Menimbang Jokowi dan Cawapres
Sulawesi
Eko
Harry Susanto ; Doktor Ilmu
Komunikasi Unpad Bandung
|
MEDIA INDONESIA, 14 Mei 2014
BERBAGAI simulasi jajak pendapat,
survei, ataupun polling berupaya
menyanding kan calon presiden Joko Widodo dengan figur-figur popular dalam
belantika politik nasional. Muncul nama Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu,
Mahfud MD, Jusuf Kalla, dan belakangan menyeruak tokoh pemberantas korupsi
Abraham Samad. Selain itu, tentu saja banyak nama lain yang dinilai layak
mendampingi Jokowi yang saat ini masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Jokowi yang dicalonkan sebagai
presiden oleh PDIP dan NasDem memang lebih bebas dalam mencari calon
pendamping untuk menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan sejak
awal selesainya pemilu legislatif. Sebab, jauh sebelum KPU menetapkan hasil
rekapitulasi nasional pada 9 Mei 2014, berdasarkan hasil hitung cepat, suara
PDIP dan NasDem dinilai cukup untuk mengajukan Jokowi sebagai calon presiden.
Karena itu, upaya mencari calon
pendamping untuk menuju RI-1 menjadi terbuka lebar jika dibandingkan dengan
partai lain yang sudah mempunyai calon presiden seperti Partai Golkar dan
Partai Gerindra. Di antara sejumlah nama populer tersebut, figur dari
Sulawesi Selatan menjadi pembicaraan ramai masyarakat sebagai calon kuat
pendamping Jokowi. Elite dalam tubuh PDIP juga memberikan sinyal yang
mengarah kepada tokoh dari luar Jawa yang akan dipasangkan dengan mantan Wali
Kota Solo itu. Jika asumsi pendamping Jokowi itu mengerucut, nama Jusuf Kalla
dan Abraham Samad memiliki peluang kuat untuk bersama-sama Jokowi menuju
istana.
Pilihan terhadap figur dari
Sulawesi Selatan memiliki relevansi kuat mengantarkan pasangan
capres-cawapres dari PDIP dan NasDem untuk melenggang ke orang pertama dan
kedua negeri ini. Tidak bisa disangkal, paduan antara Jawa dan luar Jawa
masih diperhitungkan. Bukan berarti Indonesia masuk dalam belenggu politik
subnasional, melainkan secara faktual masih memegang kunci, khususnya pada
Pemilihan Presiden 2014. Kalaupun ada yang berdalih bahwa SBY sebagai
presiden juga didampingi oleh Boediono yang orang Jawa, memang benar.
Namun,
harus diingat, bahwa dalam Pemilu Legislatif 2009, Partai Demokrat
mengantongi 20,8% suara yang berkorelasi langsung dengan kekuatan politik
nasional.
Karena itu, jika benar Jokowi
didampingi oleh tokoh Sulawesi Selatan, secara geopolitik tentu saja memadai.
Sulawesi Selatan dan kawasan Indonesia Timur terbukti masih didominasi suara
Partai Golongan Karya dan Partai Demokrat. Munculnya figur dari Sulawesi
diharapkan dapat menarik massa partai beringin dan berlian biru untuk
mengalihkan suara kepada Jokowi. Bagaimanapun, ikatan emosional masyarakat
Indonesia Timur terhadap figur¬figur kuat dari Sulawesi tetap akan melekat.
Karena itu, kalaupun Partai
Golkar dan Demokrat mengajukan calon presiden dan wakil presiden sendiri,
diperkirakan suara mereka akan terpecah di kawasan Indonesia Timur. Tidak
bisa diabaikan Jusuf Kalla memiliki pengaruh kuat sebagai putra Indonesia
Timur yang patut dijadikan referensi pilihan politik.
Jusuf Kalla populer sebagai
politikus senior yang dijadikan rujukan di Indonesia Timur, sedangkan Abraham
Samad juga tidak diragukan lagi popularitasnya. Saat ini, Samad merupakan
`ikon baru' kepercayaan masyarakat Sulawesi Selatan dan Indonesia Timur, yang
menilai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu tidak pandang bulu dalam upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia. Banyak harapan diletakkan di pundak
Abraham Samad pada komisi yang relatif masih berusia muda, dan memiliki
harapan panjang dalam menegakkan keberadaban demokrasi di Indonesia.
Secara esensial, dalam telaah
komunikasi politik yang dikaitkan dengan aspek kewilayahan, kedekatan
geografis dan kemiripan karakteristik dapat meningkatkan keeratan hubungan
yang didasarkan pada nilai, sikap, dan kepercayaan. Dengan demikian, secara
sederhana, dihubungkan dengan eksistensi calon wakil presiden dari Sulawesi
Selatan, maka peluang Jusuf Kalla maupun Abraham Samad untuk dipilih
masyarakat Indonesia Timur sangat besar. Ada ikatan nilai sosial dan
moralitas yang merasa `sesama' orang Indonesia Timur. Bahkan dalam konstelasi
geopolitik yang lebih makro, kawasan Indonesia Tengah pun akan mengekspresikan
diri sebagai sesama orang luar Jawa.
JK atau Samad
Kalau pilihan Jokowi jatuh ke
Jusuf Kalla, peluang untuk menangguk suara dari kubu Golkar yang meraih suara
14,75% menjadi terbuka.
JK adalah politikus senior yang
dihormati dan masih memiliki akar kuat di partai beringin kuning. Keberadaan
Kalla juga tidak bisa lepas dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang
mendapat suara 9,04% itu. Sejak awal JK merupakan salah satu kandidat
presiden dari PKB bersama dengan Mahfud MD dan Rhoma Irama. Karena itu, jika
ditambah dengan suara PDIP yang 18,95%, dan NasDem yang mendapat 6,72%,
jumlah total diperkirakan mencapai 49,46%. Bahkan dalam perkembangannya,
meskipun jumlah suara tidak memiliki relevansi dengan elektabilitas calon
presiden, bergabungnya Hanura yang memperoleh 5,26%, ataupun bisa saja partai
lain menyusul, diperkirakan memiliki ikatan kuat dengan politikus senior
Jusuf Kalla maupun Indonesia Timur.
Memang suara Partai Golkar
dipastikan tidak bulat mendukung Jokowi-JK jika Golkar juga menetapkan calon
presiden ataupun calon wakil presiden selain Kalla. Akan tetapi, apa pun yang
dilakukan partai be ringin tidak akan menghambat keberadaan Kalla sebagai
pendamping capres PDIP. Melihat reputasi Kalla tersebut, bukan berarti
Abraham Samad memiliki peluang lebih kecil untuk meraih suara konstituen
dalam Pilpres 2014. Sebagai ikon baru Sulawesi Selatan yang relatif berusia
muda dan belum pernah bersentuhan dengan politik masa lalu, Ketua KPK itu
juga memiliki kesempatan sama dengan JK yang politikus senior dan pengusaha.
Tidak dapat dikesampingkan, sejumlah pihak sebagai simpatisan atau pemilih
Jokowi, selain ada yang menghendaki Jokowi didampingi oleh militer, juga
mengharapkan Jokowi dikawal oleh tokoh muda yang tidak berhubungan dengan
politik masa lalu.
Hakikatnya, jika Jokowi
berpasangan dengan tokoh dari Sulawesi Selatan, peluang menuju istana negara
menjadi semakin terbuka lebar. Akan tetapi, mengingat dinamika politik
nasional tidak mudah untuk diprediksikan, bisa saja dua nama populer asal
Indonesia Timur itu justru terpental tidak bisa mendampingi Jokowi dalam
kontestasi menuju RI-1 akibat muncul figur baru yang tidak terduga. Namun,
kalaupun Jokowi akhirnya didampingi JK atau Abraham Samad, bukan berarti
serta-merta mampu meraih kemenangan, sebab pasangan capres dan cawapres lain
juga memiliki strategi kampanye yang berlandaskan kepada geopolitik demi
meraih kemenangan dalam Pemilihan Presiden pada Juli 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar