KPK
Tidak Lagi Perang-Perangan
Bambang
Soesatyo ; Anggota Komisi
III DPR RI Fraksi Partai Golkar
|
KORAN
SINDO, 19 Mei 2014
|
KOMISI
Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menghadirkan dua wakil presiden RI dan
direktur pelaksana Bank Dunia sebagai saksi persidangan skandal Bank Century
di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Inilah
penanda perang sesungguhnya terhadap komunitas koruptor di negara ini. Dua
hari berturut-turut, Kamis (8/5) dan Jumat (9/5), jaksa penuntut umum (JPU)
KPK bisa menghadirkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Wakil Presiden
Boediono sebagai saksi untuk terdakwa Budi Mulya.
Sepekan
sebelumnya, Jumat (2/5), para JPU KPK juga berhasil menghadirkan mantan
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani. Fakta ini spesial karena sosok saksi yang
satu ini masih menjabat direktur pelaksana Bank Dunia.
Dia
harus meninggalkan kantornya di Washington DC, Amerika Serikat, dengan agenda
utama menjawab pertanyaan JPU, kuasa hukum terdakwa, dan majelis hakim di
ruang Pengadilan Tipikor Jakarta. Menghadirkan fakta persidangan seperti ini
tidak mudah.
Banyak
kalangan bahkan membayangkan KPK akan mengalami kesulitan, khususnya untuk
menghadirkan Boediono. Selain karena aspek protokoler, sempat juga muncul
pertimbangan tentang pantas-tidak pantas menghadirkan Wapres di ruang
Pengadilan Tipikor sekalipun sekadar sebagai saksi.
Apalagi,
saat memeriksa Boediono tempo hari, para penyidik KPK tidak melaksanakannya
di Gedung KPK, tapi di kantor Wapres. Namun, karena kebutuhan akan kesaksian
Boediono di pengadilan tak terhindarkan, panggilan kepada Wapres untuk
bersaksi harus dibuat.
Kesediaan
Boediono, Jusuf Kalla, serta Sri Mulyani Indrawati hadir di Pengadilan
Tipikor tak hanya disyukuri, tetapi juga diapresiasi masyarakat. Dengan
menghadirkan tiga sosok penting itu di Pengadilan Tipikor, KPK sudah menembus
hambatan atau rintangan psikologis dalam mencari kebenaran atau fakta hukum
dari sebuah kasus.
Artinya,
KPK telah menegaskan sekaligus membuktikan bahwa demi mendapatkan fakta hukum
dan kebenaran, jabatan seseorang tidak boleh menjadi faktor penghalang untuk
memberi keterangan atau kesaksian di muka pengadilan.
Lebih
dari itu, institusi KPK bersama tiga sosok penting itu sudah menunjukkan
contoh tentang kesamaan semua orang di muka hukum. Itulah pesan yang secara
tidak langsung ingin disampaikan KPK kepada siapa saja, terutama mereka yang
masih tergabung dalam komunitas koruptor di negara ini.
KPK juga
memberi sinyal tentang eskalasi perang melawan kekuatan koruptor. Bukan lagi
perang-perangan melawan korupsi, melainkan serangan sapu bersih. Tidak ada
lagi alasan untuk melakukan tebang pilih karena hambatan psikologis, terutama
ketika menghadapi kekuasaan atau pejabat tinggi negara, sudah ditembus.
Selama
ini muncul anggapan bahwa institusi penegak hukum, termasuk KPK, ewuh pakewuh, sungkan, bahkan
cenderung permisif terhadap oknum penguasa atau oknum pejabat tinggi yang
diduga terlibat kasus korupsi.
Jangankan
mendakwa, memeriksa oknum pejabat tinggi terduga koruptor pun terkesan tidak
berani. Belakangan persepsi publik mulai berubah, apalagi ketika KPK mulai
berani mendakwa oknum menteri, sejumlah pejabat tinggi, termasuk para
politisi.
Setelah menghadirkan Boediono
dan Jusuf Kalla di Pengadilan Tipikor, KPK pun telah melayangkan surat
panggilan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan putranya, Edhie
Baskoro Yudhoyono alias Ibas. Keduanya perlu memberi keterangan kepada
penyidik KPK sebagai saksi meringankan untuk Anas Urbaningrum, tersangka
kasus dugaan korupsi dan pencucian uang proyek Hambalang.
Panggilan
kepada SBY dan Ibas itu sejalan dengan permintaan Anas. Dia berhak mengajukan
permohonan agar KPK memanggil pihak-pihak dapat menjadi saksi meringankan.
Langkah KPK yang satu ini pun terbilang spesial sebab hingga kini tidak atau
bahkan belum terbayangkan bahwa para pemimpin dari sebuah institusi penegak
hukum berani melayangkan panggilan kepada presiden guna didengarkan
kesaksiannya dalam sebuah pemeriksaan oleh petugas penyidik.
Alasannya
adalah perilaku ewuh pakewuh itu
tadi. Sejak dulu tindakan seperti yang dilakukan KPK itu justru dinilai
lancang karena para pejabat negara telanjur memosisikan presiden sebagai the king can do no wrong. Lagi-lagi,
KPK menghapus salah kaprah itu.
Efek jera
Kalau
rintangan atau hambatan psikologis menghadapi para elite pemimpin sudah
ditembus, praktis tidak ada hambatan lagi bagi KPK untuk menghadapi atau
menyergap para pejabat di bawahnya. Kalau para elite hanya dihadirkan sebagai
saksi, dalam rentang waktu yang sama di penghujung April hingga pekan kedua Mei
2014 ini, KPK menjaring sejumlah tersangka. Benar-benar periode yang sibuk
dengan tangkapan lumayan besar.
Kejutan
pertama adalah menetapkan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi
Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait permohonan keberatan
pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA). Hadi dijerat dalam kapasitasnya
sebagai direktur jenderal pajak periode 2002- 2004.
Setelah
itu giliran mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Waryono Karno yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK untuk
kasus dugaan korupsi penggunaan dana di Kesetjenan ESDM tahun anggaran (TA)
2012. Tak berhenti sampai di situ, KPK kembali menjaring Ilham Arief
Sirajuddin pada hari terakhir masa jabatannya sebagai Wali Kota Makassar,
Sulawesi Selatan.
Dia
ditetapkan sebagai tersangka korupsi dalam proyek kerja sama kelola dan
transfer PDAM Kota Makassar pada 2006-2012. Di tengah hingar-bingar isu
tentang koalisi partai politik menuju Pilpres 2014, KPK menyergap dan menetapkan
Bupati Bogor Rachmat Yasin sebagai tersangka kasus korupsi karena diduga
menerima suap Rp4,5 miliar. Di Gedung KPK pun muncul pemandangan menarik.
Menteri Agama Suryadharma Ali dimintai keterangan berkait dengan proses
penyelidikan kasus dugaan korupsi penyelenggaraan haji 2012-2013 di
Kementerian Agama.
Menyusul
penetapan Waryono Karno sebagai tersangka, KPK mulai membidik Menteri ESDM
Jero Wacik. Rangkaian peristiwa hasil tangkapan KPK itu menjadi bukti belum
tumbuhnya efek jera. Artinya, kendati KPK sudah menunjukkan sikap sangat
tegas dalam dua tahun terakhir ini, efek jera untuk menghindari tindak pidana
korupsi belum merata.
Memang
di berbagai kesempatan di ruang publik terdengar percakapan mengenai rasa
takut melakukan korupsi setelah menyimak sepak terjang KPK. Namun, baru
sekadar rasa takut, bukan kesadaran untuk menghindar dari perilaku korup.
Takut
sesaat itu akan hilang dengan sendirinya ketika ada kesempatan untuk korup.
Takut sesaat itu akan mendorong calon koruptor untuk berbuat ekstra
hati-hati. Pasca penetapan tersangka Bupati Bogor Rahmat Yasin, Ketua KPK
Abraham Samad langsung membuat pernyataan yang mengingatkan semua pejabat
negara maupun daerah untuk berhenti korupsi.
Apakah
pernyataan Ketua KPK itu didengar atau tidak, itu persoalan lain. Terpenting,
Ketua KPK sudah melaksanakan kewajibannya untuk mengingatkan dan mencegah PNS
melakukan korupsi.
Fakta
persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, yang menghadirkan dua wakil
presiden RI dan direktur pelaksana Bank Dunia sebagai saksi kasus Century,
semestinya bisa menumbuhkan efek jera.
Fakta
persidangan ini menjelaskan bahwa KPK tak akan pernah lelah, takut, atau
sungkan untuk mencari bukti. Perang yang dilancarkan KPK sekarang ini bukan
lagi perangperangan dengan pedang-pedangan. Tapi, perang betulan dengan
pedang hukum tanpa pandang bulu.
Kalau kemarin KPK telah
menyentuh wakil presiden, ke depan bukan tidak mungkin KPK juga akan
menyentuh presiden. Siapa takut? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar