Bencana
di Akhir Jabatan
Marwan
Mas ; Guru Besar
Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
|
KORAN
SINDO, 19 Mei 2014
|
LANGKAH
pasti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memerangi korupsi semakin
meyakinkan. Bukan hanya karena begitu berani menyentuh kalangan menteri aktif
atau ketua umum partai, melainkan juga punya “pola baru” dalam menetapkan
tersangka korupsi.
Pola
baru itu adalah menetapkan seorang penyelenggara negara dan daerah saat
menjelang akhir jabatannya. Ini menjadi “momok baru” yang ditakuti para
pejabat. Sebelumnya, yang paling ditakuti adalah “Jumat keramat” karena KPK
acapkali menetapkan tersangka atau menahan pejabat negara pada Jumat.
Sudah
dua pejabat negara yang jadi korban “pola baru itu” yaitu mantan Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan mantan Wali Kota Makassar yang ditetapkan
sebagai tersangka sehari sebelum masa jabatannya berakhir.
Giliran
berikutnya yang dijadikan tersangka mendekati akhir masa tugasnya di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) adalah politikus Partai Demokrat Sutan Bhatoegana,
ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada Rabu (14/5/2014).
KPK
menemukan bukti permulaan yang cukup terkait pembahasan anggaran APBN
Perubahan tahun 2013 di Kementerian ESDM. Sutan yang sering mengumbar istilah
“ngeri-ngeri sedap” diduga menerima hadiah atau janji dan gratifikasi
berkaitan dengan jabatannya selaku ketua Komisi Energi.
Tertimpa tangga
Sutan
dikenakan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Nomor
31/1999 yang diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Korupsi), juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP (Pidana).
Dugaan
keterlibatan Sutan berawal saat ada fakta-fakta yang mengemuka dalam
persidangan terdakwa mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini.
Terdakwa
Rudi menyebut Sutan meminta dan menerima uang sekitar Rp2 miliar sebagai dana
THR menjelang akhir Ramadhan 2013. Ketua KPK Abraham Samad menyatakan, kasus
ini masih terus dikembangkan pada kemungkinan keterlibatan aktor-aktor lain
di Komisi VII DPR.
Tentu
saya percaya KPK akan menjadikan ini sebagai momentum emas untuk membongkar
siapa saja yang terlibat dalam skandal di SKK Migas, terutama setelah menjadi
fakta atau alat bukti di depan sidang pengadilan. Tetapi, ada peribahasa yang
tepat dikiaskan bagi Sutan adalah “sudah jatuh tertimpa tangga pula”.
Selain
gagal kembali menjadi anggota DPR periode 2014-2019, juga dijadikan
tersangka. Dalam salah satu judul berita harian Media Indonesia (16/5/2014)
menyebut “Ngeri-Ngeri (Tak) Sedap di
Ujung Jabatan” bagi Sutan yang sering diucapkannya dalam berbagai diskusi
di televisi.
Ini
menjadi ungkapan “tak sedap” menjelang akhir tugasnya di DPR. Tentu publik
tahu bahwa korupsi di negeri ini sudah menjadi tumor ganas yang mengancam
keselamatan uang negara. Apakah penetapan tersangka bagi pejabat negara pada
akhir jabatannya bisa menjadi efek jera sekaligus menimbulkan rasa takut bagi
calon koruptor lain?
Tentu
masih butuh pembuktian sebab hukuman seberat apa pun yang dijatuhkan hakim
bagi koruptor nyatanya tidak membuat korupsi menurun. Malah ada kecenderungan
meningkat dengan segala motivasinya. Upaya memberantas korupsi yang dilakukan
KPK, kepolisian, kejaksaan, hakim, dan advokat tidak membuat pejabat “merasa ngeri-ngeri tak sedap”.
Realitas yang ada, justru para koruptor tetap tidak malu.
Mereka
malah menebar senyum manis ketika disorot puluhan kamera saat digiring ke
ruang tahanan KPK. Yang membuat publik semakin geram, tersangka korupsi
memperlihatkan wajah tanpa penyesalan sama sekali dan tetap berpakaian necis
yang dibeli dari uang rakyat. Maka itu, kita harus terus menjaga dan
memotivasi KPK untuk terus melangkah pasti. Rakyat akan selalu mendukung KPK,
termasuk kepolisian, kejaksaan, hakim, dan advokat yang gigih memerangi
perilaku korupsi.
Sudah sistemik
Melihat
sejarah perilaku korupsi penyelenggara negara di negeri ini, biasanya tidak
dilakukan secara sendirian. Yang bekerja dan bermain bukan perorangan,
melainkan selalu bekerja sama, sistemik, dan punya jaringan khusus. Di
parlemen selalu melibatkan anggota dari fraksi-fraksi lain dan oknum
pengusaha yang punya kepentingan dalam membahas anggaran proyek berfungsi
sebagai “penyuap”.
Gambaran
di atas membawa kita pada anggapan bahwa korupsi kini sudah menggurita dan
menjadi tumor ganas. Bukan hanya di jalan raya yang biasa ditemukan dengan
istilah pungutan liar (pungli) atau sogokan di jembatan timbang seperti yang
ditemukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat melakukan sidak, melainkan
juga sudah merambah begitu dahsyat di lingkungan petinggi negara.
Sudah
penuh memori saya sehingga sering saya lupa nama-nama penyelenggara negara
yang terbelit korupsi. Lebih celaka karena pejabat hukum sekelas ketua
Mahkamah Konstitusi juga tersandung korupsi.
Juga
tidak sedikit anggota DPR yang meringkuk di penjara, bahkan aparat penegak
hukum seperti polisi, jaksa, hakim, advokat, termasuk kepala daerah. Menurut
catatan Kementerian Dalam Negeri, hingga Mei 2014 sudah 318 orang dari 524
kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut kasus korupsi (Sinar Harapan, 10/5/2014).
Yang
lebih memprihatinkan karena yang terlibat korupsi adalah orang yang
berpendidikan dan kalangan yang terhormat. Dilihat dari sisi materi juga
tidak tergolong rendah sehingga wajar jika undang-undang korupsi menyebut
salah satu unsur korupsi karena “memperkaya diri sendiri”.
Tampaknya
ada pemicu korupsi yang perlu diperangi, selain biaya politik tinggi akibat
politik uang dalam pemilihan umum atau dalam meraih jabatan, juga pengaruh
kehidupan konsumerisme dan watak rakus.
Pilihan
paling tepat memerangi perilaku korupsi adalah menjadinya sebagai musuh
bersama. Beberapa putusan hakim agung dan tuntutan penuntut umum KPK yang
cukup berat, bahkan upaya pemiskinan dengan menjatuhkan pidana denda yang
besar dan pembayaran uang pengganti, tetap saja belum mempan.
Rupanya
perlu meniru Pemerintah Tiongkok (China) yang begitu tegas dengan menjatuhkan
hukuman mati. Boleh jadi ini akan efektif menimbulkan rasa takut bagi calon
koruptor yang antre di berbagai institusi negara agar tidak mewujudkan
cita-citanya melakukan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar