REPUBLIKA, 01
Agustus 2013
|
Kelompok
militer di Mesir kembali bertindak represif terhadap kelompok pendukung
presiden terguling Muhammad Mursi. Serangan membabi buta aparat keamanan kembali
dilancarkan ke bundaran Rabiah Adawiyah di Kairo, tempat unjuk rasa pendukung
Muhammad Mursi. Jumlah korban tewas mencapai 38 orang.
Pecahnya
kerusuhan terbaru itu membuat jumlah korban tewas mencapai 120 orang dan lebih
1.000 lainnya terluka. Belum ada laporan resmi dari Kementerian Kesehatan.
Tetapi, menurut dokter di lapangan, korban meninggal akan terus bertambah
lantaran banyak korban luka karena tembakan peluru tajam yang masih terus
berdatangan.
Mesir
terus membara. Lagi-lagi sejarah menunjukkan bahwa warga Mesir memilih militer
ketika mereka tidak sabar dengan presiden mereka. Persoalan kian keruh ketika
mayoritas kaum liberal dan Barat memasang standar ganda dan pembiaran (omission) bahwa penggulingan Muhammad
Mursi bukanlah kudeta atas nama demokrasi. Di sinilah letaknya paradoks
demokrasi di Mesir dan di banyak tempat di negara-negara Islam atau yang
bermayoritas penduduk Muslim.
Dalam
konteks Mesir, terjun bebas demokrasi ini sejatinya berawal dari inkonsistensi
dan ketidaksabaran militer Mesir dalam mengawal proses demokrasi Mesir yang
belum seumur jagung pascalengsernya Husni Mubarak. Pihak militer Mesir telah
mengalami pasang surut pascagelombang protes Mesir yang menurunkan
Mubarak.
Pada 2011
militer terbukti menjalankan perlakuan kasar terhadap para pengunjuk rasa.
Brutalitas ini berhenti ketika militer meninggalkan politik pada Juni 2012 di
bawah kesepakatan bahwa militer tetap mendapatkan otonomi dan fasilitas yang
telah mereka nikmati sejak era Mubarak. Kesepakatan ini juga mencakup kekebalan
atas penuntutan dan peradilan militer bagi para perwira dan petingginya
pasca-Mubarak.
Rusaknya
demokrasi di Mesir merupakan perpaduan antara syahwat berkuasa militer, yang
dikomandani oleh Panglima Angkatan Bersenjata Mesir Jenderal Abdel Fatah
al-Sisi, dan inkonsistensi kaum liberal dan sekuler Mesir dalam memaknai
demokrasi, yang dipimpin oleh Mohamed el Baradei. Alih-alih memperlakukan massa
pendukung Mursi secara manusiawi, militer Mesir justru menggunakan peluru
tajam, pasukan sniper dan kendaraan lapis baja seperti menghadapi musuh. Lebih
parah, pihak militer menggunakan gas syaraf untuk membunuh ratusan orang di antara
jutaan demonstran.
Militer Mesir
selama ini tidak membunuh saat berperang melawan Zionis yang merampas tanah
suci Palestina, tapi memilih membunuh kaum warga Mesir Muslimin yang tak
bersenjata. Tak pelak, intervensi militer adalah kemunduran bagi pluralisme
Mesir. Kudeta secara definitif jelas antidemokrasi dan mustahil memuluskan
perbaikan demokrasi. Kasus Mesir meneguhkan bahwa otonomi militer, kepentingan
ekonomi, dan peran tunggal sebagai sumber legitimasi dan otoritas tak pernah
sukses memperkuat demokrasi.
Pertarungan
politik destruktif untuk menguasai Mesir kian mengkristal. Kudeta dan
penggulingan Mursi boleh jadi dipuji oleh beberapa negara Arab. Israel girang
bukan main. Namun, tindakan tersebut adalah resep untuk bencana.
Semua dukungan untuk al-Sisi dimotivasi oleh perhitungan sesaat.
Pengambilalihan Mesir oleh militer secara tajam memolarisasi demografi bangsa
Mesir yang saat ini berada dalam puncak yang mengerikan. Kudeta al-Sisi memperdalam
fluiditas lokalitas Mesir.
Lewat
tindakan ini, militer hanya mendorong politik intoleransi yang mengamanatkan
kerumunan yang gaduh untuk merealisasikan tuntutan mereka melalui protes
jalanan ketimbang melalui perdebatan di parlemen. Bila demokrasi adalah jalan
yang diinginkan warga Mesir, protes jalanan tetap saja tak menjamin bahwa masyarakat
Mesir akan mendapatkan pemerintah yang representatif. Rakyat Mesir perlu
belajar untuk menoleransi perbedaan pendapat dan oposisi, alih-alih secara
ketat menghiraukan setiap permintaan dan keluhan di jalan-jalan.
Menggulingkan
presiden yang terpilih adalah sebuah kecelakaan--sebuah langkah fatal dan
perhitungan salah dengan kegagalan tentara menangani efek resistensi pro Mursi.
Al-Sisi ingin menggunakan momen ini untuk menyamarkan niat sebenarnya sebagai
Firaun baru; reinkarnasi dari Husni Mubarak.
Al-Sisi
membawa kembali rezim Mohamad Naguib, Anwar Al Sadat, Gamal Abdel Nasser, dan
Husni Mubarak yang memerintah Mesir selama lebih dari 50 tahun dengan
menenggelamkan demokrasi di Sungai Nil. Kini krisis politik di negara ini jauh
dari solusi. Tindakan keras pada Ikhwanul Muslimin hanya akan meningkatkan
krisis politik di negara itu.
Demokrasi
hanya bisa mewangi di Mesir ketika kekuasaan Mursi direstorasi. Upaya
selanjutnya adalah menegosiasikan paket rekonsiliasi yang menjamin kelompok-kelompok
Islam tidak tercampak dari setiap kebijakan dan langkah politik, ekonomi, atau
sosial di masa depan. Pada saat yang sama, kelompok Islam perlu mengonfirmasi
komitmennya untuk menghormati hak-hak minoritas.
Inilah
skenario optimistis yang melibatkan rekonsiliasi serta mediator internasional.
Rekonsiliasi masyarakat sipil di Mesir menghajatkan Mesir kembali menjadi pelopor
di dunia Arab, mencita-citakan lahirnya pemerintah yang dijalankan orang-orang
yang kompeten guna memulihkan ketertiban dan mencip takan lapangan pekerjaan,
dan mendambakan pemerintahan yang inklusif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar