Bung Karno dan Islam Nusantara
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren
Suryalaya, Tasikmalaya; Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa Barat
|
MEDIA INDONESIA, 18 Juni 2015
BAGI saya, Bung Karno
bukan hanya pemikir yang bergulat dengan tema-tema seputar demokrasi,
sosialisme, nasionalisme, kapitalisme, marxisme, dan ide Barat lainnya,
melainkan juga dengan islamisme. Kalau hari ini ramai dipercakapkan gagasan
Islam Nusantara, pada titik tertentu, wacana ini mendapatkan personifikasinya
pada sosok Bung Karno walaupun dia tidak datang dari kelompok santri, tetapi
pemikiran Islamnya melambangkan bagaimana Bung Besar menafsirkan keyakinannya
secara progresif dan kontekstual.
Di bawah asuhan HOS
Tjokroaminoto dan sedikit banyak pengaruh dari pidato-pidato pendiri
Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, terlebih saat diasingkan ke Ende, Flores, Nusa
Tenggara Timur (NTT) pada 19341938, Bung Karno benar-benar merenungkan
hakikat keberagamaannya secara subtil dan mendalam. Tuhan yang selama ini
dicarinya, dalam sepi dan keheningan tanah Ende telah `ditemukannya'.
Pergulatan ketuhanan
yang tidak saja dihujamkan ke kedalaman sukma, tetapi juga direfleksikan
dalam pikir seperti tampak pada korespondensinya dengan A Hassan yang
kemudian dibukukan menjadi `Di Bawah Bendera Revolusi.' Bung Karno menulis,
“Di dalam surat-surat itu adalah tergurat sebagian garis perubahannya saya
punya jiwa. Dari Islamnya hanya raba-raba saja menjadi jiwa yang Islamnya
yakin.
Dari jiwa yang mengetahui adanya Tuhan, tetapi belum mengenal Tuhan,
menjadi jiwa yang sehari-hari berhadapan dengan Dia.“ Di Ende juga Bung Karno
suntuk membaca buku-buku Islam, seperti The
Spirit of Islam (Sayyed Ameer Ali) dan The Rising Tide of Color, The
New World of Islam karya Lothrop Stoddard.
Daulat
akal
Tuhan (agama) dalam
pikiran Bung Karno tidak dikonseptualisasikan secara abstrak, mistik, dan
serbasilam, tetapi tampil dalam sebuah gambaran yang maju, modern, bahkan
mengandaikan untuk dicarikan tautan sejarahnya pada masa kejayaan Islam,
ketika nalar menjadi daulat utama dan kebebasan berpikir dirayakan sedemikian
rupa seperti nampak saat zaman keemasan manakala figur semacam Ibnu Sina,
Al-Farabi, AlKindi, para teolog Mu'tazilah, dan lainnya mengambil peran besar
dalam tubuh keumatan.
Autentisitas keberagamaan
tidak diletakkannya pada sikap arkhaik kembali kepada kitab suci secara
harfiah, tapi justru kembali pada kekuatan daya pikir, pada semangat zaman.
Pada `api Islam' bukan `abu Islam', sebab hanya `api' yang bisa memberikan
kepastian bahwa agama itu hadir membawa pencerahan, perubahan, dan
pembebasan.Sementara `abu' hanya menyisakan keberagamaan yang jumud, stagnan,
puritan, dan ramai sebatas pekik upacara ritualistik.
Seperti inilah
pandangan Soekarno, “...Akal
yang masih terikat pada tradisi pikiran sendiri dan belum akal merdeka, tak
dapat kita pakai sebagai penyuluh untuk mencari kebenaran. `'Agama adalah
bagi orang yang berakal,'' begitulah Nabi bersabda. Orang yang berakal
hanyalah orang yang bisa menggunakan akalnya itu dengan merdeka. Orang yang
akalnya masih terikat bukanlah orang yang berakal. Orang yang demikian itu
adalah orang yang mengambing kepada tradisi pikiran sendiri.
Orang yang
demikian itu adalah kuddemensch...
Sekali lagi, janganlah kita berkepala batu. Marilah kita mau, suka, rida
kepada penelaahan kembali. Hasilnya, bagaimana nanti. Tetapi keridaan kepada
penelaahan kembali dan her-orienteering,
itulah syarat tiap-tiap kemajuan.“
Akal sebagai anugerah
terbesar Tuhan, tidak hanya harus dirawat, tapi juga wajib digunakan untuk
kepentingan bangsa dan agama. Akal secara ontologis sebagai identitas utama
yang membedakan manusia dari ternak. Soekarno menulis, “Agama Islam hanya dapat berkembang betul, bilamana umat
Islam memperhatikan benar-benar akan tiga buah sendi-sendinya: Kemerdekaan
ruh, kemerdekaan akal, kemerdekaan pengetahuan... Akal dan Islam mempunyai
tujuan yang sama, yaitu membimbing kehidupan umat manusia.“
Maka, menjadi sangat
mafhum seandainya Bung Karno menertawakan aktivis Islam politik yang
menahbiskan khilafah sebagai sistem politik Islam yang harus diperjuangkan
sebagai pantulan kewajiban beragama. Bagi Bung Karno, sikap politik seperti
itu justru secara sempurna melambangkan absennya nalar dalam kaidah berzikir
umat Islam, defisit akal sehat. Khilafah sangat relevan untuk konteks
zamannya, tetapi menjadi historis ketika hendak diterapkan pada saat berbeda
apalagi dalam latar tanah air yang berlainan budaya dan atmosfer
sosial-politiknya.
Ketuhanan
yang berkebudayaan
Di titik ini, saya
menjadi dapat memahami seandainya di kemudian hari saat Sidang BPUPKI,
Soekarno tidak mengusulkan frasa sila, “Ketuhanan Yang Maha Esa“, tapi
“Ketuhanan Yang Berkebudayaan“ lengkap dengan etika imperatifnya
keramahtamahan dan gotong royong. Dalam frasa kedua yang menjadi usulannya,
nampak bagaimana Bung Karno memiliki kehendak luhur menjadikan penghayatan
keagamaan itu menyatu dalam pengalaman berkebudayaan.
Dalam `Ketuhanan
Berkebudayaan' tersirat jelas sebuah cara beragama yang menghargai kebudayaan
dan kebudayaan pun memiliki haluan visi metafisik yang tegas, yakni
berketuhanan. Tuhan (beragama) secara akulturatif. Bukan agama formalistis
sebatas pengakuan verbal percaya kepada Tuhan, tapi beragama yang menjadi
daging, darah, dan roh. Itu semua hanya dimungkinkan ketika agama itu
melakukan perkawinan silang dengan kebudayaan.
Di sini, saya melihat
apa yang dilakukan Bung Karno, tentu dengan bahasa berbeda, menjadi beririsan
dengan yang dilakukan para Walisongo. Bung Karno seorang modernis sekaligus
tradisionalis. Seorang yang menjunjung tinggi rasio, tapi pada saat yang
sama, terhunjam dalam akar tradisi. Memimpikan konfigurasi Islam rasional,
tetapi rasionalisme yang diimaninya bukan otomatis menampik tradisi,
melainkan malah menjadikan tradisionalisme sebagai jalan pembebasan, jalan
berpikir yang membumi. Sebuah metode dialektik yang sesungguhnya banyak
diilhami gurunya ketika mondok di HOS Tjokroaminoto, sosok raja Jawa tanpa
mahkota, yang mana gagasan nasionalisme, islamisme, dan ideologi kiri
mengalir deras dari pemikirannya.
Islam dihadirkan
sebagai kekuatan budaya. Hanya yang membedakannya, yakni Soekarno sekaligus
menjadikan Islam sebagai kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap kaum
kolonial seperti nampak dalam tulisannya saat muda, “Islam, Nasionalisme, dan
Marxisme“ yang di kelak secara artikulatif, dirumuskan dalam Nasakom yang
sering dipahami kelompok puritan secara salah kaprah.
Islam Nusantara yang
dianggit Soekarno inilah yang kemudian ketika ditarik dalam konteks
kebangsaan menjadi nampak sebangun. Soekarno dan manusia pergerakan lainnya,
ketika merumuskan dasar-dasar negara dengan sangat cemerlang menggunakan rute
eklektik. Hamparan agama yang beragam, etnik yang majemuk, serta bahasa yang
berjumlah ratusan lengkap dengan budayanya yang tak terbilang, kemudian diramu
dan dipadatkan menjadi Pancasila yag secara aklamasi diterima semua kalangan.
Beragama tidak
diidentikkan dengan sikap menyontek budaya lisan, tapi harus tegak lurus
dengan kultur setempat. Beragama tidak berarti antipati terhadap
nasionalisme, tapi justru bangsa yang baru saja diproklamasikannya itu
menjadi hamparan luas untuk beribadah tanpa harus melucuti Pancasila sebagai
dasar negara merdeka (philosofische
grondslag) yang menjadi ideologi bangsa dan tanpa mesti memorakporandakan
kesepakatan-kesepakatan yang telah dilakukan kaum leluhur, manusia
pergerakan, the founding fathers
(para pendiri bangsa). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar