Jumat, 02 Agustus 2013

Mesir dan Keruntuhan Demokrasi

Mesir dan Keruntuhan Demokrasi
Donny Syofyan  ;   Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
          REPUBLIKA, 01 Agustus 2013


Kelompok militer di Mesir kembali bertindak represif terhadap kelompok pendukung presiden terguling Muhammad Mursi. Serangan membabi buta aparat keamanan kembali dilancarkan ke bundaran Rabiah Adawiyah di Kairo, tempat unjuk rasa pendukung Muhammad Mursi. Jumlah korban tewas mencapai 38 orang. 

Pecahnya kerusuhan terbaru itu membuat jumlah korban tewas mencapai 120 orang dan lebih 1.000 lainnya terluka. Belum ada laporan resmi dari Kementerian Kesehatan. Tetapi, menurut dokter di lapangan, korban meninggal akan terus bertambah lantaran banyak korban luka karena tembakan peluru tajam yang masih terus berdatangan.

Mesir terus membara. Lagi-lagi sejarah menunjukkan bahwa warga Mesir memilih militer ketika mereka tidak sabar dengan presiden mereka. Persoalan kian keruh ketika mayoritas kaum liberal dan Barat memasang standar ganda dan pembiaran (omission) bahwa penggulingan Muhammad Mursi bukanlah kudeta atas nama demokrasi. Di sinilah letaknya paradoks demokrasi di Mesir dan di banyak tempat di negara-negara Islam atau yang bermayoritas penduduk Muslim.

Dalam konteks Mesir, terjun bebas demokrasi ini sejatinya berawal dari inkonsistensi dan ketidaksabaran militer Mesir dalam mengawal proses demokrasi Mesir yang belum seumur jagung pascalengsernya Husni Mubarak. Pihak militer Mesir telah mengalami pasang surut pascagelombang protes Mesir yang menurunkan Mubarak. 

Pada 2011 militer terbukti menjalankan perlakuan kasar terhadap para pengunjuk rasa. Brutalitas ini berhenti ketika militer meninggalkan politik pada Juni 2012 di bawah kesepakatan bahwa militer tetap mendapatkan otonomi dan fasilitas yang telah mereka nikmati sejak era Mubarak. Kesepakatan ini juga mencakup kekebalan atas penuntutan dan peradilan militer bagi para perwira dan petingginya pasca-Mubarak.

Rusaknya demokrasi di Mesir merupakan perpaduan antara syahwat berkuasa militer, yang dikomandani oleh Panglima Angkatan Bersenjata Mesir Jenderal Abdel Fatah al-Sisi, dan inkonsistensi kaum liberal dan sekuler Mesir dalam memaknai demokrasi, yang dipimpin oleh Mohamed el Baradei. Alih-alih memperlakukan massa pendukung Mursi secara manusiawi, militer Mesir justru menggunakan peluru tajam, pasukan sniper dan kendaraan lapis baja seperti menghadapi musuh. Lebih parah, pihak militer menggunakan gas syaraf untuk membunuh ratusan orang di antara jutaan demonstran.

Militer Mesir selama ini tidak membunuh saat berperang melawan Zionis yang merampas tanah suci Palestina, tapi memilih membunuh kaum warga Mesir Muslimin yang tak bersenjata. Tak pelak, intervensi militer adalah kemunduran bagi pluralisme Mesir. Kudeta secara definitif jelas antidemokrasi dan mustahil memuluskan perbaikan demokrasi. Kasus Mesir meneguhkan bahwa otonomi militer, kepentingan ekonomi, dan peran tunggal sebagai sumber legitimasi dan otoritas tak pernah sukses memperkuat demokrasi.

Pertarungan politik destruktif untuk menguasai Mesir kian mengkristal. Kudeta dan penggulingan Mursi boleh jadi dipuji oleh beberapa negara Arab. Israel girang bukan main. Namun, tindakan tersebut adalah resep untuk bencana.
Semua dukungan untuk al-Sisi dimotivasi oleh perhitungan sesaat. Pengambilalihan Mesir oleh militer secara tajam memolarisasi demografi bangsa Mesir yang saat ini berada dalam puncak yang mengerikan. Kudeta al-Sisi memperdalam fluiditas lokalitas Mesir.

Lewat tindakan ini, militer hanya mendorong politik intoleransi yang mengamanatkan kerumunan yang gaduh untuk merealisasikan tuntutan mereka melalui protes jalanan ketimbang melalui perdebatan di parlemen. Bila demokrasi adalah jalan yang diinginkan warga Mesir, protes jalanan tetap saja tak menjamin bahwa masyarakat Mesir akan mendapatkan pemerintah yang representatif. Rakyat Mesir perlu belajar untuk menoleransi perbedaan pendapat dan oposisi, alih-alih secara ketat menghiraukan setiap permintaan dan keluhan di jalan-jalan.

Menggulingkan presiden yang terpilih adalah sebuah kecelakaan--sebuah langkah fatal dan perhitungan salah dengan kegagalan tentara menangani efek resistensi pro Mursi. Al-Sisi ingin menggunakan momen ini untuk menyamarkan niat sebenarnya sebagai Firaun baru; reinkarnasi dari Husni Mubarak. 

Al-Sisi membawa kembali rezim Mohamad Naguib, Anwar Al Sadat, Gamal Abdel Nasser, dan Husni Mubarak yang memerintah Mesir selama lebih dari 50 tahun dengan menenggelamkan demokrasi di Sungai Nil. Kini krisis politik di negara ini jauh dari solusi. Tindakan keras pada Ikhwanul Muslimin hanya akan meningkatkan krisis politik di negara itu.

Demokrasi hanya bisa mewangi di Mesir ketika kekuasaan Mursi direstorasi. Upaya selanjutnya adalah menegosiasikan paket rekonsiliasi yang menjamin kelompok-kelompok Islam tidak tercampak dari setiap kebijakan dan langkah politik, ekonomi, atau sosial di masa depan. Pada saat yang sama, kelompok Islam perlu mengonfirmasi komitmennya untuk menghormati hak-hak minoritas. 


Inilah skenario optimistis yang melibatkan rekonsiliasi serta mediator internasional. Rekonsiliasi masyarakat sipil di Mesir menghajatkan Mesir kembali menjadi pelopor di dunia Arab, mencita-citakan lahirnya pemerintah yang dijalankan orang-orang yang kompeten guna memulihkan ketertiban dan mencip takan lapangan pekerjaan, dan mendambakan pemerintahan yang inklusif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar