|
Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara 2014 akan menjadi dokumen keuangan negara terakhir yang akan
dijalankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang akan berakhir masa tugasnya
Oktober 2014.
Karena merupakan tahun terakhir,
wajar jika Presiden SBY berusaha tampil sebaik-baiknya dan memanfaatkan
momentum ini. Ia tentu saja ingin dikenang sebagai presiden yang sukses dan
tidak mewariskan beban yang terlalu berat bagi penggantinya.
Semula, pada tahun terakhirnya, SBY
ingin memberi jejak pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen. Selama ini angka 7
persen memang dianggap ”angka keramat” yang harus ditembus jika kinerja
perekonomian Indonesia dianggap baik. Alasannya sederhana: pada pertumbuhan 7
persen itulah akan tercipta lapangan kerja yang jumlahnya melebihi angkatan
kerja baru dalam setahun. Dengan kata lain, pengangguran terbuka akan berkurang
signifikan jika pertumbuhan ekonomi minimal 7 persen.
Yang terjadi adalah kondisi
perekonomian global dan kesiapan daya saing kita tidak memberi ruang yang cukup
untuk tumbuh 7 persen. China saja tahun ini hanya akan tumbuh 7,5 persen, India
hanya 5 persen. Tahun depan, pertumbuhan kedua negara tersebut juga berkisar di
level itu. Karena itu, target pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,4 persen pada
2014 merupakan level yang paling realistis,− bahkan mungkin agak optimistis.
Merancang Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014 pada saat ini bukanlah hal yang
mudah karena perekonomian global masih mengandung banyak ketidakpastian. Dalam
hal kebijakan stimulus ekonomi Amerika Serikat, misalnya. Gubernur Bank Sentral
AS (The Fed) Ben S Bernanke memberi
sinyal kuat bahwa kebijakan pembelian obligasi Pemerintah AS (quantitative
easing/QE) akan dikurangi. Penyebabnya, ia menilai perekonomian AS akhir-akhir
ini membaik.
Pengangguran secara bertahap turun
dari 10 persen (2009) menjadi saat ini 7,4 persen. Karena itu, kebijakan QE
bisa dikendurkan. Implikasinya, kurs dollar AS akan menguat karena kebijakan QE
menyebabkan bertambahnya likuiditas dollar AS di pasar uang. Bertambahnya
peredaran dollar AS selama ini menyebabkan kursnya melemah. Sebaliknya,
pengurangan, atau bahkan penyetopan kebijakan QE, akan mendorong penguatan
dollar AS.
Rencana Bernanke dikritik Paul
Krugman, yang berpendapat, stimulus ekonomi masih diperlukan AS. Meski
pengangguran menurun, perekonomian AS belum bisa dikatakan baik karena
pertumbuhan ekonominya hanya 1,4 persen.
Masalah lain adalah Bernanke akan
menyelesaikan periode kedua jabatannya pada 1 Februari 2014. Media massa
berspekulasi, ia akan digantikan Larry Summers, mantan Rektor Universitas
Harvard yang pernah menjadi menteri keuangan pada era Presiden Bill Clinton
(1999-2001) dan penasihat Presiden Obama. Jika Summers menggantikan Bernanke, belum
tentu kebijakan Bernanke diteruskan. Kalau demikian halnya, sesungguhnya
kebijakan ekonomi AS pada 2014 masih teka-teki. Karena itu, dampaknya terhadap
rupiah pun belum jelas.
Rupiah perlu depresiasi
Dengan latar belakang ini, target
kurs rupiah Rp 9.750 per dollar AS menjadi tanda tanya. Apakah benar dollar AS
akan melemah sehingga rupiah berpeluang menguat pada 2014? Selanjutnya, apakah
benar perekonomian Indonesia memerlukan rupiah yang menguat? Dalam kondisi
neraca perdagangan yang dilanda defisit (semester I-2013 defisit 3,3 miliar
dollar AS), yang diperlukan adalah mendorong daya saing, di antaranya melalui
kurs rupiah yang melemah.
Tahun 2012, kita mengalami defisit
1,6 miliar dollar AS, sedangkan tahun ini diperkirakan defisit 6 miliar dollar
AS. Untuk bisa kembali surplus, langkah yang paling instan adalah depresiasi
rupiah. Misalnya, memangkas dwelling time (masa antre kontainer di
Tanjung Priok) yang 7-8 hari, sangat tidak kompetitif dibandingkan para
kompetitor: pelabuhan Thailand dan Malaysia (4 hari), apalagi Singapura (1-2
hari).
Akhir-akhir ini pun kita sudah kian
mulai menyadari bahwa rupiah sedang ”mengembara” untuk menemukan ekuilibrium
(keseimbangan) yang baru. Karena pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat sensitif
terhadap kenaikan impor (pertumbuhan ekonomi diikuti dengan kenaikan impor
secara signifikan), sementara itu harga komoditas primer tidak sebaik tahun
2009-2010 sehingga surplus perdagangan mencapai 40 miliar dollar AS, saat ini
kita tidak sedang memerlukan rupiah yang kuat.
Rupiah terkuat kita sejak era
Reformasi adalah Rp 8.500 per dollar AS (2011). Untuk membantu agar impor tidak
terlalu deras, serta mendorong ekspor, sebaiknya kita membiarkan rupiah
melemah, melebihi Rp 10.000 per dollar AS. Karena itu, asumsi kurs rupiah Rp 9.750
per dollar AS tampaknya tak cukup memiliki dasar pada saat neraca perdagangan
masih defisit.
Inflasi dan suku bunga
Pemerintah cukup percaya diri
menetapkan target inflasi 4,5 persen dan rata-rata suku bunga Surat
Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan sebesar 5,5 persen. Secara historis, kita
memang pernah mencapai inflasi 4,5 persen pada 2011 sehingga berpeluang
mengulangi pencapaian tersebut. Apalagi potensi terjadinya kenaikan harga
minyak pada 2014 nyaris tidak ada.
Pertama, harga minyak dunia cenderung
stagnan karena perekonomian global belum membaik sehingga tidak akan ada
lonjakan permintaan. Kedua, secara politis, mustahil pemerintah menaikkan harga
BBM karena akan mengganggu stabilitas politik pada tahun pemilu. Meski
sebenarnya masih ada urgensi menaikkan harga BBM karena harga BBM (Rp 6.500 per
liter) masih di bawah harga keekonomian (Rp 9.000 per liter), jelas tahun 2014
bukan saat yang tepat.
Meski demikian, pada tahun 2014,
pemerintah tidak boleh lagi kecolongan inflasi oleh penyebab ”yang tidak-tidak”,
seperti kenaikan harga cabai, bawang, dan daging. Persoalan data sisi penawaran
dan permintaan yang lemah menyebabkan pemerintah selalu terlambat
mengantisipasi. Kapan keran impor harus dibuka agar tak telanjur menyebabkan
inflasi? Manajemen pasokan inilah yang masih kedodoran dilakukan Kementerian
Pertanian.
Persoalan klasik infrastruktur juga
tidak boleh lagi memicu inflasi menjelang Lebaran. Jalan raya pantai utara Jawa
diejek sebagai ”proyek abadi” menjelang Lebaran karena setiap tahun selalu
dikerjakan, tetapi tidak pernah siap pada saat diperlukan. Distribusi barang
menjadi tersendat sehingga memicu kenaikan biaya. Inflasi yang bersifat
nonmoneter inilah yang banyak mewarnai inflasi di Indonesia. Diktum Milton
Friedman (Chicago) bahwa ”inflasi selalu
merupakan fenomena moneter” (1966) tampaknya tidak berlaku dalam kasus
Indonesia.
Inflasi justru disebabkan oleh
faktor nonmoneter, baik berupa kebijakan (kenaikan harga BBM), harga pangan
yang bergejolak (volatile food),
maupun buruknya infrastruktur yang mengganggu distribusi barang dan melemahkan
daya saing.
Rezim suku bunga
Dari sisi moneter, akhir-akhir ini
timbul persepsi bahwa rezim suku bunga rendah yang dilakukan mantan Gubernur BI
Darmin Nasution telah berubah menjadi rezim suku bunga tinggi oleh Gubernur BI
baru, Agus Martowardojo. Sebenarnya yang terjadi adalah suku bunga rendah
adalah strategi besar yang menjadi tujuan jangka panjang. Namun, untuk mencapai
tujuan tersebut, kadang-kadang diperlukan taktik jangka pendek. Ketika inflasi
meningkat cepat, mustahil suku bunga bisa dipertahankan rendah.
Jika inflasi tinggi (saat ini year on year 8,61 persen)
dihadapkan dengan BI Rate 6,5 persen, yang terjadi adalah suku bunga riil
negatif (negative real interest rate).
Hal semacam ini sebenarnya lazim di negara-negara maju. Di AS, misalnya,
inflasinya 1,8 persen, sedangkan suku bunga acuan The Fed hanya 0,25 persen. Di zona euro, inflasi 1,6 persen
dihadapi suku bunga acuan 0,5 persen. Baik di AS maupun zona euro tak ada
kepanikan, tak ada komplikasi.
Namun, di Indonesia, selisih yang
cukup lebar antara inflasi dan suku bunga bisa menyebabkan komplikasi. Para
penabung besar akan menarik dananya dari bank untuk diinvestasikan di aset
lain, termasuk pembelian valuta asing. Bank-bank mengalami tekanan likuiditas.
Begitu BI Rate dipertahankan 6,5 persen, rupiah pun melemah nyaris Rp 10.400
per dollar AS pada akhir pekan lalu.
Dalam posisi rupiah melemah dan
cadangan devisa tergerus menjadi 92,6 miliar dollar AS, yang berarti turun jauh
dari posisi tertinggi 124,7 miliar AS (Juli 2011), sebenarnya yang dibutuhkan
adalah sedikit menaikkan BI Rate. Kebijakan menaikkan suku bunga ini bersifat
sementara (taktik jangka pendek), yang di kemudian hari akan kembali diturunkan
jika situasinya memungkinkan.
Warisan yang baik
”Warisan” baik yang sempat
ditinggalkan Presiden SBY adalah penerimaan pajak 2014 yang ditargetkan Rp
1.310 triliun, atau naik 14 persen daripada tahun ini Rp 1.148 triliun. Ini
termasuk target yang berani. Jika praktik pengemplangan pajak bisa dibasmi
sehingga tax ratio (perbandingan antara penerimaan pajak dan PDB)
bisa dinaikkan dari level sekarang 13 persen menjadi 18-20 persen seperti
negara-negara tetangga, berarti kita akan mendapat tambahan penerimaan pajak di
atas Rp 600 triliun. Jumlah ini sangat dahsyat untuk menutup defisit anggaran
yang saat ini Rp 154 triliun.
Sudah saatnya pemerintah membentuk
tim khusus seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyisir para
pengemplang pajak. Cara-cara konvensional seperti yang dilakukan Direktorat
Jenderal Pajak selama ini, tidak cukup efektif meningkatkan penerimaan pajak
secara signifikan. Harus ada upaya yang lebih besar dan tidak konvensional
untuk menaikkan penerimaan pajak. Semoga Presiden SBY masih sempat membentuknya
sebelum periodenya berakhir. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar