Koalisi
Tanpa Jatah Menteri,
Meritokrasi
atau Otokrasi Jokowi
MA
Hailuki ; Pemerhati Komunikasi Politik,
Ketua Ikatan Alumni Ilmu Politik IISIP Jakarta
|
OKEZONENEWS,
08 Mei 2014
|
Pemilihan Presiden (Pilpres) masih dua bulan lagi, para calon
presiden (capres) sedang sibuk-sibuknya membangun kekuatan, membentuk poros
koalisi sekaligus menimang-nimang sosok calon wakil presiden (cawapres).
Belum ada yang tuntas, berbagai proses penjajakan dan tarik menarik sedang
berlangsung, termasuk juga capres PDI Perjuangan Joko Widodo yang menampilkan
atraksi politik.
Sabtu (12/4/2014) Gubernur DKI Jakarta ini melakukan 'blusukan
politik' menjajaki koalisi dengan tiga partai politik (parpol) sekaligus
dalam sehari, yaitu Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Golongan Karya
(Golkar) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kepada ketiga parpol tersebut
ternyata Jokowi tidak menawarkan format koalisi, melainkan kerja sama
politik. Maksudnya, koalisi dengan tanpa jatah kursi menteri bahkan jatah
kursi wapres bagi Golkar, NasDem, dan PKB.
Adalah konsepsi politik yang menarik untuk dikaji dan dicermati,
apakah mungkin membangun koalisi tanpa "reserve"
atau dengan kata lain, taat dan tunduk sepenuhnya kepada Jokowi dalam hal
penentuan sosok cawapres dan jatah kursi menteri di kabinet. Mengingat Golkar
adalah pemenang kedua Pemilu Legislatif (Pileg) dengan raihan sekira 14%,
lalu PKB mempunyai suara 9,1% serta NasDem sebesar 6% suara nasional, sebenarnya
bobot yang cukup untuk dijadikan sebagai alat tawar politik dalam membangun
koalisi.
Tapi rupanya itu tidak berlaku untuk Jokowi, karena sampai hari
ini, memang Jokowi adalah capres unggulan yang diusung PDIP selaku juara
pertama pileg dengan besaran mencapai 19% suara. Apakah dua keunggulan
tersebut sudah cukup untuk meluluhkan syahwat politik Golkar, PKB dan NasDem?
Hanya NasDem yang 'pasrah' menerima pinangan PDIP dengan segala
pertimbangannya, adapun Golkar menolak mentah-mentah, sementara PKB masih
tarik ulur.
Diksi politik yang Jokowi gunakan adalah 'kerja sama', bukan
koalisi, karena menurut Jokowi, koalisi hanya terkesan sekadar bagi-bagi
kursi menteri. Mungkin yang maksud Jokowi adalah pemahanan koalisi dalam
politik praktis, namun bagi ilmu politik memaknai koalisi harus secara
terminologi. Dalam ilmu politik, koalisi adalah sebuah langkah dan strategi
untuk memenangkan pemilihan dan meraih dukungan di parlemen guna mengamankan
jalannya pemerintahan. Tanpa koalisi, maka pemerintahan yang terbentuk adalah
minority goverment, dimana pemerintah tidak bisa mengontrol suara mayoritas
di parlemen. (Antonio Cheibub, 2002).
Meritokrasi Vs Otokrasi
Koalisi dalam politik jelas bukanlah sekadar bagi-bagi jatah
kursi, koalisi dibangun untuk menyatukan kekuatan parpol dalam mendukung
program-program pemerintah. Terlebih lagi dalam sistem pemerintahan
presidensial sekaligus multipartai yang dianut Indonesia mewajibkan adanya
bangunan koalisi untuk mengawal pemerintahan. Sepopuler apapun seorang
capres, sebesar apapun raihan suara presiden terpilih, tetap membutuhkan
koalisi yang kokoh.
Sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia minus masa Orde Baru,
koalisi selalu didasarkan kepada pembagian kursi kabinet. Karena kursi
kabinet bagi parpol tidak hanya dianggap sebagai pencapaian karier politik,
melainkan instrumen bagi parpol untuk mengimplementasikan gagasan yang selama
ini dikampanyekannya. Membangun koalisi tanpa distribusi kabinet adalah
fantasi politik tanpa memahami terminologi koalisi itu sendiri.
Dalam sistem presidensial multipartai di Indonesia tidaklah
tepat membangun koalisi tanpa distribusi kabinet, dan lebih tidak tepat lagi
apabila mengabaikan koalisi sepenuhnya. Stigma bahwa koalisi adalah bagi-bagi
jatah kursi semata harus dibuang jauh-jauh, karena distribusi kabinet dalam
koalisi bisa dibangun dengan menganut prinsip meritokrasi yang artinya
merekrut kader parpol yang ahli berprestasi di bidangnya untuk duduk di
kabinet. Jika ini yang dimaksud Jokowi, maka diksi 'kerja sama' yang dimaksud
sejatinya adalah koalisi.
Namun apabila yang dikehendaki Jokowi adalah hanya kerja sama
berupa dukungan murni di parlemen tanpa perwakilan parpol koalisi di kabinet,
maka itu adalah gaya pemerintahan dengan prinsip otokrasi, yaitu pemerintahan
yang sepenuhnya di bawah kendali satu orang; Jokowi, bukan parpol koalisi.
Apakah sah? Ya absolut sah, karena memang presiden memiliki hak prerogatif
dalam menyusun kabinet, namun menentukan sendiri pejabat menteri dengan tidak
meminta perwakilan parpol koalisi dalam kabinet sangat berbahaya. Mengapa?
Karena loyalitas koalisi menjadi sangat lemah, bahkan sangat mungkin koalisi
bubar di tengah jalan tatkala kabinet yang dibentuk tak mewakili parpol
koalisi, dan bahkan berkinerja tak istimewa, alih-alih membela, parpol
koalisi malah akan berbalik badan.
Zaken Cabinet
Membangun sebuah kabinet ahli (zaken cabinet) dengan prinsip meritokrasi murni dalam lanskap
politik Indonesia saat ini sangat sulit dilakukan, bahkan masih sebatas
fantasi semata. Karena sistem multipartai di parlemen serta konfigurasi
koalisi yang ada menuntut konsekuensi keterlibatan kader parpol koalisi dalam
pemerintahan. Kabinet ahli hanya bisa dibangun dalam sistem presidensial
tanpa multipartai, seperti masa Orde Baru dimana hanya ada "single majority" Golkar
dalam pemerintahan. Itu pun bukan zaken
cabinet murni karena tetap saja para teknokrat profesional yang direkrut
ke kabinet harus 'berlebel' Golkar.
Presiden yang didukung mayoritas tunggal akan leluasa
menentukan komposisi kabinet tanpa harus memusingkan perwakilan parpol
koalisi. Menteri yang dipilih benar-benar mewakili kaum profesional non
parpol koalisi, mereka menduduki kursi menteri atas prestasi dibidangnya
masing-masing, bukan atas kompensasi politik tertentu. Jika Jokowi menghendaki kabinet yang seperti ini, di masa
multipartai seperti ini, maka dibutuhkan mitra koalisi yang sungguh-sungguh
taat, tunduk bahkan pasrah terhadap otokrasi ala Jokowi.
Namun rasa-rasanya sulit mencari mitra koalisi seperti itu,
jika NasDem mengikrarkan diri dalam posisi demikian maka itu adalah preseden
baru dalam sejarah koalisi politik Indonesia. Kita tunggu saja, parpol mana lagi yang bersedia "kerja
sama" dengan Jokowi tanpa jatah kursi wapres dan menteri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar