Terorisasi
Jihadis Suriah
Harits
Abu Ulya ; Pemerhati Kontra Terorisme & Direktur CIIA
|
OKEZONENEWS,
08 Mei 2014
|
Di sebuah acara bedah buku Kami
Jihadis, Kalian Teroris karya ustad Rais Abu Syaukat, terpidana
"teroris" dengan vonis mati (27April 2014) di daerah Grogol Jakarta
Barat, sempat saya presentasikan pentingnya penggunaan terminologi “teroris”
dengan makna asal dari mana istilah tersebut muncul.
Jika “teroris” padanan bahasa Arab yang dipakai (Arabisasi) “al irhab” dimana kata tersebut
diambil dari kata rahiba-yarhabu-ruhban
yang mempunyai arti menakut-nakuti, maka tidak sepenuhnya tepat dan bisa
mewakili definisi “teroris” sebagai istilah (dengan makna 'urf tertentu).
Penggunaan kalimat “irhab” dengan konotasi sama pada istilah
“teroris” justru sebagai bentuk penyempitan dan penyimpangan (tahrif), makna “irhab”. ”irhab” hakikatnya sebagai lafadz mustarak (multi interpertasi)
dan tidak bisa dipaksa dengan konotasi “teroris” dengan makna 'urf (istilah).
Dalam nash-nash syara' dan tataran praktis, aksi terorisme juga
tidak pernah diajarkan oleh Islam. Rasulullah Muhammad SAW baik di fase
Makkah maupun fase Madinah dalam perjuangan menyebarkan dan menegakkan Islam
juga tidak pernah menjadikan aksi terorisme sebagai bagian strategi untuk
meraih tujuan politiknya. Ada kalimat “irhab”
yang dianggap dekat dengan istilah "teroris" ditemukan dalam nash syara' itupun dalam konteks
kepentingan jihad (perang), misalkan; (QS.al Anfal:60).
Dalam khazanah kajian hukum Islam, terorisme dan
tindakan-tindakan derivatnya masuk dalam bab hudud, tepatnya kasus Hirabah
atau quthaa' al-thuruq. Hirabah
adalah sekelompok teroris dari kalangan muslim, murtad, atau ahlu dzimmah
yang dengan sengaja mempersenjatai dirinya dan bertujuan melakukan
perampokan, pembunuhan, teror dan menyebarkan keresahan dan ketakutan
ditengah-tengah masyarakat, termasuk di antaranya tindakan mereka dengan
menguasai sebuah kota, menyandera penduduknya dan menghalangi mereka mencari
pertolongan.Baik pelakunya berjumlah banyak atau sedikit dan dilakukan kaum
bughot (separatis) atau quthaa' al
Thuruuq (pembegal/ perampok).
Bagi pelakunya berlaku hukum hudud
dalam Islam. Oleh karena itu jelas bahwa jihad tentu bukanlah terorisme,
dan terorisme bukanlah jihad. Karena hakikat keduanya tidak sebangun, ibarat
pohon ia tidak identik mulai dari akar hingga daunnya.
Terorisme secara etimologis memiliki arti sebuah tindakan teror
dengan menggunakan kekerasan fisik atau ancaman dengan penggunaan kekerasan
untuk menciptakan rasa takut atau cemas dan kekawatiran yang sangat adalah
metode yang dipakai rezim hasil revolusi Perancis terhadap penentangnya.
Untuk memenuhi katagori terorisme di sana harus ada tiga (3) komponen utama;
aksi kekerasan atau rencana penggunaan kekerasan, dilakukan dengan motif
politik yakni mempengaruhi kebijakan politik tertentu, kemudian juga obyek
sasarannya adalah random (bisa sipil maupun non sipil). Dari kontek ini,
subyek (pelaku) bisa dilakukan oleh negara (state terrorism), individu, atau kelompok (agitational terrorism).
Namun saat ini makna terorisme mengalami transformasi yang
peyoratif. Terorisme sebagai istilah, ia produk sosial yang terikat pada
konteks politik tertentu. Maka “hegemoni” adalah penentu (determinasi)
definisi terorisme. Hegemoni menjadi
komponen ke empat (4) untuk menentukan arah definisi secara politis. Meski
terorisme dalam katagori "no
global concencus" dalam definisi, namun pemaknaan dan menjadi
“label” untuk siapa, sangat tergantung kepentingan pemegang “hegemoni”.
Seperti hari ini, terorisme sudah menjadi istilah yang paling dimanipulasi
dalam sejarah kebijakan politik pemerintah Amerika Serikat dan di ekspor ke
seluruh dunia.
Hegemoni Barat melahirkan Terorisme dengan persepsi inheren
kepada sosok orang-orang muslim yang punya sikap politik dan ideologi yang
dicap radikal atau fundamentalis kontra kepentingan Barat. Terlebih lagi bagi
mereka yang mengangkat bendera jihad sebagai perlawanan atas tiap jengkal imperialism
Barat. Yang naif menurut saya adalah para penguasa di dunia Islam, secara
membabi buta bersikap apologis. Mereka mengadopsi terminologi teroris lengkap
dengan definisi politis versi Barat,
kemudian dipakai sebagai alat untuk menjaga egoism status quo.
Contohnya, bagaimana pemerintah AlJazair terhadap FIS, Mesir dan
Saudi Arabiya terhadap Ikhwanul Muslimin. Al Qaida dihadapan Amerika Serikat
dan sekutunya semua. Bahkan kontra-terorisme menjadi strategi untuk
melegitimasi tindakan-tindakan butral kontra manusiawi terhadap pihak yang
dianggap mengancam status quo. Padahal sejatinya hal tersebut sebagai
tindakan kerdil, arogansi rezim sebagai
upaya menghindari dialog rasional dan obyektif untuk menemukan solusi terhadap
problem akut dan sistemik di dunia Islam.
Di Indonesia, proyek kontra terorisme 100% bisa dipastikan
arahnya kepada kelompok Islam tertentu. Tidak hanya mereka yang mengangkat
bendera Jihad dalam agenda
perjuangannya, tapi juga di sasarkan kepada kelompok yang di cap radikal
karena ia dianggap sebagai basis dan lahan subur persemaian teroris.
Terorisme telah menjadi label “resmi” untuk kelompok Islam tertentu.
Saya melihat fenomena tersebut, lebih memilih untuk mengatakan
bahwa ini adalah tantangan bagi kaum revivalis (Islamis). Dimana para Islamis
berhadapan dengan gurita hegemoni Barat yang diaminkan oleh para penguasa
negeri-negeri Islam tidak terkecuali Indonesia. Ketika kaum Islamis mencoba
menggeliat menuntut hak-hak dasar secara rasional, harus berhadapan dengan
“sabda internasional” dan “sabda lokal” bahwa diri mereka adalah common enemy (musuh bersama) yang
paling membahayakan dan harus dimatikan.
Pemegang hegemoni baik di tataran global maupun lokal berijma’ (mufakat) bahwa legal untuk
menjagal kaum Islamis sekalipun harus dengan banjir darah dan hilangnya
nyawa. Karena tindakan manusiawi atau tidak itu juga bisa disepakati, dan
siapa yang paling kuasa maka dialah penentu “sabda” yang berlaku diterapkan.
Dulu Afghanistan menjadi ladang Jihad, berikutnya Iraq,
kemudian alumni kaum Jihadis yang
pernah terlibat di sana sepulangnya ke negeri mereka sebagian besar mendapat
stempel teroris atau minimal dalam daftar intelijen sebagai orang yang harus
diwaspadai.
Mereka berangkat Jihad dengan logika iman dan Islam
Ideologisnya, sepulangnya mereka dihadapkan kepada hegemoni logika absurd
“nation state” (nasionalisme)-sekuler. Jihad sebuah agenda mulia, ekspresi iman, dan kewajiban menolong sesama saudara
muslim yang terdzalimi. Kemudian dianggap menjadi sebuah tindakan kriminal
bahkan pelakunya dilabeli teroris (extra
ordinary crime).
Para jihadis dimasukkan dalam kerangkeng istilah manipulatif
yaitu “teroris” dan “terorisme”. Di tataran opini, terjadi kristalisasi
penyesatan seolah jihad dan kaum
Jihadis identik dengan teroris dan terorisme.
Dan terkini, dunia menyaksikan tragedi di negara Suriah.
Terlepas dari faktor penyebab lahirnya tragedi tersebut yang pasti bahwa
Suriah menjadi magnitude tersendiri
bagi kaum jihadis dari seluruh penjuru dunia. Bahkan tidak sedikit dari kaum
muslimin Indonesia hadir ke Suriah untuk misi kemanusiaan, maupun yang
terlibat dalam front-front jihad melawan rezim Bashar Asad. Karenanya Suriah
menjadi salah satu negara (tidak secara langsung) menyumbang daftar para
jihadis kepada pihak intelijen dari negara mereka berasal, termasuk
Indonesia.
Sementara dinamika politik kemanan domestik Indonesia dalam
beberapa bulan terakhir sebelum dan setelah pemilu legistalif, terorisme
tidak menjadi isu yang seksi dan menarik. Bahkan jelang pilpres belum tentu
terorisme menjadi isu yang penting. Meski dihembuskan isu para teroris
melirik pemilu. Artinya kelompok teroris punya kepentingan untuk menggagalkan
Pileg (Pemilihan Legislatif) maupun Pilpres (Pemilihan Presiden). Bahkan saya
dapatkan daftar nama-nama orang yang di stempel teroris berencana melakukan
pengeboman sebelum dan sesudah pemilu.
Tapi saya menduga ini hanyalah fash flag dari pihak tertentu
yang bernafsu dengan proyek kontra terorisme. Terorisme dan kontra terorisme
di Indonesia menurut saya tepat kalau dikatakan “proyek”. Layaknya proyek,
dia bisa di desain tergantung kepentingan yang hendak diraih.
Maka dalam konteks sekarang, dengan kondisi kaum Jihadis
Indonesia lebih berminat terjun di Suriah, efeknya pihak Densus 88 maupun
BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) akan banyak kehilangan “bahan baku” dan
susah membuat narasi tentang aksi terorisme di Indonesia. Suriah
magnitude-nya lebih kuat bagi kaum Jihadis dibanding harus aksi “jihad” di Poso, Aceh, Bima, Solo, atau di
tanah Jawa lainnya.
Cerita Santoso cs, dengan MIT-Mujahidin Indonesia Timur-nya
tidak lagi menjadi sangat “sesuatu” dalam proyek kontra terorisme. Begitu
pula dengan Mujahidin Indonesia Barat (MIB), atau cerita tentang kelompok Tauwhid wal Jihad (TWJ). Meskipun
demikian, saya perlu garis bawahi jika kontra terorisme sebagai sebuah proyek
maka bisa saja dimunculkan “teroristainment”
seperti keinginan pengendali proyek atau oleh pihak yang bernafsu ambil
keuntungan dalam proyek tersebut.
Dari sini kiranya kaum Islamis perlu sadar pada kemungkinan
strategi culas, yaitu tidak menutup kemungkinan para jihadis Suriah
kedepannya ketika kembali ke Indonesia mereka akan menjadi “deposit” bagi
keberlangsungan proyek kontra terorisme.
Selama konstelasi politik domestik Indonesia dinamikanya sebagai
satelit dan artikulasi dari hegemoni politik imperialisme global Barat dengan Amerika Serikat sebagai
juragannya, maka terorisme menjadi istilah konstan dan kedok kepentingan
politik untuk menjaga hegemoni imperialism dan strategi memberangus kekuatan
Islam. Di beberapa negara para jihadis ditangkap terlebih dahulu sebelum
mereka sampai di tujuan (Suriah) dengan pasal terorisme. Logikanya karena
mereka hendak bergabung dengan front-front jihad yang oleh Amerika Serikat
sebagian dari mereka sudah diumumkan sebagai kelompok teroris.
Para Jihadis Suriah dari Indonesia jika tidak ditangkap saat
keberangkatannya, maka sepulangnya ke Indonesia sangat mungkin akan
dikriminalisasi dengan label “teroris”. Contoh terorisasi terhadap jihadis
Suriah sudah diberlakukan di Inggris, Saudi Arabia, Malasyia, dan lainnya.
Kita lihat saja nanti kebenaran hipotesa ini. Walhasil siapa sejatinya teroris dan hero, ini sama artinya bicara
siapa yang kuat dan siapa yang lemah, karena dari sana bentuk relasi di
bangun dengan beragam istilahnya. Hari ini opini dibuat pincang dan menjadi
minor jika mengatakan bahwa Barat (Amerika Serikat) dengan negara-negara
satelitnya tidak lebih seperti pepatah “Maling Teriak Maling”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar