Sabtu, 17 Mei 2014

Jangan Pernah Remehkan “Bullying School”

Jangan Pernah Remehkan “Bullying School”

Shinta TMS  ;   Ketua Komisariat Dwilogi GMNI Pekanbaru,
Mahasiswa jurusan Kriminologi, Universitas Islam Riau-Pekanbaru
SINAR HARAPAN,  16 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Permasalahan yang dihadapi Indonesia sekarang ini salah satunya dalam dunia pendidikan. Belakangan ini, banyak sekali muncul kejadian dan peristiwa yang mencemari dunia pendidikan.

Pada 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebutkan, bullying di sekolah dalam masa orientasi sebagai sikap yang telah keluar dari nilai-nilai kemanusiaan dan tujuan pendidikan.

Sikap presiden ini menunjukkan perhatian khusus terhadap maraknya praktik bullying dalam masa orientasi sekolah. Hal itu disampaikan presiden menaggapi aksi kekerasan dalam masa orientasi sekolah, khusus peristiwa bullying pada SMA Don Bosco Jakarta.

Tahun ini kita dikejutkan dua peristiwa terkait bullying, yaitu tewasnya murid Dimas Dikita Handoko (19), taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Marunda, Cilincing, Jakarta Utara setelah dianiaya tujuh seniornya.

Mirisnya lagi, bullying juga menimbulkan korban Renggo Khadafi, siswa yang masih duduk di kelas V SDN Makasar 09 Pagi, Jakarta Timur. Korban tewas dianiaya kakak kelasnya setelah tanpa sengaja menjatuhkan makanan milik pelaku.

Perilaku pada anak dan remaja yang tidak sesuai sistem nilai yang berlaku atau norma-norma di masyarakat, menimbulkan jenis kenakalan yang biasa, juga perilaku yang menjurus kepada tindakan kriminal. Fenomena sosial yang kerap terjadi di lingkungan sekolah ini termasuk dalam kategori bullying school.

Dalam bahasa Inggris, bullying berasal dari kata bully yang berarti menggertak atau mengganggu orang yang lemah. Secara konsep, bullying merujuk perilaku agresif seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan berulang-ulang terhadap orang atau sekelompok orang lain yang lebih lemah, untuk menyakiti korban secara fisik maupun mental.

Tindakan para pelaku bullying bisa berupa kekerasan dalam bentuk fisik (menampar, memukul, menganiaya, menciderai), verbal (mengejek, mengolok-olok, memaki), juga mental atau psikis (memalak, mengancam, mengintimidasi, mengucilkan) atau gabungan antara ketiganya (Olweus, 1993:24).

Bullying yang terjadi di sekolah memiliki dampak sangat serius, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dampak jangka pendek yang ditimbulkan berupa perasaan tidak aman, takut pergi ke sekolah, merasa terisolasi, perasaan harga diri yang rendah, bahkan dapat menyebabkan stres yang mengakibatkan korban bunuh diri. Dalam jangka panjang, korban dapat menderita gangguan perilaku dan emosional.

Perspektif Kriminologi

Awalnya, para kriminolog berasumsi faktor niat dan kesempatan menjadi sebab timbulnya kejahatan atau kenakalan anak. Dalam perkembangannya, muncul teori differential association oleh Edwin A Sutherland, menjelaskan pengaruh perilaku kelompok pada sikap seseorang dengan cara berinteraksi melalui proses belajar.

Secara rinci terdapat sembilan preposisi menjelaskan proses terjadinya kejahatan, sebagai berikut: (1) Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari. Artinya, perilaku itu tidak diwariskan. (2) Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa tubuh. (3) Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim. Secara negatif ini berarti komunikasi interpersonal seperti melalui bioskop atau surat kabar, secara relatif tidak mempunyai peranan penting dalam terjadinya kejahatan. (4) Ketika perilaku kejahatan dipelajari, yang dipelajari termasuk: (a) teknik melakukan kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan, alasan pembenar, dan sikap-sikap tertentu. (5) Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat, kadang seseorang dikelilingi orang-orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi. Namun, kadang ia dikelilingi orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan. (6) Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai pemberi peluang melakukan kejahatan, daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi. (7) Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas, serta intensitasnya. (8) Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara umum. (9) Perilaku jahat merupakan ekspresi kebutuhan nilai umum. Namun, tidak dijelaskan perilaku yang bukan jahat pun merupakan ekspresi kebutuhan dan nilai-nilai umum yang sama.

Selain teori Sutherland, terdapat teori kontrol sosial yang dapat menjelaskan latar belakang perilaku jahat pada anak. Teori ini berangkat dari asumsi dasar, individu mempunyai kecendrungan yang sama kemungkinannya menjadi baik dan jahat. Baik dan jahatnya seseorang tergantung pada masyarakatnya. Menjadi baik kalau masyarakatnya membuat baik dan menjadi jahat bila masyarakatnya membuatnya jahat (John Hegen, Modern Criminology).

Perlindungan Anak

Upaya penanggulangan kenakalan anak haruslah benar-benar dilakukan sedini mungkin. Berdasarkan satu penelitian, ditemukan 80 persen anak delinkuen jika tidak ditangani secara benar akan dapat menjadi penjahat atau kriminal pada masa dewasa (A Phelps dan Henderson, 1981).

Dalam perspektif kriminologi, para ahli membahasnya melalui pendekatan biologis, psikologis, dan sosial. Pada zaman modern ini, lingkungan cenderung menjadi salah satu faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kenakalan anak. Faktor lingkungan juga dapat digunakan sebagai salah satu saran atau solusi dalam upaya penanggulangan kenakalan anak.

Salah satu dampak negatif yang dikhawatirkan bila permasalahan ini tidak terselesaikan adalah menyebabkan generasi muda bangsa ini menjadi “loyo”. Di sisi yang lain, anak merupakan aset masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Dalam UU Perlindungan Anak Nomor 23/2002 Pasal 54 menyatakan, anak di dalam dan lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan guru, pengelola sekolah atau teman-temannya dalam sekolah bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

Ini berarti, anak-anak di lingkungan sekolah memiliki hak untuk mendapat pendidikan dalam lingkungan aman dan bebas dari rasa takut. Dalam hal ini, pengelola sekolah dan pihak lain yang bertanggung jawab dalam penyelengaraan pendidikan berkewajiban melindungi siswa dari intimidasi, penyerangan, kekerasan, atau gangguan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar