AEC
2015 dan Reformasi Pendidikan Indonesia
Adhe
Nuansa Wibisono ; Peneliti ASEAN
di The Habibie Center
|
OKEZONENEWS,
16 Mei 2014
|
Ketidaksiapan Indonesia
Akhir
tahun 2015 akan menjadi batas tenggat waktu bagi Indonesia untuk memasuki ASEAN Economic Community (AEC),
masyarakat ekonomi ASEAN yang membuka batas-batas aturan mengenai pajak,
tarif dan bea untuk barang dan jasa di kawasan Asia Tenggara.
Hadirnya
AEC ini juga akan berpengaruh tidak hanya pada sektor perdagangan bebas untuk
berbagai produk barang tetapi juga akan berpengaruh terhadap sektor tenaga
kerja. Dengan AEC berbagai negara di ASEAN akan dengan bebas bersaing untuk
mengisi sektor tenaga kerja di seluruh negara ASEAN.
Bagi
negara yang memiliki tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan dan
kompetensi yang tinggi, AEC ini akan menjadi peluang untuk melakukan ekspansi
tenaga kerja ke negara ASEAN lainnya. Bagaimana dengan Indonesia, apakah sebenarnya
Indonesia sudah memiliki kesiapan untuk menghadapi AEC ini?
Data
Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2013 menyebutkan bahwa postur tenaga
kerja Indonesia adalah pekerja lulusan Sekolah Dasar (SD) ke bawah berjumlah
sebesar 52 juta orang (46,93%) atau hampir setengah dari total pekerja
sebesar 110,8 juta orang.
Kemudian
pekerja lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 20,5 juta orang
(18,5%), pekerja lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 17,84 juta orang
(16,1%). Jumlah paling rendah ditemui pada pekerja lulusan universitas dengan
jumlah 7,57 juta orang (6,83%) dan lulusan diploma sejumlah 2,92 juta orang
(2,63%).
Sebagai
perbandingan, menurut data Department
of Statistics Malaysia (DOSM) pada tahun 2012, jumlah tenaga kerja Malaysia
adalah 13,12 juta orang dengan postur sebesar 7,32 juta orang (55,79%) adalah
lulusan sekolah menengah dan sejumlah 3,19 juta orang (24,37%) adalah lulusan
universitas dan diploma.
Negara
ASEAN lainnya seperti Singapura, menurut data World Bank pada tahun 2012
memiliki jumlah tenaga kerja sebesar 3,22 juta orang dengan pekerja lulusan
sekolah menengah sebesar 49,9% dan lulusan universitas dan diploma sebesar
29,4%.
Dari
data tersebut kita dapat melihat bahwa hampir dari separuh tenaga kerja
Indonesia (46,93%) adalah low skilled labour lulusan SD yang secara kontras
dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia yang sekira 80% tenaga kerjanya
adalah lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi. Hal ini menyiratkan
ketidaksiapan Indonesia dalam pasar bebas tenaga kerja di ASEAN jika AEC
diberlakukan per 31 Desember 2015 nanti.
Akses Pendidikan Tinggi
Akar
masalah dari betapa rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia, akan
ditemukan satu masalah pokok yaitu kepada terbatasnya akses pendidikan tinggi
disebabkan mahalnya biaya pendidikan di Indonesia.
Menarik
melihat wacana baru tentang akses pendidikan tinggi yang digulirkan oleh
aktivis mahasiswa, salah satunya oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI) yang mewacanakan ide Jaminan Pendidikan Nasional
(Jamdiknas), yang menuntut pemerintah Indonesia untuk memberikan
penyelenggaraan jaminan pendidikan gratis dan berkualitas hingga sarjana (S1)
kepada seluruh anak Indonesia (Republika,
28 April 2014).
KAMMI
mengusung ide Jamdiknas dengan argumen bahwa jika alokasi anggaran pendidikan
nasional yang mencapai Rp371 triliun ditambah APBD dan alih subsidi BBM maka
alokasi anggaran tersebut dianggap cukup untuk menyelenggarakan Jamdiknas (Antara News, 30 April 2014).
Berkaca
kepada alokasi anggaran pendidikan nasional, satu masalah mendasar adalah
terjadinya korupsi sistemik yang menggerogoti anggaran pendidikan. Indonesia Corruption Watch (ICW)
mencatat selama kurun waktu 10 tahun antara 2003-2013 terungkap sebanyak 296
kasus korupsi pendidikan dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp619
miliar. Perlu diingat bahwa kerugian ini berasal hanya dari kasus yang sudah
terungkap dan masih banyak potensi korupsi pendidikan lainnya yang belum
terungkap.
Mengenai
ide negara menjamin pendidikan gratis hingga tingkat perguruan tinggi,
Finlandia dapat dijadikan contoh. Seluruh tingkatan pendidikan di Finlandia
mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi bersifat gratis karena sudah
dibiayai oleh anggaran pemerintah. Terkait dengan kualitasnya, setiap staf
pengajar di Finlandia minimal harus memiliki gelar magister (S2) agar bisa
mengajar mata pelajaran di sekolah.
Dalam
konteks pendidikan yang lebih ambisius, data yang dilansir Institute of International Education
menyebutkan Tiongkok mengirimkan 157.558 pelajar ke Amerika Serikat pada
tahun 2010-2011 untuk berbagai jenjang pendidikan tinggi, dari tingkat
sarjana hingga doktoral. Angka pengiriman pelajar ini merupakan angka
tertinggi dibandingkan negara lain yang menyiratkan upaya serius Tiongkok
untuk menjadi yang terbaik dalam hal kualitas dan kompetensi sumber daya
manusia.
Reformasi Kebijakan
Hal
mendasar yang harus diprioritaskan oleh pemerintah Indonesia ke depan dalam
menyambut AEC 2015 adalah mengubah orientasi pendidikan dan pembangunan
sumber daya manusia. Beberapa langkah yang dirasa perlu dilakukan Indonesia
terkait gagasan tersebut, adalah:
Pertama,
Pemerintah dalam waktu 5 tahun ke depan harus memberikan perhatian terhadap
peningkatan kualifikasi pendidikan tenaga kerjanya yang sebagian besar
terdiri dari lulusan sekolah dasar agar minimal dapat menjadi lulusan sekolah
menengah. Ini mendesak dilakukan agar pekerja Indonesia dapat bertahan
menghadapi AEC ke depannya.
Kedua,
Pemerintah diharapkan dapat memberantas gejala korupsi sistemik yang terjadi
khususnya dalam sektor pendidikan. Anggaran pendidikan yang berjumlah sebesar
Rp371 triliun, jika tidak tergerus oleh bancakan para koruptor tentu akan
menjadi modal utama pemerintah dalam menjalankan program-program pendidikan.
Ketiga,
Indonesia secara bertahap melakukan reformasi kebijakan pendidikan yang
kemudian dapat mendukung ide penyelenggaraan pendidikan gratis hingga tingkat
perguruan tinggi. Penataan ulang pos anggaran secara efektif dan efisien
seperti yang dilakukan Finlandia diharapkan dapat mewujudkan ide tersebut.
Keempat,
Indonesia secara bertahap meningkatkan program beasiswa pengiriman pelajar
dan mahasiswa ke luar negeri dan memiliki target capaian penambahan jumlah
magister dan doktor secara nasional.
Dengan
bertambahnya tenaga kerja yang memiliki kualifikasi pendidikan yang tinggi
akan membuat Indonesia menjadi pemain potensial dalam sektor tenaga kerja
regional dan global. Walaupun memasuki AEC 2015 dengan banyak ketidaksiapan
melalui reformasi kebijakan pendidikan yang tepat, saya yakin dalam waktu
beberapa tahun ke depan Indonesia akan bisa mengambil momentum ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar