Rabu, 21 Agustus 2013

Optimisme di Tengah Resesi Global

Optimisme di Tengah Resesi Global
Abdul Hakim MS  ;   Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI)
DETIKNEWS, 20 Agustus 2013


Dunia sepertinya masih butuh waktu lebih lama untuk bisa pulih akibat krisis utang di Zona Eropa. Laporan IMF menyebut, target pertumbuhan ekonomi dunia harus dipangkas dari 3,3 persen menjadi 3,1 persen pada tahun 2013. Itu artinya, target ini turun 0,2 persen dari sasaran semula. 

Menurut IMF, setidaknya ada tiga faktor yang menjadi penyebab  underperformance-nya ekonomi dunia. Pertama, Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang yang terus melemah, terutama negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan). Kedua, adanya kondisi resesi di kawasan Euro yang ternyata melebihi harapan. Ketiga, perkembangan perekonomian AS yang melemah karena kontraksi fiskal yang lebih kuat membebani meningkatkan permintaan swasta.

Akibat tak kunjung pulihnya resesi global ini, Indonesia pun harus terkena dampak. Target pertumbuhan ekonomi yang semula dipatok pada angka 6,8 persen harus direvisi. Dalam APBNP 2013, pemerintah kemudian melakukan penyesuaian target menjadi 6,2 persen pada tahun 2013. 

Di Atas G-20

Cukup realistis memang jika pemerintah harus menurunkan target pertumbuhan ekonominya pada tahun 2013 ini. Angka 6,8 persen sepertinya memang sulit untuk dicapai. Hal itu bisa kita lihat dari capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2013 Indonesia, misalnya, yang hanya sebesar 6,02 persen. Bahkan pada semester pertama tahun 2013, target pertumbuhan yang dipatok di angka 6,1 persen harus meleset karena ternyata dalam semester ini malah turun menjadi 5,8 persen.

Meskipun demikian, penurunan target pertumbuhan ekonomi dari 6,8 persen menjadi 6,2 persen ini tak lantas harus memunculkan sikap pesimis berlebihan. Pertumbuhan 6,02 persen pada kuartal pertama tahun 2013 merupakan angka pertumbuhan tertinggi di antara negara-negara anggota G-20. Angka partumbuhan ini hanya kalah dari China yang berada di atas 7 persen.

Capaian yang ditorehkan Indonesia saat ini, seolah mengulang catatan positif yang sudah ada sebelumnya. Sebagaimana diketahui, saat krisis global menghantam pada rentang 2008 – 2009, Indonesia menjadi satu di antara tiga negara (setelah China dan India) yang tetap mampu menjaga pertumbuhan positif. Pembangunan ekonomi Indonesia tidak pernah lay-off seperti yang terjadi di beberapa negara dunia. 

Lihat saja data pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2006 misalnya. Di saat beberapa negara dunia sedang tiarap, Indonesia pada tahun itu mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen. Demikian halnya pada tahun-tahun berikutnya, pada 2007 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,3 persen, 2008 mencapai 6 persen, 2009 mencapai 4,6 persen, 2010 mencapai 6,1 persen, dan pada 2011 mencapai 6,5 persen. Sementara pada tahun 2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 6,2 persen. Tahun ini, pemerintah optimis masih bisa mematok pertumbuhan di angka 6,2 persen.

Selain itu, Indonesia juga menjadi satu-satunya negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang tergabung dalam kelompok 20 negara dengan status ekonomi maju dan ekonomi baru bangkit (G20). G20 merupakan forum pengganti kelompok 8 negara maju (G8). Seperti kita tahu, selama puluhan tahun, arah ekonomi dunia sangat ditentukan oleh kelompok 8 (G8) ini yang beranggotakan AS, Inggris, Jerman, Perancis, Italia, Rusia, Kanada, dan Jepang.

Dengan rentetan catatan positif seperti tertuang di atas, tak begitu mengherankan apabila kemudian jika Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, sangat optimis terkait pembangunan ekonomi ke depan. Indonesia yang pernah luluh-lantah oleh hantaman krisis ekonomi pada 1998, ternyata bisa dengan cukup akseleratif bangkit dari keterpurukan dan berhasil menuai pembangunan ekonomi yang cukup mengesankan. 

Daya Saing

Meski banyak catatan positif telah ditorehkan selama ini, Indonesia tetap harus waspada dan tak boleh terlalu terlena dengan buaian data-data di atas. Hal itu dikarenakan masih banyak kerikil-kerikil tajam yang siap menghadang laju positif pembangunan. Yang paling kentara tentulah persoalan rendahnya daya saing yang dimiliki Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang satu kawasan.

Kalahnya daya saing Indonesia bisa terlihat dari laporan International Finance Corporation (IFC) misalnya. Menurut lembaga yang bermarkas di Amerika Serikat ini, untuk negara-negara yang berada di kawasan Asia Pasifik, daya saing Indonesia masih kalah dengan Thailand dan Malaysia. Indonesia hanya menempati posisi 129, jauh di bawah Thailand dan Malaysia yang menduduki peringkat 17 dan 18. Dari data ini bisa dibaca bahwa Nusantara ternyata belum begitu ramah bagi para pengusaha yang menanamkan modalnya disini. 

Seperti kita tahu, persoalan daya saing ini sangat erat kaitannya dengan keberadaan birokrasi dalam mengelola negara. Hingga detik ini, citra birokrasi Indonesia di mata dunia masih kurang baik. Maraknya pungutan liar (pungli) menyebabkan biaya tak resmi menjadi mahal. Bahkan untuk mendirikan usaha di Indonesia, para pengusaha harus mengeluarkan biaya empat kali lipat dibandingkan dengan mendirikan usaha di Thailand.

Selain birokrasi, persoalan lain yang menjadikan daya saing Indonesia masih kalah dengan negara tetangga adalah masih lemahnya sektor infrastruktur yang ada. Tak jarang para pengusaha harus memutar otak akibat mahalnya biaya transportasi. Hal ini yang menyebabkan ketimpangan harga antara satu daerah dengan daerah lainnya cukup tajam. Harga barang di Papua misalnya, bisa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga barang yang ada di pulau Jawa.

Untuk itu, ke depan pemerintah harus serius menangani kendala ini. Memang, gaung reformasi birokrasi sudah sangat lantang disuarakan. Namun hingga detik ini belum sepenuhnya membuahkan hasil. Demikian pula dengan pembangunan infrastruktur. Meski pemerintah sudah getol melakukan pembenahan, perbaikan disektor ini juga belum maksimal.

Kita paham bahwa membangun infrastruktur bukan perkara mudah. Dalam lima tahun ke depan saja, misalnya, pemerintah menaksir butuh biaya sedikitnya Rp 1.500 triliun untuk peningkatan infrastruktur di seluruh Indonesia. Jumlah itu memang tak sedikit karena lebih besar dari jumlah APBN Indonesia tiap tahunnya. 

Meski demikian, tantangan yang ada ini jangan kemudian menjadi alasan turunnya trend positif pembangunan ekonomi kita. Untuk menjaganya, dibutuhkan kerja sama yang kuat disemua kalangan. Bersama pemerintah, seluruh stakeholder harus bahu-membahu untuk mewujudkan cita-cita menjadi negara yang ekonominya maju dan berkeadilan. Karena jika tidak, Indonesia yang telah berhasil dengan susah payah melakukan transformasi positif setelah luluh-lantah akibat krisis 1998, bisa kembali mundur ke belakang dan kembali tertinggal jauh oleh negara-negara satu kawasan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar