Jumat, 23 Agustus 2013

Migas dan Selingkuh Bisnis Politik

Migas dan Selingkuh Bisnis Politik
Bambang Soesatyo ;   Anggota Komisi III DPR/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
KORAN SINDO, 23 Agustus 2013



Tertangkapnya Kepala SKK  Migas Rudi Rubiandini  harus menjadi pintu  masuk mengurai mafia migas.  Tidak mungkin guru besar ITB  itu berani terima uang suap jika  tidak ada arahan atau perintah  dari pejabat yang berpengaruh  terkait suatu proyek dalam tata  niaga liftingmigas.  

Diduga, uang tersebut bukan  hanya untuk Rudi sendiri.  Melainkan untuk kepentingan  orang yang berpengaruh tadi.  Barangkali hal inilah yang kemudian  menjelaskan kepada  kita mengapa KPK atas petunjuk  Rudi kemudian menemukan  USD200.000 di laci Sekjen  Kementerian ESDM tersebut.  Menteri Jero Wacik boleh saja  membantah. Namun, pengakuan  Rudi patut didalami oleh KPK  jika ingin menguak lebih dalam  lagi jaringan mafia migas dari  hulu hingga hilir yang selama ini  menggerogoti potensi penerimaan  negara hingga triliunan  rupiah setiap tahun.  

Mengecilkan target volume  kemampuan produksi atau  lifting dalam APBN padahal  sesungguhnya sangat besar dan  meninggikan nilai cost recovery,  adalah salah satu modus yang  paling mudah dibaca.  Yang terungkap dari kasus  operasi tangkap tangan (OTT)  Rudi itu, baru dari satu perusahaan.  Itu pun tergolong perusahaan  berskala kecil. Masih  puluhan perusahaan migas  raksasa kelas dunia yang diduga  melakukan praktik yang sama  dengan omzet kejahatan  triliunan rupiah setiap tahun.  Rumor lain yang tak kalau  panas terkait kasus Rudi adalah  soal perusahaan Kernell Oil  (KO) yang diduga melakukan  suap. 

Berdasarkan informasi,  KO yang berkedudukan di  Singapura yang dipimpin oleh  seorang warga negara Singapura  bernama Widodo itu  sudah berbisnis sejak zaman  SKK Migas masih bernama BP  Migas yang dipimpin R Prijono.  Keterlibatan KO berbisnis  minyak tidak lain karena peran  pejabat tinggi kementerian  ESDM ketika itu.  Seperti dalam cerita-cerita di  filmbertema ‘business intelligent’,  pejabat ESDM tersebut sengaja  menempatkan orangnya untuk  menjaga kepentingan KO di BP  Migas hingga berubah menjadi  SKK Migas.  

KO terdaftar sebagai perusahaan  trader di SKK Migas  sejak jaman BP Migas. Atau  sejak jaman R Prijono sampai  sekarang dijabat Rudi Rubiandini.  Konon, KO sangat aktif  berbisnis dari hulu sampai hilir.  Sampai-sampai di kalangan  para pebisnis migas, KO dikenal  sebagai kartel migas.  Setelah R Prijono selesai jabatannya  dan digantikan Rudi,  peran orang yang ditempatkan  pejabat tinggi ESDM yang merangkap  sebagai market  intelligenttersebut tetap dilakukan  untuk mengawal kepentingan  KO. 

Saking intensnya,  sempat beredar isu Rudi menjalin  hubungan asmara dengan  orangnya pejabat tinggi ESDM  tersebut.  Seperti diketahui, investigasi  penyidik KPK berhasil  menyadap pembicaraan telepon  Rudi dengan orang kepercayaan  pejabat tinggi  ESDM tersebut yang mengantarkan  para pihak akhirnya  digelandang KPK dalam  operasi tangkap tangan. 

Perselingkuhan  Kelas Dunia  

Perselingkuhan politik dan  bisnis dalam industri migas sudah  menjadi aturan main tak  tertulis. Perselingkuhan itu  biasanya berujung pada ‘kawin  paksa’ pemburu rente dan pemburu  kuasa. Ketika pemburu  kuasa tunduk  pada kehendak pemburu  rente, Kepentingan  negara dan rakyat  pun harus dikorbankan.  

Perselingkuhan atau  hanky pankydalam industri  dan bisnis migas sudah  menjadi rahasia umum  yang universal. Tak perlu  lagi ditutup-tutupi, jika  industri migas tidak sarat  perselingkuhan, mungkin tidak  semua cadangan minyak fosil  di perut bumi bisa  dieksplorasi.  Kecenderungan  ini merupakan  ekses dari ketidakseimbangan  kekuatan  karena terbentuknya blok negara  kaya dan negara miskin,  serta negara maju dan negara  berkembang.  

Orang-orang kaya dari  negara maju datang ke negeri  berkembang mencari ladang  minyak. Tidak hanya uang,  mereka juga membawa teknologi.  Namun, menguasai sebuah  ladang minyak yang luas  bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan  dukungan kekuatan  politik untuk memuluskan proses  penguasaan sebuah ladang  minyak. Jelas bahwa tidak ada  yang gratis. Tentu saja ada harga  yang harus dibayar untuk mendapatkan  dukungan dari  kekuatan-kekuatan politik.  Terjadilah perselingkuhan  itu. Biasanya dibungkus dengan  kalimat-kalimat seperti “berhasil  mendatangkan investor”  atau “investasi terus tumbuh”  hingga kalimat “meningkatkan  produksi minyak mentah”.  

Bahkan, kalau dianggap perlu,  perselingkuhan itu diwujudkan  dengan invasi militer atau  perang.  Amerika  Serikat (AS) dan  sekutunya harus mencari  alasan untuk berperang di Irak,  serta memperkeruh krisis di  Libya untuk menguasai ladang  minyak di kedua negara itu.  Selain mengerahkan mesin  perangnya, selama bertahun-tahun  AS pun harus menyiagakan  150.000 pasukannya di  Irak. Menurut peraih nobel  ekonomi Joseph Stiglitz, AS  harus mengeluarkan dana hampir  USD3 triliun untuk membiayai  perang di Irak.  Belakangan, dunia tahu bahwa  perang itu bermotif minyak.  

Data dari Centre for Global  Energy Studies (CGES) yang  berbasis di London menyebutkan  bahwa kandungan minyak  di perut bumi Irak merupakan  cadangan minyak kedua terbesar  setelah Arab Saudi. Ketika  perang itu sampai pada episode  tentang perlunya mempertahankan  kehadiran militer AS  untuk menjaga stabilitas Irak,  raksasa-raksasa bisnis perminyakan  dari barat, seperti  ExxonMobil, Chevron, BP dan  Shell langsung berdatangan ke  Irak. Tak ketinggalan untuk berbisnis  di Irak adalah perusahaan  jasa perminyakan  Halliburton  dari AS yang  pernah dipimpin oleh  Dick Cheney, mantan  Wapres AS.  

Tanpa harus merancang  perang, perselingkuhan  itu pun  dipraktikan di Indonesia.  Warga Papua  danmasyarakat Indonesia  pada umumnya  boleh saja menyuarakan aspirasi  mengenai ketidakadilan  akibat penambangan emas oleh  Freeport-McMoRan Copper &  Gold Inc. Namun, penggalian di  Papua legal karena kehendak  kekuatan-kekuatan politik di  negara ini.  

Selingkuh Cepu  

Raksasa-raksasa industri  Migas dari barat pun sudah  lama mencari peruntungan di  Indonesia. Namun, heboh perselingkuhan  untuk kepentingan  di Blok Cepu masih diingat  banyak orang hingga kini.  Dalam kasus Blok Cepu, masyarakat  yang peduli bersepakat  untuk berpendapat  bahwa kepentingan nasional  yang jauh lebih besar dan  strategis telah dikorbankan.  

Tahapan eksplorasi minyak  di Blok Cepu harus melalui proses  yang sangat berliku. Awalnya,  izin eksplorasi di blok ini  ada dalam genggaman Humpuss  Patragras. Karena keterbatasan  dana dan teknologi, Humpuss  menjalin kerja sama dengan  Ampolex dari Australia. Kehadiran  Ampolex di Blok Cepu  ternyata bukan jalan keluar,  karena eksplorasi tidak dikerjakan.  Bahkan, Ampolex pun diakuisisi  oleh Mobil Oil. Karena  proses akuisisi ini berlarutlarut,  pengeboran dihentikan  pada 1996. Masalah bertambah  ketika Humpuss pun menjual  sahamnya kepada Mobil Oil di  tengah krisis ekonomi 1998.  

Akhirnya, ExxonMobil membeli  hak eksplorasi Blok Cepu.  Hasil pemetaan lapisan bawah  permukaan oleh anak usaha  ExxonMobil, yakni Mobil  Cepu Ltd yang berstatus sebagai  mitra Pertamina di blok ini  cukup mencengangkan. Sebab,  kandungan minyak mentah di  Blok Cepu ternyata mencapai  1,478 miliar barel, plus kandungan  gas sebesar 8,14 miliar  kaki kubik.  Mungkin karena kandungan  yang demikian besar itu,  Pertamina dan ExxonMobil  terjebak dalam proses negosiasi  yang alot dan berlarut-larut.  

Pertamina bersikukuh menjaga  kepentingan nasional. Di tengah  ketidakpastian itu, Departemen  Luar Negeri AS mengagendakan  kunjungan Menlu  AS (saat itu) Condoleezza Rice  ke Indonesia pada Maret 2006.  Sebelum pesawat yang ditumpangi  Rice take off, Pemerintah  Indonesia mengganti dewan  direksi Pertamina. ExxonMobil  pun menjadi operator utama  dengan kontrak pengelolaan  Blok Cepu selama 30 tahun.  Porsi saham Pertamina dan  ExxonMobil masing-masing  45%, sementara 10% lainnya  diserahkan kepada kabupaten  Bojonegoro dan Blora, serta  Pemda Jawa Tengah dan Jawa  Timur.  

Perselingkuhan di Blok Cepu  adalah kesepakatan besar bernilai  triliunan rupiah. Begitu  juga kesepakatan untuk eksplorasi  ladang minyak lainnya di  berbagai daerah. Maka, kalau  nilai kesepakatan itu diperbandingkan  dengan jumlah  uang suap yang diduga diterima  Kepala SKK Migas Rudi  Rubiandini, nilanya memang  terlalu kecil. Hanya senilai biaya  entertainment dua tiga hari di  bisnis migas. 

Sebab, dari pengurusan izin  hingga keperluan pelesiran,  mereka yang berada dalam  komunitas bisnis migas selalu  berbicara tentang jumlah atau  nilai uang yang besar. Untuk  menghibur seorang oknum  pejabat, perusahaan minyak  tak segan-segan mengeluarkan  dana sampai miliaran  rupiah. Sudah menjadi rahasia  umum harga tak resmi untuk  mendapatkan perpanjangan  izin kontrak migas di Indonesia  bisa mencapai angka USD50  juta.  

Diyakini bahwa Rudi Rubiandini  tidak sendiri. Itu sebabnya,  KPK bisa menemukan  uang USD200.000 di ruang  Sekretaris Jenderal Kementerian  ESDM. Maka, kasus Rudi  Rubiandini memang patut  dijadikan pintu masuk bagi KPK  untuk mengungkap perselingkuhan  bisnis–politik dalam  industri migas di Indonesia.  Tentu saja penyelidikan harus  diarahkan ke atas, karena  perselingkuhan atau deal-nya  memang dimulai dari atas. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar