Kamis, 15 Mei 2014

Menimbang Jokowi dan Cawapres Sulawesi

Menimbang Jokowi dan Cawapres Sulawesi

Eko Harry Susanto  ;   Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung
MEDIA INDONESIA,  14 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
BERBAGAI simulasi jajak pendapat, survei, ataupun polling berupaya menyanding kan calon presiden Joko Widodo dengan figur-figur popular dalam belantika politik nasional. Muncul nama Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu, Mahfud MD, Jusuf Kalla, dan belakangan menyeruak tokoh pemberantas korupsi Abraham Samad. Selain itu, tentu saja banyak nama lain yang dinilai layak mendampingi Jokowi yang saat ini masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Jokowi yang dicalonkan sebagai presiden oleh PDIP dan NasDem memang lebih bebas dalam mencari calon pendamping untuk menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan sejak awal selesainya pemilu legislatif. Sebab, jauh sebelum KPU menetapkan hasil rekapitulasi nasional pada 9 Mei 2014, berdasarkan hasil hitung cepat, suara PDIP dan NasDem dinilai cukup untuk mengajukan Jokowi sebagai calon presiden.

Karena itu, upaya mencari calon pendamping untuk menuju RI-1 menjadi terbuka lebar jika dibandingkan dengan partai lain yang sudah mempunyai calon presiden seperti Partai Golkar dan Partai Gerindra. Di antara sejumlah nama populer tersebut, figur dari Sulawesi Selatan menjadi pembicaraan ramai masyarakat sebagai calon kuat pendamping Jokowi. Elite dalam tubuh PDIP juga memberikan sinyal yang mengarah kepada tokoh dari luar Jawa yang akan dipasangkan dengan mantan Wali Kota Solo itu. Jika asumsi pendamping Jokowi itu mengerucut, nama Jusuf Kalla dan Abraham Samad memiliki peluang kuat untuk bersama-sama Jokowi menuju istana.

Pilihan terhadap figur dari Sulawesi Selatan memiliki relevansi kuat mengantarkan pasangan capres-cawapres dari PDIP dan NasDem untuk melenggang ke orang pertama dan kedua negeri ini. Tidak bisa disangkal, paduan antara Jawa dan luar Jawa masih diperhitungkan. Bukan berarti Indonesia masuk dalam belenggu politik subnasional, melainkan secara faktual masih memegang kunci, khususnya pada Pemilihan Presiden 2014. Kalaupun ada yang berdalih bahwa SBY sebagai presiden juga didampingi oleh Boediono yang orang Jawa, memang benar. 
Namun, harus diingat, bahwa dalam Pemilu Legislatif 2009, Partai Demokrat mengantongi 20,8% suara yang berkorelasi langsung dengan kekuatan politik nasional.

Karena itu, jika benar Jokowi didampingi oleh tokoh Sulawesi Selatan, secara geopolitik tentu saja memadai. Sulawesi Selatan dan kawasan Indonesia Timur terbukti masih didominasi suara Partai Golongan Karya dan Partai Demokrat. Munculnya figur dari Sulawesi diharapkan dapat menarik massa partai beringin dan berlian biru untuk mengalihkan suara kepada Jokowi. Bagaimanapun, ikatan emosional masyarakat Indonesia Timur terhadap figur¬figur kuat dari Sulawesi tetap akan melekat.

Karena itu, kalaupun Partai Golkar dan Demokrat mengajukan calon presiden dan wakil presiden sendiri, diperkirakan suara mereka akan terpecah di kawasan Indonesia Timur. Tidak bisa diabaikan Jusuf Kalla memiliki pengaruh kuat sebagai putra Indonesia Timur yang patut dijadikan referensi pilihan politik.

Jusuf Kalla populer sebagai politikus senior yang dijadikan rujukan di Indonesia Timur, sedangkan Abraham Samad juga tidak diragukan lagi popularitasnya. Saat ini, Samad merupakan `ikon baru' kepercayaan masyarakat Sulawesi Selatan dan Indonesia Timur, yang menilai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu tidak pandang bulu dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Banyak harapan diletakkan di pundak Abraham Samad pada komisi yang relatif masih berusia muda, dan memiliki harapan panjang dalam menegakkan keberadaban demokrasi di Indonesia.

Secara esensial, dalam telaah komunikasi politik yang dikaitkan dengan aspek kewilayahan, kedekatan geografis dan kemiripan karakteristik dapat meningkatkan keeratan hubungan yang didasarkan pada nilai, sikap, dan kepercayaan. Dengan demikian, secara sederhana, dihubungkan dengan eksistensi calon wakil presiden dari Sulawesi Selatan, maka peluang Jusuf Kalla maupun Abraham Samad untuk dipilih masyarakat Indonesia Timur sangat besar. Ada ikatan nilai sosial dan moralitas yang merasa `sesama' orang Indonesia Timur. Bahkan dalam konstelasi geopolitik yang lebih makro, kawasan Indonesia Tengah pun akan mengekspresikan diri sebagai sesama orang luar Jawa.

JK atau Samad

Kalau pilihan Jokowi jatuh ke Jusuf Kalla, peluang untuk menangguk suara dari kubu Golkar yang meraih suara 14,75% menjadi terbuka.

JK adalah politikus senior yang dihormati dan masih memiliki akar kuat di partai beringin kuning. Keberadaan Kalla juga tidak bisa lepas dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mendapat suara 9,04% itu. Sejak awal JK merupakan salah satu kandidat presiden dari PKB bersama dengan Mahfud MD dan Rhoma Irama. Karena itu, jika ditambah dengan suara PDIP yang 18,95%, dan NasDem yang mendapat 6,72%, jumlah total diperkirakan mencapai 49,46%. Bahkan dalam perkembangannya, meskipun jumlah suara tidak memiliki relevansi dengan elektabilitas calon presiden, bergabungnya Hanura yang memperoleh 5,26%, ataupun bisa saja partai lain menyusul, diperkirakan memiliki ikatan kuat dengan politikus senior Jusuf Kalla maupun Indonesia Timur.

Memang suara Partai Golkar dipastikan tidak bulat mendukung Jokowi-JK jika Golkar juga menetapkan calon presiden ataupun calon wakil presiden selain Kalla. Akan tetapi, apa pun yang dilakukan partai be ringin tidak akan menghambat keberadaan Kalla sebagai pendamping capres PDIP. Melihat reputasi Kalla tersebut, bukan berarti Abraham Samad memiliki peluang lebih kecil untuk meraih suara konstituen dalam Pilpres 2014. Sebagai ikon baru Sulawesi Selatan yang relatif berusia muda dan belum pernah bersentuhan dengan politik masa lalu, Ketua KPK itu juga memiliki kesempatan sama dengan JK yang politikus senior dan pengusaha. Tidak dapat dikesampingkan, sejumlah pihak sebagai simpatisan atau pemilih Jokowi, selain ada yang menghendaki Jokowi didampingi oleh militer, juga mengharapkan Jokowi dikawal oleh tokoh muda yang tidak berhubungan dengan politik masa lalu.

Hakikatnya, jika Jokowi berpasangan dengan tokoh dari Sulawesi Selatan, peluang menuju istana negara menjadi semakin terbuka lebar. Akan tetapi, mengingat dinamika politik nasional tidak mudah untuk diprediksikan, bisa saja dua nama populer asal Indonesia Timur itu justru terpental tidak bisa mendampingi Jokowi dalam kontestasi menuju RI-1 akibat muncul figur baru yang tidak terduga. Namun, kalaupun Jokowi akhirnya didampingi JK atau Abraham Samad, bukan berarti serta-merta mampu meraih kemenangan, sebab pasangan capres dan cawapres lain juga memiliki strategi kampanye yang berlandaskan kepada geopolitik demi meraih kemenangan dalam Pemilihan Presiden pada Juli 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar