Golkar
untuk Jokowi
M
Alfan Alfian ; Dosen
Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
|
TEMPO.CO,
16 Mei 2014
Pada
Selasa, 13 Mei 2014, calon presiden PDIP, Joko Widodo (Jokowi), bertemu
dengan Ketua umum Partai Golkar Aburizal Bakrie di Pasar Gembrong, Jakarta.
Aburizal memberi sinyal positif bahwa partainya akan merapat ke poros pilpres
PDIP. Tetapi, pada hari berikutnya, Aburizal bertemu dengan Presiden Yudhoyono
sebagai king maker Partai Demokrat, di Istana. Aburizal juga menerima
kedatangan Prabowo Subianto (Gerindra) dan juga Wiranto (Hanura). Berikutnya,
Aburizal menemui Megawati. Pertemuan-pertemuan politik itu semakin membuat
publik susah menerka ke mana arah koalisi Golkar.
Sementara
itu, poros pilpres PDIP sudah semakin pasti. Koalisi PDIP, Partai NasDem, dan
PKB telah diresmikan. Realitas inilah yang membuat Jokowi sebagai capres kian
terpastikan, karena boarding pass pilpres sudah dipegang. Karena itu, apakah
Golkar jadi masuk atau tidak ke poros Jokowi, tidak begitu berpengaruh.
Tetapi, apakah PDIP sesungguhnya membutuhkan Golkar dan sebaliknya?
Saya
berpendapat, kendatipun pihak-pihak tertentu PDIP menginginkan koalisi
ramping, secara empiris PDIP tetap harus merangkul Golkar, kalau ingin
membangun pemerintahan presidensial yang kuat. PDIP tidak cukup sekadar
mengandalkan retorika pro-rakyat. Secara empiris, kekuatan presidensial akan
optimal manakala dukungan parlemennya sangat kuat. Dalam konteks inilah,
Golkar sebagai kekuatan politik yang cukup signifikan di parlemen tidak boleh
serta merta diabaikan.
Jadi,
bagaimanapun, PDIP tetap membutuhkan Golkar, justru untuk menjamin stabilitas
pemerintahan presidensial. Adapun di tengah terombang-ambingnya Golkar dalam
proses pencarian mitra koalisi, saya berpendapat seharusnya skala
prioritasnya ke PDIP ketimbang yang lain. Mengapa demikian? PDIP punya capres
yang paling potensial elektabilitasnya dari yang lain. Dengan kecepatan
merapat ke PDIP, Golkar bisa memainkan peran dalam merancang dan menentukan
langkah politik selanjutnya.
Tetapi,
rupanya Golkar tidak bisa lincah, justru karena Aburizal diberati status
resmi yang disandangnya sebagai capres Golkar. Status itu belum dicabut
melalui Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas), ketika Aburizal berikhtiar
menjalin komunikasi politik dengan yang lain. Komunikasi menjadi keharusan,
mengingat persyaratan dukungan elektoral Golkar tidak cukup baginya untuk
mengajukan capres-cawapres sendiri.
Realitas
demikian menghempaskan Aburizal dari impiannya memegang boarding pass pilpres. Kartu politik Aburizal pun tidak leluasa
dimainkan, karena lemahnya kemampuan dalam meyakinkan yang lain. Dengan kata
lain, Aburizal tidak bisa menjadi magnet politik yang kuat dalam menginisiasi
poros pilpres. Sebaliknya pihaknya lebih banyak ditentukan oleh yang lain.
Dari
ranah internal, gagasan politik yang lebih realistis hadir dari Dewan
Pertimbangan yang mengajukan tiga nama tokoh Golkar yang boleh diambil partai
lain sebagai cawapres. Mereka adalah Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, dan Luhut
Panjaitan.
Dari
sisi tersebut, Golkar perlu dihitung kekuatannya secara formal dan informal.
Bagi PDIP yang sudah punya boarding pass pilpres, pertimbangan dukungan
formal Golkar, mungkin bisa diabaikan. Tetapi kekuatan informalnya perlu
dicermati, terutama dari sisi kekuatan tokoh dan daya magnet politiknya.
Aburizal bisa menurunkan statusnya menjadi bakal cawapres, tapi kalaulah
demikian ia segera masuk ke barisan tokoh Golkar yang akan dinilai pihak lain.
Misalnya, apakah Aburizal lebih tepat mendampingi Jokowi dibandingkan dengan
Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Luhut Pandjaitan atau yang lain?
Dalam
konteks ini, saya berpendapat cawapres Jokowi hendaknya politikus yang andal
dalam mengelola potensi konflik dan menggalang dukungan parlemen. Kalau
tidak, potensi instabilitas politik demikian tinggi dalam konstelasi parlemen
multipartai dewasa ini. Kuncinya tetap pada keandalan para elitenya
menggalang konsensus dan mengelola konflik. Golkar punya stok ke arah
ciri-ciri demikian. Lagi pula, fleksibilitas Golkar membuat koalisi lebih
terjamin.
PDIP dan
Golkar sesungguhnya punya pengalaman sejarah Koalisi Kebangsaan pada pilpres
2004. Di bawah Akbar Tandjung, Golkar tetap konsisten kendati koalisi berada
di luar pemerintahan. Namun, fenomena yang mengemuka kemudian, Golkar formal,
yang pro-koalisi kebangsaan, secara faktual segera tenggelam oleh kekuatan
informal Jusuf Kalla yang merebut kendali Golkar pada Musyawarah Nasional
(Munas) 2004. Meski demikian, pengalaman koalisi kebangsaan tetap menegaskan
adanya persambungan frekuensi politik Golkar-PDIP.
Dari
sisi ini, hendaknya pendukung Jokowi bisa memahami bahwa, dalam politik,
sesuatu yang sangat ideal tidak serta-merta mudah diwujudkan. Rasionalitas
politik tetap harus mengemuka. Kerja sama politik terbuka, bahkan dengan
partai yang kurang disukai sekalipun, sesungguhnya merupakan hal yang lazim.
Maka Golkar pun bukan sesuatu yang harus dipandang negatif bagi Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar