Terlambat
Wahyu
Dhyatmika ; Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
16 Mei 2014
Mengapa
orang Indonesia cenderung tak bisa tepat waktu? Mengapa kita kerap menganggap
remeh keharusan untuk hadir pada suatu acara persis pada jam yang tertera
dalam undangan sang tuan rumah? Kecuali untuk urusan yang teramat penting dan
terkait dengan orang yang amat kita hargai-atau takuti-biasanya kita datang
terlambat. Lima menit, sepuluh menit, bahkan sampai setengah jam.
Saya
pernah mengundang seseorang untuk membicarakan sebuah proyek kerja sama yang
teramat penting untuk lembaga kami. Saya harus menunggu sekitar 20 menit,
sebelum batang hidungnya muncul dengan permintaan maaf panjang-lebar. Hujan
deras, banjir, lalu macet: serangkaian alasan yang sudah amat biasa kita
dengar sebagai biang kerok keterlambatan. Tapi, anehnya, saya memaafkan dia.
Begitu saja, dengan ringan, dengan penuh pemakluman, maaf saya berikan.
Setelah
itu, saya jadi berpikir. Mengapa kekesalan saya menguap dengan begitu cepat?
Mengapa saya tidak murka sampai ke ubun-ubun karena dia tak berusaha lebih
keras-tak berangkat lebih cepat, misalnya-untuk tepat waktu memenuhi undangan
saya?
Jawaban
untuk pertanyaan retorika itu menyambar cepat di dalam kepala saya: karena
saya juga tak bisa memastikan saya akan selalu datang tepat waktu.
Sesederhana itu. Bila saya berada di posisinya, belum tentu saya tidak
terlambat. Karena itulah, saya memaafkan keterlambatannya karena saya yakin
saya juga berpotensi terlambat bila harus datang ke kantornya.
Kalau
begitu, ini seperti lingkaran setan. Sebuah keterlambatan jadi dimaklumi
karena semua orang sadar mereka pun berpeluang tidak tepat waktu. Akhirnya,
lambat-laun, keterlambatan diterima sebagai budaya, sebagai bagian dari
kebiasaan kita.
Perhatikan
surat undangan untuk acara apa pun di negeri ini: panitia pasti mencantumkan
jam dimulainya acara lebih awal 30 menit sampai 1 jam. Soalnya, panitia yakin
hadirin pasti datang terlambat sehingga acara pasti tertunda, setidaknya 30
menit. Akibatnya, mereka yang hadir persis pada jam yang diminta jadi kecele.
Sementara mereka yang terlambat malah beruntung.
Kecenderungan
ini amat mengganggu. Mengapa kita bisa menenggang rasa untuk jam karet?
Mengapa kita permisif soal keterlambatan? Dalam rangka mencari jawaban, saya
melakukan studi perbandingan dengan bertanya pada seorang kawan dari Jerman,
sebuah negeri yang warganya dikenal disiplin dan amat tepat waktu.
"Mengapa orang Jerman jarang terlambat? Apa rahasianya?" saya
bertanya.
Jawabannya
membuat saya tertohok. Dia bilang, orang Jerman menganggap terlambat adalah
sebuah tindakan yang amat kasar dan tidak sopan. Jika Anda datang terlambat
memenuhi sebuah janji, mau tak mau, Anda membuat seseorang atau beberapa
orang menunggu. "Apa hubungannya menunggu dan sopan santun?" saya
mengejar.
Menurut
kawan saya: orang yang dipaksa menunggu hanya bisa berpangku tangan, tidak
bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bisa mengerjakan sesuatu yang seharusnya dia
kerjakan jika dia punya waktu. Dia tidak bisa menemui klien lain, atau pergi
ke toko untuk membeli buku pesanan anaknya. Pendeknya, dia kehilangan
sepotong waktu gara-gara menunggu Anda. "Dengan datang terlambat, Anda
merampok sepotong waktu dari kehidupannya."
Saya terenyak.
Ketika terlambat disamakan dengan sebuah pencurian, mendadak dia jadi punya
makna baru. Tepat waktu bukan hanya soal disiplin semata, tapi juga soal
menghargai orang lain. Kalau kita mengakui keberadaan orang lain dan
mengapresiasinya sepenuh hati, maka datang terlambat sama saja dengan
membuang relasi itu ke tempat sampah.
Dengan
perspektif macam itu, mereka yang terlambat memang melakukan perbuatan tak
sopan, yang tak bisa diampuni begitu mudah. Tak ada lagi maaf bagimu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar