Ilusi
Koalisi
Bawono
Kumoro ; Peneliti
Politik The Habibie Center
|
KORAN
SINDO, 15 Mei 2014
PADA
Jumat (9/5) lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil
pemilihan umum (pemilu) legislatif tahun 2014. Sebagaimana telah diperkirakan
oleh sejumlah lembaga survei melalui quick
count (hitung cepat), hasil perhitungan resmi rekapitulasi suara yang
dilakukan oleh KPU menunjukkan tidak ada satu partai politik pun mampu tampil
dominan dengan perolehan suara di atas angka 20% kursi parlemen atau 25%
suara pemilih. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pemenang pemilu
legislatif meraih suara 18,95%.
Posisi
kedua ditempati Partai Golkar dengan 14,75%. Kemudian, secara berturut-turut
diikuti oleh Partai Gerindra (11,81%), Partai Demokrat (10,19%), Partai
Kebangkitan Bangsa (9,04%), Partai Amanat Nasional (7,57%), Partai NasDem
(6,72%), Partai Keadilan Sejahtera (6,79%), Partai Persatuan Pembangunan
(6,53%), Partai Hanura (5,26%), Partai Bulan Bintang (1,46%), dan Partai
Keadilan Persatuan Indonesia (0,91%).
Tidak
adanya partai politik yang mampu meraih suara 20% kursi parlemen atau 25% suara
pemilih sebagai syarat utama mencalonkan pasangan capres dan cawapres membuat
koalisi mau tidak mau harus dilakukan.
Segera
setelah hasil quick count dipublikasikan secara luas, elite-elite partai
politik segera melakukan kunjungan satu sama lain guna menjalin komunikasi
dan penjajakan koalisi. Silaturahmi politik Joko Widodo mengunjungi sejumlah
petinggi partai politik dan tokoh nasional merupakan ilustrasi dari
penjajakan koalisi tersebut.
Begitu
pun dengan penjajakan koalisi dilakukan elite-elite politik lain, seperti
safari politik Prabowo Subianto dan juga aksi Aburizal Bakrie. Koalisi sering
diklaim oleh para elite sebagai sebuah ikhtiar politik untuk memperkuat
bangunan sistem presidensial yang akan menjadi cikal bakal mewujudkan
perbaikan nasib rakyat di masa mendatang. Studi Juan Linz dan Arturo
Velenzuela dalam The Failure of
Presidential Democracy: The Case of Latin America (1994) pun acap kali
dijadikan sebagai dalil pembenaran untuk melakukan koalisi.
Linz dan
Velenzuela mengatakan 'perkawinan' sistem pemerintahan presidensial dan
sistem multipartai akan melahirkan konflik antara lembaga eksekutif dan
legislatif sehingga mengakibatkan demokrasi cenderung tidak stabil.
Namun,
benarkah penjajakan koalisi oleh partai-partai saat ini sunguh-sungguh
didasarkan pada argumentasi tersebut? Sulit dimungkiri, penjajakan koalisi
pasca pemilihan umum legislatif yang dilakukan PDIP dan partaipartai lain
sesungguhnya sangat terkait erat dengan kepentingan politik jangka pendek
partai-partai tersebut untuk memuluskan langkah menuju kursi kekuasaan, tidak
lebih dari itu.
Secara
teoritis, gagasan koalisi hanya relevan dalam konteks sistem pemerintahan
parlementer, bukan sistem pemerintahan presidensial seperti dianut Indonesia.
Koalisi diperlukan untuk menggalang dukungan dalam rangka membentuk
pemerintahan oleh partai pemenang pemilu di satu sisi dan membangun blok
oposisi bagi partai-partai yang tidak ikut serta dalam pemerintahan di sisi
lain.
Dalam
konteks sistem pemerintahan presidensial sebagaimana dianut Undang- Undang
Dasar (UUD) 1945 pascaempat tahap amendemen, lembaga eksekutif dan legislatif
merupakan dua lembaga tinggi terpisah yang tidak dapat saling menjatuhkan
satu sama lain.
Kelangsungan
hidup lembaga eksekutif tidak tergantung pada dukungan lembaga legislatif.
Karena itu, klaim partai-partai selama ini bahwa koalisi merupakan usaha
untuk memperkuat bangunan sistem presidensial tidak lebih dari sekadar ilusi
politik belaka.
Alih-alih
memperkuat sistem presidensial, keberadaan koalisi justru berpotensi
melestarikan wajah buruk parlemen hari ini, di mana cenderung melembagakan
perilaku parlementer ketimbang mengembangkan kultur sistem pemerintahan
presidensial.
Jika
memang benar concern utama dari
partai-partai tersebut adalah mendorong efektivitas kinerja lembaga eksekutif
dan memperkuat sistem presidensial di Indonesia, maka jalan yang harus
dirintis adalah menginisiasi pembuatan regulasi ketatanegaraan yang dapat
mendorong sistem presidensial agar lebih kompatibel dengan sistem multipartai
di Indonesia.
Regulasi
itu antara lain dapat berupa penerapan sistem distrik, memperkecil daerah
pemilihan (dapil), menaikkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold), dan pelaksanaan pemilu legislatif dan
pemilihan presiden.
Selain
itu, hal negatif lain dari pembicaraan koalisi di tingkat elite saat ini
adalah terlampau dominannya aroma pembagian kekuasaan "siapa mendapat
apa, kapan, dan bagaimana" ketimbang mewujudkan penguatan sistem presidensial
demi perbaikan nasib bangsa dan negara di masa mendatang.
Bahkan,
boleh jadi, bukan sekadar persoalan "siapa
mendapat apa, kapan, dan bagaimana," tetapi juga kalkulasi
mobilisasi dana partai politik guna keperluan pemilu lima tahun mendatang.
Sudah menjadi rahasia umum bila jabatan di kementerian sering menjadi pintu
masuk aliran dana bagi partai politik tempat menteri bersangkutan bernaung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar