Jangan
Pernah Remehkan “Bullying School”
Shinta
TMS ; Ketua Komisariat
Dwilogi GMNI Pekanbaru,
Mahasiswa
jurusan Kriminologi, Universitas Islam Riau-Pekanbaru
|
SINAR
HARAPAN, 16 Mei 2014
|
Permasalahan
yang dihadapi Indonesia sekarang ini salah satunya dalam dunia pendidikan.
Belakangan ini, banyak sekali muncul kejadian dan peristiwa yang mencemari
dunia pendidikan.
Pada
2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebutkan, bullying di sekolah dalam masa
orientasi sebagai sikap yang telah keluar dari nilai-nilai kemanusiaan dan
tujuan pendidikan.
Sikap
presiden ini menunjukkan perhatian khusus terhadap maraknya praktik bullying
dalam masa orientasi sekolah. Hal itu disampaikan presiden menaggapi aksi
kekerasan dalam masa orientasi sekolah, khusus peristiwa bullying pada SMA Don Bosco Jakarta.
Tahun
ini kita dikejutkan dua peristiwa terkait bullying,
yaitu tewasnya murid Dimas Dikita Handoko (19), taruna Sekolah Tinggi Ilmu
Pelayaran (STIP), Marunda, Cilincing, Jakarta Utara setelah dianiaya tujuh
seniornya.
Mirisnya
lagi, bullying juga menimbulkan
korban Renggo Khadafi, siswa yang masih duduk di kelas V SDN Makasar 09 Pagi,
Jakarta Timur. Korban tewas dianiaya kakak kelasnya setelah tanpa sengaja
menjatuhkan makanan milik pelaku.
Perilaku
pada anak dan remaja yang tidak sesuai sistem nilai yang berlaku atau
norma-norma di masyarakat, menimbulkan jenis kenakalan yang biasa, juga
perilaku yang menjurus kepada tindakan kriminal. Fenomena sosial yang kerap
terjadi di lingkungan sekolah ini termasuk dalam kategori bullying school.
Dalam
bahasa Inggris, bullying berasal
dari kata bully yang berarti
menggertak atau mengganggu orang yang lemah. Secara konsep, bullying merujuk perilaku agresif
seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan berulang-ulang terhadap orang
atau sekelompok orang lain yang lebih lemah, untuk menyakiti korban secara
fisik maupun mental.
Tindakan
para pelaku bullying bisa berupa kekerasan dalam bentuk fisik (menampar,
memukul, menganiaya, menciderai), verbal (mengejek, mengolok-olok, memaki),
juga mental atau psikis (memalak, mengancam, mengintimidasi, mengucilkan)
atau gabungan antara ketiganya (Olweus,
1993:24).
Bullying
yang terjadi di sekolah memiliki dampak sangat serius, baik dalam jangka
pendek maupun panjang. Dampak jangka pendek yang ditimbulkan berupa perasaan
tidak aman, takut pergi ke sekolah, merasa terisolasi, perasaan harga diri
yang rendah, bahkan dapat menyebabkan stres yang mengakibatkan korban bunuh
diri. Dalam jangka panjang, korban dapat menderita gangguan perilaku dan
emosional.
Perspektif Kriminologi
Awalnya,
para kriminolog berasumsi faktor niat dan kesempatan menjadi sebab timbulnya
kejahatan atau kenakalan anak. Dalam perkembangannya, muncul teori differential association oleh Edwin A
Sutherland, menjelaskan pengaruh perilaku kelompok pada sikap seseorang
dengan cara berinteraksi melalui proses belajar.
Secara
rinci terdapat sembilan preposisi menjelaskan proses terjadinya kejahatan,
sebagai berikut: (1) Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari.
Artinya, perilaku itu tidak diwariskan. (2) Perilaku kejahatan dipelajari
dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi
tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa tubuh. (3)
Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam
kelompok personal yang intim. Secara negatif ini berarti komunikasi
interpersonal seperti melalui bioskop atau surat kabar, secara relatif tidak
mempunyai peranan penting dalam terjadinya kejahatan. (4) Ketika perilaku
kejahatan dipelajari, yang dipelajari termasuk: (a) teknik melakukan
kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan, alasan pembenar, dan
sikap-sikap tertentu. (5) Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui
definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat, kadang seseorang
dikelilingi orang-orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam
peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi. Namun,
kadang ia dikelilingi orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu
yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan. (6) Seseorang menjadi
delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum
sebagai pemberi peluang melakukan kejahatan, daripada melihat hukum sebagai
sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi. (7) Asosiasi Diferensial
bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas, serta intensitasnya. (8)
Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola
kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara
umum. (9) Perilaku jahat merupakan ekspresi kebutuhan nilai umum. Namun,
tidak dijelaskan perilaku yang bukan jahat pun merupakan ekspresi kebutuhan
dan nilai-nilai umum yang sama.
Selain
teori Sutherland, terdapat teori kontrol sosial yang dapat menjelaskan latar
belakang perilaku jahat pada anak. Teori ini berangkat dari asumsi dasar,
individu mempunyai kecendrungan yang sama kemungkinannya menjadi baik dan
jahat. Baik dan jahatnya seseorang tergantung pada masyarakatnya. Menjadi
baik kalau masyarakatnya membuat baik dan menjadi jahat bila masyarakatnya
membuatnya jahat (John Hegen, Modern
Criminology).
Perlindungan Anak
Upaya
penanggulangan kenakalan anak haruslah benar-benar dilakukan sedini mungkin.
Berdasarkan satu penelitian, ditemukan 80 persen anak delinkuen jika tidak
ditangani secara benar akan dapat menjadi penjahat atau kriminal pada masa
dewasa (A Phelps dan Henderson, 1981).
Dalam
perspektif kriminologi, para ahli membahasnya melalui pendekatan biologis,
psikologis, dan sosial. Pada zaman modern ini, lingkungan cenderung menjadi
salah satu faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kenakalan anak. Faktor
lingkungan juga dapat digunakan sebagai salah satu saran atau solusi dalam
upaya penanggulangan kenakalan anak.
Salah
satu dampak negatif yang dikhawatirkan bila permasalahan ini tidak
terselesaikan adalah menyebabkan generasi muda bangsa ini menjadi “loyo”. Di
sisi yang lain, anak merupakan aset masa depan bangsa dan generasi penerus
cita-cita bangsa. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,
berpartisipasi, serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Dalam UU
Perlindungan Anak Nomor 23/2002 Pasal 54 menyatakan, anak di dalam dan
lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan
guru, pengelola sekolah atau teman-temannya dalam sekolah bersangkutan, atau
lembaga pendidikan lainnya.
Ini
berarti, anak-anak di lingkungan sekolah memiliki hak untuk mendapat
pendidikan dalam lingkungan aman dan bebas dari rasa takut. Dalam hal ini,
pengelola sekolah dan pihak lain yang bertanggung jawab dalam penyelengaraan
pendidikan berkewajiban melindungi siswa dari intimidasi, penyerangan,
kekerasan, atau gangguan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar