Memberantas
Kartel
Muhammad
Syarkawi Rauf ; Komisioner
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia
|
KOMPAS,
16 Mei 2014
INDONESIA
sedang memasuki fase sangat menentukan dalam pembangunan ekonomi terkait
dengan momentum pemilu presiden untuk periode 2014-2019. Periode lima tahun
pemerintahan SBY-Boediono tidak memberikan kontribusi dalam penanganan
kejahatan ekonomi luar biasa, seperti kartel. Pemerintah bahkan menjadi
penghambat dalam usaha Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberantas
kartel, seperti dalam penanganan perkara importasi bawang putih. Pemerintah
melalui Kementerian Perdagangan secara terbuka melayangkan somasi kepada KPPU
di awal proses sidang dan kembali melawan putusan KPPU pada akhir masa
sidang.
Idealnya,
sesuai aturan dan praktik internasional, putusan KPPU dalam kasus importasi
bawang putih menjadi landasan hukum yang kuat bagi Kementerian Perdagangan
untuk melakukan perubahan. Bukan justru sebaliknya, bersama-sama dengan
pelaku usaha melemahkan dan melawan putusan KPPU.
Padahal,
seluruh lapisan masyarakat merasakan dampak negatif kartel yang jauh lebih
buruk dibandingkan dengan kejahatan korupsi. Jika korupsi berdampak tidak
langsung terhadap kesejahteraan masyarakat, kartel dampaknya langsung
menurunkan daya beli (kesejahteraan) masyarakat melalui pembentukan harga
yang abnormal.
Kejahatan
kartel tidak hanya menohok ke bawah, lapisan masyarakat paling miskin yang
menjadi semakin miskin karena volatilitas harga, tetapi juga menusuk ke atas,
mematikan pelaku usaha lainnya dalam pasar bersangkutan. Kartel menutup
kesempatan pelaku usaha yang mengedepankan etika bisnis.
Perekonomian
dengan kejahatan kartel meminggirkan prinsip pasar persaingan sehat, seperti
bebas keluar dan masuk pasar, terdapat banyak pelaku usaha di mana tidak satu
pun pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang mampu memengaruhi harga (price taker), dan informasi yang
diterima pelaku usaha bersifat simetris.
Pengalaman
Korea Selatan bisa menjadi pelajaran berharga yang berstatus negara maju
setelah 4 persen penduduknya yang berjumlah sekitar 45 juta jiwa berprofesi
sebagai pengusaha. Angka 1,8 juta pengusaha Korea dapat dicapai karena
pemerintahnya bersama Korea Fair Trade Commission (KFTC) secara konsisten
melawan kejahatan kartel yang tidak hanya dikenai sanksi administratif berupa
denda, tetapi juga dijerat dengan sanksi pidana.
Pola kartel dan solusinya
Kejahatan
kartel merupakan kanker ganas yang menggerogoti perekonomian negara
berkembang, seperti Indonesia. Lebih kronis lagi karena pembentukan kartel
bersumber dari kelemahan kebijakan pemerintah, seperti dalam dugaan kartel
importasi bawang putih, kedelai, daging, dan lainnya.
Fakta
ini sejalan dengan pandangan dua profesor ekonomi, Daron Acemoglu dari MIT
dan James A Robinson dari Universitas Harvard, dalam buku mereka berjudul Why Nations Fail; The Origins of Power,
Prosperity and Poverty. Keduanya berkesimpulan bahwa permasalahan ekonomi
di negara berkembang lebih disebabkan pemimpinnya gagal membuat kebijakan
yang inklusif, sementara institusi ekonominya bersifat ekstraktif yang hanya
menguntungkan segelintir orang.
Pelaku
kartel kemudian memanfaatkan kelemahan kebijakan pemerintah untuk bekerja
sama, baik secara formal maupun informal, dalam menentukan harga (price fixing), mengatur produksi (output restriction), dan membagi pasar
(market allocation). Juga
bersekongkol menentukan pemenang tender baik secara horizontal antar-pelaku
usaha maupun secara vertikal dengan pemerintah.
Tidak
heran jika kasus kartel di negara berkembang, termasuk Indonesia, selalu
dimulai dari persekongkolan vertikal yang dimediasi oleh pemerintah.
Faktanya, mayoritas kasus kartel dalam perkara tender yang ditangani KPPU
selalu melibatkan pemerintah. Kondisi ini bertolak belakang dengan praktik
kartel di negara maju yang murni
dilakukan pelaku usaha.
Keterlibatan
langsung pemerintah karena sistem ekonomi pasar di Indonesia masih labil, di
mana pemerintah ikut serta menjadi bagian yang aktif dalam sistem pasar.
Sebaliknya, mekanisme pasar di negara maju sangat stabil sehingga terdapat
pemisahan yang tegas antara peran pemerintah dan swasta. Pemerintah hanya
berperan sebagai regulator, yaitu wasit yang tidak berpihak (Basri, 2014).
Posisi
Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia dengan indeks persepsi
korupsi pada tahun 2013 sebesar 3,2, termasuk kategori sangat buruk, juga
dapat menjelaskan peran aktif pemerintah dalam setiap kasus kartel.
Keterlibatan pemerintah dimotivasi oleh hasrat untuk menikmati rente ekonomi
yang tercipta dari penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position). Hal ini terbukti dalam kasus impor
daging yang melibatkan beberapa orang dalam mengatur alokasi kuota impor.
Sejalan
dengan fakta di atas, bagi para bakal calon presiden dibutuhkan komitmen yang
kuat untuk menempatkan prinsip persaingan sehat, khususnya gerakan
memberantas kartel sebagai isu sentral. Dengan demikian, agenda untuk
memperkuat peran KPPU harus menjadi pekerjaan pertama pemerintahan baru
mendatang.
Penguatan
KPPU tidak hanya penting dalam menciptakan efisiensi ekonomi nasional serta
perlindungan usaha kecil dan menengah. Akan tetapi, sekaligus menjadi perisai
dari penetrasi kartel internasional yang merugikan perekonomian nasional,
yang intensitasnya pada tahun-tahun mendatang akan semakin tinggi pasca
implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 dan berbagai
perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar