mengantarkannya ke kursi kepresidenan.
Mengutip akademisi
Mark Thompson, populisme yang mengantarkan Estrada sesungguhnya sangat
dipengaruhi klientilisme yang berbasis kampanye media. Artinya, yang
mengaitkan Estrada dengan pemilihnya adalah media.
Adapun pemikiran Mike
Pinches menyebutkan, populisme di Filipina mewakili pergeseran retorika, dari
paternalistik tradisional ke pengakuan atas gerakan politik populer pasca
Marcos. Populisme menjadi gabungan antara popularitas individu dengan
kampanye yang dilakukan media.
Tak punya basis
Di Filipina, populisme
elite politik tak memiliki basis sosial yang terorganisasi dan lebih
bergantung pada kepopuleran individu. Estrada sendiri tak memiliki hubungan
dengan gerakan rakyat yang menumbangkan Marcos. Dia membangun sendiri gerakan
yang menghubungkannya dengan masyarakat. Dukungan yang dia peroleh dari
kelompok miskin perkotaan menunjukkan keberhasilan strategi itu.
Pada akhirnya,
dukungan itu memudar karena Estrada tidak mampu mengimplementasikan visi dan
gerakan yang dibangunnya. Mereka yang turut berunjuk rasa pada tahun 2001
yang kemudian berhasil menggulingkan Estrada bukan hanya penggemar film-film
Estrada.
Di Filipina, Estrada
lebih dikenal sebagai presiden populis karena lebih dekat dengan definisi
paling umum tentang populisme. Namun, dari sisi kebijakan, Corazon Aquino
yang menggantikan Marcos lebih banyak menghasilkan kebijakan populis, seperti
melibatkan partisipasi masyarakat dan bentuk kerja sama baru. Benigno Aquino
III, presiden saat ini, juga banyak mendapat dukungan jaringan masyarakat
miskin kota karena komitmennya pada masalah perumahan.
Populisme di Filipina dengan
melihat Estrada yang mencoba memainkan citra sebagai aktor protagonis dalam
ingatan kolektif para pendukungnya, relasi dengan pendukung politik dibangun
seperti antara seorang bintang film dan penggemarnya. Itulah, antara lain,
yang membedakan Estrada dari mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin
Shinawatra. Populisme Estrada merupakan modal politik untuk membeli dukungan.
Saat Estrada membuat "gerakan rakyat melawan kemiskinan" sebagai
kendaraan memediasi perbedaan kepentingan antara dirinya dan masyarakat
Filipina, Thaksin justru membangun orientasi baru partai politik pendukungnya
untuk menggulirkan kebijakan nasional yang pro rakyat.
Sebagai dua sosok yang
populer dalam komunitas masing-masing, Thaksin dinilai lebih mampu
mempertahankan dukungan karena dapat mengonsolidasikan kepemimpinannya
melalui basis organisasi dan dukungan kebijakan, sementara Estrada sepenuhnya
mengandalkan popularitas individu.
Di Filipina hal itu
dimungkinkan karena sejak Corazon Aquino dengan dukungan gerakan rakyat menggulingkan
Marcos, semua pemimpin politik setelahnya berada dalam posisi untuk
mengapitalisasi gerakan kekuatan rakyat atau people power untuk meraih hasrat politik mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar