Dana KPK untuk Komunitas Antikorupsi
Romli Atmasasmita ; Guru
Besar (Emeritus) Unpad/Unpas
|
KORAN SINDO, 15 Juni 2015
Kegiatan KPK sejak
Jilid I sampai Jilid III telah berjalan efektif. Namun, tidak terlalu
signifikan dalam memerankan fungsi koordinasi, supervisi, dan monitoring,
serta evaluasi terhadap kepolisian, kejaksaan, dan kementerian/ lembaga
selama kurang lebih 12 tahun sejak pembentukannya.
Dalam bidang
pencegahan telah dikemukakan pimpinan KPK Jilid III bahwa telah berhasil menyelamatkan
potensi kerugian negara sebesar Rp100 triliun, sedangkan kerugian negara yang
nyata yang berhasil diselamatkan selama 2009-2013 hanya mencapai kurang lebih
Rp716 miliar. Pencapaian ini jauh di bawah kejaksaan yang mencapai kurang
lebih Rp6 triliun dan kepolisian sebesar Rp2 triliun (Pidato Orasi Guru Besar Paripurna Romli Atmasasmita, 2014).
Menilik keberhasilan
dan kekurangberhasilan KPK selama ini khusus Jilid III, tentu diperlukan
langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja KPK Jilid III.
Dalam konteks ini
proses rekrutmen pimpinan KPK dan pegawai dalam jabatan strategis yang ketat
ternyata bukan satu-satunya jaminan yang dapat mendukung/memperkuat kinerja
KPK sesuai dengan UU KPK dan UU terkait lainnya. Perencanaan strategis baik
pencegahan maupun penindakan khususnya manajemen administrasi penanganan
perkara (case-management administration system/ CMAS) dan kepatuhan pimpinan
KPK terhadap CMAS justru jaminan keberhasilan KPK baik secara kuantitatif
maupun secara kualitatif.
BPK RI merekomendasikan
KPK agar memperkuat perencanaan operasional KPK melalui prioritas
penyelesaian pembangunan sistem aplikasi CMAS (dikutip dari Laporan Hasil
Pemeriksaan BPK RI pada KPKNomor :115/HP/XIV/12/2013 tanggal 21 Desember
2013). Di dalam CMAS tersebut juga termasuk pemindaian dan pengawasan
bekerjanya SOP terpadu khusus penyadapan, mulai penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan.
SOP penindakan
termasuk penyadapan sangat penting sebagai parameter bahwa kinerja KPK telah
dilandaskan pada ketentuan hukum acara yang berlaku dan dilaksanakan secara
profesional dan akuntabel. Putusan praperadilan membuktikan bahwa telah
terjadi pelanggaran atas SOP KPK oleh penyidik KPK. KPK dengan tugas dan
wewenang yang luas dalam UU KPK tidak dapat bekerja sendiri dan memerlukan
bantuan pihak ketiga khusus dalam melaksanakan strategi pencegahan.
***
Dalam konteks strategi
ini KPK telah bekerja sama dengan Komunitas Antikorupsi (KAK) yang terdiri
atas anggota koalisi LSM Antikorupsi atau dikenal dengan Koalisi Pemantau
Peradilan (KPP). Sejak 2007 hingga 2011 kerja sama ini telah dilaksanakan
dalam rangka penyusunan Roadmap Pemberantasan Korupsi dan terlibat di
dalamnya ICW, Kemitraan Partnership, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas
Hukum UI, Indonesia Legal Resources Centre, Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, TII, dan Pusat studi Hukum dan
Kebijakan. Langkah KPK Jilid III harus diapresiasi karena roadmap menentukan arah keberhasilan
pemberantasan korupsi jangka panjang.
Terlepas dari tujuan
baik dari penyusunan roadmap tersebut maka sebagai bentuk pertanggungjawaban
baik kinerja dan keuangan seyogianya KPK melakukan konferensi terbuka tahunan
di hadapan pers dan media cetak mengenai hal tersebut. Sehingga, benar-benar
KPK mewujudkan ketentuan Pasal 20 UU KPK yang mewajibkan KPK bertanggung
jawab kepada publik. Pertanggungjawaban itu tidak cukup hanya melalui website
KPK karena website KPK tidak merinci lebih jauh berapa anggaran yang
disediakan dan telah dikeluarkan dan siapa penerima anggaran KPK baik dari
APBN maupun dana hibah luar negeri (asing) sejak 2007 hingga 2014.
Dana hibah ini pernah
menjadi topik diskusi pada RDP Komisi III DPR RI dan KPK pada 25 Juni 2012.
Pihak KPK telah menjanjikan menyiapkan tanda terima terhadap pemberian dana
alokasi untuk Komunitas Antikorupsi, namun sampai saat ini belum diselesaikan
dan dilaporkan KPK kepada Komisi III (Laporan Singkat RDP Komisi III dengan
KPK dan LPSK tanggal 25 Juni, khusus butir 9 sampai 13).
Selain itu juga perlu
digarisbawahi diskusi Komisi III dan KPK di mana ketua RDP mempertanyakan
pembentukan 31 Komunitas Antikorupsi (KAK) yang memakan biaya Rp10 miliar dan
menurut ketua rapat, satu NGO itu memakan biaya Rp300 juta dan ketua rapat
meminta penjelasan mengenai hal ini. Begitu juga mengenai anggaran untuk
“Pembelajaran Antikorupsi” sebanyak 14 kali dengan total anggaran sebesar Rp3
miliar.
Penulis tidak menolak
bahwa setiap kegiatan KPK memerlukan dana dari APBN atau hibah asing. Namun,
sesuai dengan asas-asas KPK dalam Pasal 5 UU KPK (kepastian hukum,
keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas) dan Pasal
20 UU KPK mewajibkan KPK bertanggung jawab kepada publik—tentu publik yang
utama adalah para wajib pajak yang patuh telah memasukkan pendapatan kepada
negara.
Penulis harapkan agar
KPK dan BPK RI melakukan langkah keterbukaan yang sama tanpa harus ada
ketertutupan atau kerahasiaan karena untuk maksud tujuan itulah pembentukan
KPK terkait kinerja kepolisian dan kejaksaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar