Pelapukan
Mutu Pendidikan
Posman
Sibuea ; Guru Besar
Tetap
di Universitas
Katolik Santo Thomas Sumatera Utara
|
SINAR
HARAPAN, 16 Mei 2014
|
Dunia
pendidikan di Indonesia kembali berduka. Setelah terkuak tragedi kekerasan
seksual terhadap murid taman kanak-kanak Jakarta International School (JIS),
wajah pendidikan kembali ternodai tindak kekerasan fisik di Sekolah Tinggi
Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, yang menewaskan seorang taruna junior, Dimas
Dikita Handoko (19), karena dipukuli dan dianiaya tujuh taruna seniornya.
Kasus
kekerasan fisik di STIP berlanjut lagi dengan meninggalnya Renggo Khadafi,
siswa kelas V SD yang tewas dipukuli kakak kelasnya. Kasus kekerasan yang
berujung kematian ini amat memprihatinkan sebab terjadi di lembaga pendidikan
yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu dan jauh dari tindak kekerasan.
Ironisnya,
lembaga pendidikan yang seharusnya menggodok para pemimpin bangsa di masa
datang justru menjadi tempat pembantaian manusia. Pertanyaannya, calon
pemimpin seperti apa yang bisa diharapkan menetas dari lembaga pendidikan
yang mengedepankan otot ketimbang otak itu?
Kekerasan
demi kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan membuat hati miris, mengapa
penganiayaan fisik bisa berkembang di lembaga pendidikan dan berakhir dengan
menghilangkan nyawa orang.
Salah
satu alasan yang kerap dilontarkan adalah, proses pembelajaran yang
berlangsung di lembaga pendidikan hanya sekadar mengejar target pencapaian
kurikulum sehingga proses pendidikan nilai makin kabur. Hal ini telah
berlangsung lama dan menjadi proses pelapukan mutu pendidikan.
Fenomena
ini menjadi topik diskusi aktual dalam rangkaian peringatan Hari Pendidikan Nasional
bulan Mei ini, untuk mengingatkan pendidikan di negeri yang berlandaskan
Pancasila ini selalu dibayang-bayangi perapuhan nilai.
Ketika
proses pendidikan diarahkan semata mengejar pencapaian tujuan kurikulum,
institusi pendidikan telah diposisikan sekadar pabrik yang membidani lahirnya
tukang. Perakitan produk akhir demikian bermuara pada proses pelapukan mutu
pendidikan karena miskin pembelajaran budi pekerti.
Secara
perlahan tapi pasti, lembaga pendidikan direduksi menjadi sekadar arena
diklat (pendidikan dan latihan) untuk menyiapkan lulusannya siap pakai.
Sekolah mempersiapkan alumninya siap masuk ke pasar kerja, jelas hal penting.
Namun,
dalam tataran nilai budaya, tujuan ini tidak seluruhnya benar karena lembaga
pendidikan tidak semata pusat pemintaran intelektual. Secara pedagogis adalah
sesat jika keberhasilan kognitif terlalu didewa-dewakan sebagai alat
representasi prestasi siswa dan mahasiswa dengan memarjinalisasikan sistem
pendidikan nilai yang berkaitan dengan budi pekerti.
Revitalisasi
pendidikan nilai guna membentuk kembali budi pekerti kian penting dimaknai,
ketika dalam kehidupan masyarakat makin kabur kriteria moral yang dapat
digunakan sebagai acuan untuk berperilaku.
Ketika
di sekolah terjadi penganiayaan fisik, lembaga pendidikan yang menaburkan
benih-benih demokratisasi ini bukan lagi tempat steril dari segala macam
bentuk kekerasan. Tawuran di tingkat siswa SMP dan SMA di sejumlah kota besar
merupakan serpihan contoh lain yang menyadarkan kekerasan kerap berulang di
sekolah.
Kekerasan
di dunia pendidikan tidak pernah surut. Benih kekerasan yang disemaikan dalam
media perpeloncoan misalnya, terus diwariskan ke generasi berikutnya dan
menjadi awan gelap yang menutupi pancaran sinar pencerahan pendidikan nilai.
Meski perpeloncoan sudah dihapus sejak 1995, kegiatan ini masih terus
bergulir seperti bola salju di sejumlah kampus untuk alasan menumbuhkan
“disiplin” bagi mahasiswa baru.
Ada
dugaan, perpeloncoan yang dikemas dalam bingkai pendidikan ala militer yang
bias ini acap menjadi pembenaran bagi senior untuk menindas mahasiswa baru.
Perpeloncoan dengan hukuman fisik bukan lagi situasi insidentil yang
dilakukan antara senior dan junior, tetapi sudah berubah menjadi suatu
situasi massal yang sistematis dan terorganisasi secara rapi.
Bentuk Lain
Lembaga
pendidikan terus diwarnai berbagai kekerasan baik fisik maupun nonfisik.
Perilaku agresif untuk menekan atau menyerang dengan kata-kata (bullying),
seperti ejekan untuk mempermalukan, hinaan, tekanan, dan fitnah, dengan
maksud mendehumanisasi orang lain dapat disebut telah melakukan tindak
kekerasan dalam bentuk lain (nonfisik). Pelakunya tidak hanya siswa dan
mahasiswa senior, tetapi orang tua dapat melakukan bullying terhadap
anak-anaknya dan orang lain.
Tindakan
bullying sudah menjadi keseharian
di lembaga pendidikan di Tanah Air, mulai dari tingkat TK/SD hingga
universitas. Konon, pernah terjadi seorang siswa meninggal dunia karena
gantung diri akibat sering diejek temannya sebagai anak tukang bubur. Korban
lain adalah seorang siswa SMP meregang nyawa karena penyakit jantungnya
kambuh tiba-tiba saat mengikuti Ujian Nasional (UN) 2007 di Semarang.
Para
siswa peserta UN acap mengalami depresi berat saat ujian. Mereka berada di
bawah tekanan sebab UN dianggap sebagai penentu kelulusan. Dunia pendidikan
pun tak ubahnya seperti pabrik pakaian jadi. Konsumen tidak mempersoalkan
bagaimana proses pembuatan pakaian itu, yang penting apakah setelah jadi,
baju tersebut bagus atau jelek di badan si pemakai.
Semangat
mengutamakan produk akhir dalam tujuan pendidikan kini kian mengental dengan
terselenggaranya kembali UN 2014—dengan sejumlah kecurangan yang selalu
terjadi—sebagai penentu kelulusan.
Di sisi
lain, makin maraknya penyelenggaraan bimbingan tes untuk membantu siswa
mengatasi kepanikan menghadapi UN, menandakan siswa selalu berada di bawah
bayang-bayang kekerasan. Itu artinya, proses pelapukan mutu pendidikan di
sekolah tetap berlangsung tanpa bisa dihentikan karena UN telah berhasil
mereduksi esensi dari makna belajar.
Praktik
pendidikan formal telah diperlakukan tak ubahnya dunia persilatan yang
mengutamakan otot, juga dunia perdagangan yang mementingkan produk akhir yang
bernilai ekonomi. Bagaimana produk itu dibuat seolah bukan urusan pejabat
berwenang. Pendidikan pun sudah menjadi komoditas untuk meraup untung.
Lembaga
pendidikan patut segera disterilkan dari segala bentuk kekerasan. Untuk itu,
proses pembelajaran tidak lagi semata pemintaran intelektual (kognisi),
tetapi saatnya diarahkan juga kepada pembentukan karakter (afeksi) peserta
didik secara berkelanjutan.
Memutus
mata rantai kekerasan harus dimulai dari memperbanyak muatan kurikulum
berbasis karakter, guna menetaskan lulusan berbudi pekerti luhur yang
berintegritas moral tinggi. Kekerasan fisik di STIP dan SD, serta kekerasan seksual
kepada murid TK JIS diharapkan dapat menjadi bentuk kekerasan yang terakhir
di lembaga pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar