Tragedi
Mei dan Presiden Baru
Mimin
Dwi Hartono ; Staf Komnas
HAM
|
SINAR
HARAPAN, 14 Mei 2014
Enam
belas tahun sudah Tragedi 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota besar
lainnya terjadi. Tragedi tersebut menimbulkan korban jiwa dan luka-luka yang
sangat masif. Namun, proses hukum tidak berjalan meskipun presiden sudah
berganti lima kali.
Sejak
tragedi itu terjadi, lima presiden sudah memimpin negeri, dari Soeharto, BJ
Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang
Yudhoyono. Namun, tidak ada presiden yang secara serius mengusut tuntas
pelaku dan aktor intelektual tragedi tersebut.
Tragedi
tersebut menjadi salah satu pemicu lengsernya Soeharto dari kursi empuk
kepresidenan selama 32 tahun. Ia memutuskan untuk lengser pada 21 Mei 1998
setelah didesak gerakan rakyat dan dikhianati orang-orang terdekatnya.
BJ.
Habibie, yang menggantikan Soeharto pada 23 Juli 1998, memerintahkan
pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). TGPF beranggotakan unsur
pemerintah, Komnas HAM, ABRI, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh
masyarakat.
Berdasarkan
laporan yang disusun TGPF, kerusuhan massal tersebut bukanlah bersifat sesaat
dan spontan, namun sistematis. Massa yang terlibat terdiri atas massa yang
aktif (penggerak) dan pasif. Akibat kerusuhan massal tersebut, diduga lebih
dari 1.000 orang meninggal terjebak dalam bangunan yang terbakar atau
dibakar.
Ratusan
orang luka-luka, penculikan terhadap beberapa orang, pemerkosaan, atau
pelecehan seksual terhadap puluhan perempuan yang sebagian besar dari etnis
tertentu, serta ribuan bangunan dibakar, termasuk toko-toko yang dijarah massa.
Laporan
TGPF menghasilkan delapan poin rekomendasi, di antaranya adalah pemberian
kompensasi dan rehabilitasi bagi para korban, perlunya digelar pengadilan
militer untuk petinggi ABRI yang diduga terlibat, dan penyelidikan lanjutan.
Namun, sebagian besar rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti pemerintahan
BJ Habibie yang hanya bertahan sekitar satu setengah tahun.
Sidang
Istimewa MPR yang memutuskan pemilihan umum luar biasa pada 1999 dimenangi
PDIP. Namun, proses politik di parlemen memberikan mandat kepada Abdurrahman
Wahid atau Gusdur sebagai presiden.
Selama
Gus Dur menjabat, tidak ada langkah khusus untuk menindaklanjuti Tragedi Mei.
Namun, selama kepemimpinan Gus Dur, kekuatan masyarakat sipil semakin kuat
untuk mendorong proses hukum atas Tragedi Mei. Gus Dur hanya bertahan sebagai
presiden selama satu setengah tahun karena di-impeach oleh parlemen.
Megawati
menggantikan Gus Dur pada 2001-2004. Dalam masa kepresidenan Megawati, pada
2003 Komnas HAM merampungkan penyelidikan Pro Yustisia atas dugaan
pelanggaran HAM yang berat atas Tragedi Mei. Mandat ini berdasarkan Pasal 18
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Berdasarkan
penyelidikan, Komnas HAM menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup atas
dugaan telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dalam Tragedi Mei, sebagaimana diatur
dalam Pasal 9 UU tentang Pengadilan HAM.
Berdasarkan
catatan Komnas HAM, hasil penyelidikan disampaikan kepada Kejaksaan Agung
selaku penyidik pada 2003. Dikarenakan tidak ada respons, pada awal 2004,
Komnas HAM kembali melayangkan surat ke Kejaksaan Agung untuk menanyakan
perkembangan proses penyidikan Tragedi Mei.
Pada
masa kepresidenan SBY yang berhasil menjadi presiden pertama melalui
pemilihan umum secara langsung oleh rakyat pada Oktober 2004, tidak ada
perkembangan signifikan atas proses hukum tragedi Mei. Pada masa SBY, berkas
penyelidikan Komnas HAM bolak-balik dari gedung bundar (kantor Kejagung) ke
jalan Latuharhary 4B (kantor Komnas HAM). Salah satu alasan Kejagung adalah
belum dibentuknya pengadilan HAM ad hoc.
Komnas
HAM berpendapat, penyidikan dan penuntutan dapat dilakukan tanpa menunggu
pembentukan pengadilan HAM ad hoc.
Tidak ada ketentuan dalam UU tentang Pengadilan HAM, bahwa pengadilan HAM ad
hoc harus dibentuk terlebih dahulu.
Pada
periode kedua kepresidenan SBY (2009-2014), proses hukum atas Tragedi Mei
semakin mengambang dan berlarut-larut sehingga merugikan banyak pihak,
terutama korban, juga publik dan negara karena menjadi beban sejarah yang
tidak pernah tuntas.
Bagi
korban, hak-haknya atas keadilan dan kepastian hukum telah diabaikan negara
selama bertahun-tahun. Mereka tidak pernah tahu siapa yang bertanggung jawab
atas Tragedi Mei yang telah merampas hak-hak asasinya, termasuk hak untuk
hidup. Korban dan keluarga berhak untuk tahu siapa dalang Tragedi Mei.
Pihak
yang diduga para pelaku, menghadapi tuduhan yang belum berdasar pada putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap. Berkembangnya opini
publik yang menyalahkan pihak tertentu tidak bisa dielakkan karena pembiaran
negara selama belasan tahun.
Masyarakat
yang berhak atas informasi dan berhak untuk tahu atas kebenaran, tidak
mendapatkannya karena tidak ada ketegasan dari negara untuk mengadili siapa
yang bersalah atau bertanggung jawab dalam Tragedi Mei.
Pemerintah
maupun presiden yang sedang berkuasa, selalu akan dibayangi tekanan dari
dalam dan luar negeri, karena dinilai tidak mau (unwilling) dan tidak mampu (unable)
menuntaskan Tragedi Mei.
Presiden
SBY masih mempunyai sisa waktu dalam masa pemerintahannya, untuk melaksanakan
kewajiban konstitusionalnya dalam menuntaskan proses hukum atas Tragedi Mei
dengan meminta Kejaksaan Agung menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.
Jika kandas, bangsa Indonesia segera mempunyai presiden yang baru yang akan
dipilih pada 9 Juli.
Harapan
publik lebih besar disandarkan ke bahu presiden mendatang, agar berani
membuka kebenaran dan menuntaskan proses hukum atas Tragedi Mei. Hal ini
untuk menegakkan hak atas keadilan dan kepastian hukum khususnya bagi para
korban.
Publik
berharap dan harus aktif untuk berpartisipasi dalam pemilihan presiden
mendatang, untuk memastikan sosok presiden terpilih mempunyai komitmen
politik dan HAM untuk menuntaskan tragedi Mei dan kasus pelanggaran HAM yang
berat lainnya. Selain tragedi Mei, ada enam kasus pelanggaran HAM berat yang
penyelidikannya telah diselesaikan Komnas HAM dan telah diserahkan ke
Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti, di antaranya kasus penculikan aktivis
pro demokrasi 1997/1998.
Penuntasan
secara hukum tragedi Mei sangat penting bagi korban dan bagi mereka yang
diduga adalah para pelaku, agar memperoleh kepastian hukum dan tidak
terbebani masa lalu yang akan memasung masa depannya. Semoga presiden ke-7
mampu menumpas impunitas para pelaku dan memulihkan hak-hak para korban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar