Amanat
Kedaulatan Pangan
Dwi
Andreas Santosa ; Guru Besar
Fakultas Pertanian IPB;
Ketua Umum
Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia
|
KOMPAS,
16 Mei 2014
PADA 1
April lalu penulis menerima pesan singkat dari Bambang Tri Purnomo, pengurus
Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI). Isinya, menyampaikan bahwa
teman-teman di AB2TI mengukir sejarah baru di wilayah Karanganyar: belum
pernah dalam musim tanam I bisa panen 8 ton per hektar, tetapi AB2TI justru
menembus angka 13,76 ton per hektar.
Benih
yang ditanam adalah padi varietas IF8 (IF Indonesian Farmer) yang merupakan
karya petani kecil sendiri, bukan benih karya akademisi dan peneliti.
Pertanaman yang ada juga bukan dalam skala kecil dan ubinan untuk penelitian,
melainkan skala lapang seluas 4 ha dan panen disaksikan wakil bupati dan
jajaran dinas Karanganyar.
Lebih tinggi
Produktivitas
padi ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan benih hibrida Tiongkok yang
diimpor ke Indonesia dan juga lebih tinggi dibandingkan dengan semua varietas
yang sudah dilepas pemerintah. Varietas padi lain karya petani anggota AB2TI
memiliki tingkat produktivitas hingga 16 ton per ha walaupun belum bisa kami
konfirmasi.
Sejarah
fenomenal terkait produksi padi lain berasal dari India. Berita panen padi
musim tanam 2013 di sebuah desa terpencil Darvesphura, Bihar, di wilayah
timur laut India, mengejutkan banyak pihak di seluruh dunia (The Observer,
16/2/2013). Seorang petani kecil di desa itu, Sumant Kumar, tak menyangka
dengan hasil panen padi miliknya yang setelah ditimbang menghasilkan 22,4 ton
gabah kering panen dari 1 ha lahan. Padi itu juga karya petani kecil, bukan
padi transgenik, bukan hibrida, dan bukan varietas unggul karya
lembaga-lembaga penelitian atau perusahaan benih.
Hasil
itu mengalahkan rekor sebelumnya 19,4 ton per ha yang dicapai pemulia padi
Tiongkok, Yuan Longpin, yang dikenal sebagai ”bapak padi” dan jauh melampaui
varietas-varietas padi yang dihasilkan International Rice Research Institute
di Filipina, serta varietas lain karya perusahaan-perusahaan benih raksasa
Eropa, Amerika, ataupun perusahaan benih transgenik. Petani lain di wilayah
itu rata-rata menghasilkan produksi padi di atas 17 ton per ha.
Menariknya
lagi, budidaya padi yang mereka kerjakan sama sekali tidak menggunakan pupuk
sintetik, herbisida, ataupun pestisida. Mereka murni mengelola lahan mereka
dengan pupuk organik buatan mereka sendiri.
Berita
itu awalnya ditanggapi skeptis oleh pemerintah, universitas, maupun peneliti.
Baru setelah kepala dinas pertanian negara bagian itu datang dengan beberapa
anggota stafnya, rekor itu akhirnya terkonfirmasi. Menteri Utama India lalu
berkunjung ke wilayah itu. Karena produktivitas sedemikian tinggi, banyak
petani terbebas dari jurang kemiskinan dan mampu menyekolahkan anak-anaknya
dan akses lebih baik untuk kesehatan.
Fakta
itu menguak kesalahan besar pembangunan pertanian yang mengandalkan konsep
ketahanan pangan, yang menempatkan pangan hanya komoditas perdagangan dan
petani kecil sebagai obyek dan berada di lapisan terbawah piramida struktur
pertanian di Indonesia. Lapisan piramida teratas dihuni hanya oleh 0,2 persen
penduduk, tersusun dari konglomerasi agrobisnis, pertanian kapitalis,
pengusaha benih dan pupuk, serta jaringan industri pangan. (Dwi Andreas Santosa, Kompas, 26/3/2014)
Jumlah
yang sangat sedikit tersebut mendapatkan kue pembangunan terbesar, memperoleh
akses dan penguasaan terhadap sumber daya produktif terbanyak, mendapatkan
kemewahan dari institusi-institusi finansial dan asuransi, mendapatkan
subsidi terbesar baik langsung maupun tidak langsung, dan didukung kebijakan
pemerintah yang sangat berpihak kepada mereka.
Di sisi
lain, petani ditempatkan hanya sebagai pemakai teknologi dan input pertanian
yang semuanya berasal dari luar mereka, akses terhadap perbankan dan asuransi
praktis tertutup, tak ada jaminan ketika terjadi kegagalan panen dan tak
terlindungi ketika harga meluncur ke dasar. Kreativitas terkait benih
dipasung atas nama undang-undang yang menyebabkan belasan petani di Jawa
Timur (2005-2010) ditangkap dan masuk penjara.
Petani
yang menerapkan konsep agroekologi—yang merupakan salah satu pilar kedaulatan
pangan—dipandang skeptis oleh beberapa ilmuwan dan kalangan pemerintah. Banyak
akademisi dan perumus kebijakan justru mengagungkan dan mengiklankan tanaman
transgenik milik perusahaan asing yang dianggap magic bullet untuk mengatasi
persoalan produksi pangan di Indonesia dengan mengemukakan berbagai data
artifisial LSM perusahaan benih raksasa di seminar-seminar dan pertemuan.
Mereka
tidak sadar, yang melatarbelakangi itu semua adalah potensi pasar benih
transgenik di Indonesia yang bernilai sangat menggiurkan, yaitu Rp 22 triliun
per tahun. Selain itu, ”proyek transgenik” akan membuahkan ketergantungan
akut petani kecil terhadap benih dan pestisida pendampingnya. Dengan luas
lahan pangan yang hanya 8,0 juta ha (BPS, 2012), petani kecil justru
menorehkan karya luar biasa sehingga mampu menyumbang PDB Rp 408,0 triliun
pada 2013, yang jauh lebih besar daripada kelapa sawit sebesar Rp 223,7
triliun yang luas lahannya justru lebih besar (8,7 juta ha).
Membalikkan struktur
Dengan
demikian, pemerintah mendatang harus memiliki program membalikkan struktur
piramida pertanian dengan menempatkan petani di struktur tertinggi melalui
upaya serius mewujudkan kedaulatan pangan dan kedaulatan petani. Perjuangan
aliansi masyarakat sipil dan jaringan tani Indonesia membalikkan struktur
piramida pertanian berbuah manis dengan dimasukkannya kedaulatan ke dalam
empat UU penting, yaitu UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Berkelanjutan, yang Pasal 3c UU berbunyi ”diselenggarakan dengan tujuan
mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan”.
Kedaulatan
kemudian mengalami evolusi dan menjadi asas tertinggi dalam UU selanjutnya.
Dalam UU No 13/2010 tentang Hortikultura, Bab II Pasal 2, dinyatakan
penyelenggaraan hortikultura berdasarkan asas kedaulatan. Dalam UU No
18/2012, Bab II Pasal 2, juga dinyatakan bahwa penyelenggaraan pangan
dilakukan dengan berdasarkan asas kedaulatan. Hal yang sama terdapat dalam UU
terbaru, yaitu UU No 19/2013 yang menempatkan kedaulatan sebagai asas
tertinggi perlindungan dan pemberdayaan petani.
Dengan
demikian, siapa pun presidennya berkewajiban mewujudkan kedaulatan pangan dan
kedaulatan petani Indonesia. Pertanyaan besarnya: bagaimana negara dan
pemimpin mendatang melaksanakan amanat kedaulatan tersebut dalam politik
praktis dan praksis kebijakan di Indonesia di tengah rendahnya pemahaman
pemimpin dan calon pemimpin terhadap isu ini.
Melaksanakan
kedaulatan pangan secara sederhana adalah mengubah kebijakan pertanian
kapitalistik, ekstraktif, polutif, berorientasi pada konsumen, menganggap
pangan hanya komoditas dan menyerahkan pangan sepenuhnya dalam mekanisme
pasar menjadi kebijakan yang menempatkan dan memuliakan penghasil pangan,
yaitu petani kecil, memelihara alam dan harmoni kehidupan di dalamnya, serta
melindungi petani dari sistem perdagangan yang tak adil.
Selain
itu, pertanian dikembalikan kepada harkat sebenarnya sebagai agri-culture,
pertanian sebagai budaya: menghormati tanah sebagai ibu, langit sebagai ayah,
dan benih sebagai anak. Merusak dan meracuni tanah berarti merusak dan
meracuni ibu. Memuliakan tanah yang terwujud dalam berbagai bentuk upacara
yang dilakukan kakek-nenek kita pada praktik pertanian masa lalu mengandung
tak hanya nilai-nilai sakral, tetapi sekaligus mengandung filosofi mendalam
untuk menyelamatkan alam dan kehidupan.
Benih
sebagai anak perlu dipelihara, diberi kasih sayang, sehingga jadi tumbuh
dewasa yang akhirnya mampu menyumbangkan dirinya untuk keberlanjutan
kehidupan kita. Dengan demikian, menyerahkan penguasaan benih ke korporasi
sama saja menyerahkan kehidupan kita. Upaya mewujudkan kedaulatan pangan
harus menjadi platform kebijakan pemimpin mendatang sehingga tanah sebagai
ibu, langit sebagai ayah, dan benih sebagai anak dapat memberi sumbangan
terbaik bagi kelangsungan hidup kita di bumi manusia ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar