|
Makna kemerdekaan adalah
tersedianya kesempatan yang luas tiada batas untuk mewujudkan kesejahteraan
lahir dan batin bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Kesejahteraan lahir
dapat terwujud manakala negara bisa menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan negara, mulai bertanggung jawab akan adanya fasilitas
pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak, terutama bagi rakyat miskin
sesuai harkat martabat kemanusiaannya.
Kesejahteraan batin terwujud jika
rakyat mendapatkan perlindungan atas hak asasi manusia (HAM) yang dimilikinya.
Rakyat bebas dari ketakutan, kekerasan, dan diskriminasi, terjamin keamanan dan
hak milik serta kebebasannya sesuai martabat kemanusiaannya pula.
Untuk apa merdeka jika rakyat
masih jauh dari kesejahteraan lahir batin dan justru masih bergelimang dalam
kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan? Tidak ada kemerdekaan jika kita
sebagai pemimpin masih menyaksikan terjadinya eksploitasi manusia terhadap
manusia yang lain (padahal mengaku sebangsa dan setanah air) di depan mata
kepala kita dalam kehidupan sehari-hari.
Realitas bangsa saat ini belum
seperti yang dibayangkan dan dicita-citakan dalam Proklamasi Kemerdekaan RI
pada 68 tahun lalu. Indonesia semestinya sudah dapat menjadi negara maju dan
sejahtera jika saja pemerintah dapat membersihkan penyelenggaraan negara ini
dari korupsi, kolusi, kongkalikong, dan nepotisme.
Maka, harapan kita segeralah
terwujud pemerintahan yang bebas dan merdeka dari korupsi. Tetapi apa lacur,
korupsi masih merajalela laksana epidemi. Lihat saja, masih banyak koruptor
ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kejadian tertangkapnya para
koruptor beberapa tahun terakhir ini benar-benar menyedihkan. Ini berarti
serentetan peristiwa penangkapan yang dilakukan KPK selama ini belum
menghasilkan efek jera kepada pejabat-pejabat kita.
Jangankan menimbulkan rasa takut atau
efek jera, bahkan sekadar perasaan kapok pun tidak! Buktinya, praktik-praktik
korupsi tetap semarak, suap tetap merajalela, dan kongkalikong antara
legislatif, eksekutif, dan judikatif, bahkan dengan pengusaha, masih tetap
berjalan terus. Bahkan, modus operandi tindak pidana korupsi makin mengalami
diversifikasi sehingga makin beraneka ragam.
Ada kesan, kegarangan KPK dalam
melakukan penggeledahan, penangkapan, dan penyeretan para koruptor selama ini
tidak berpengaruh sama sekali. Jika keadaan demikian terus berlangsung, sungguh
sudah waktunya dicari jenis hukuman lain untuk menghentikan korupsi di negeri
ini. Entahlah jenis penanganan dan hukuman yang seperti apa lagi, yang harus
dilakukan KPK untuk membuat para pegawai dan pejabat negara/pemerintahan berhenti
korupsi. Jangan-jangan dihukum mati pun mereka sudah tidak takut lagi!
Kenaikan gaji dan remunerasi juga
tidak membuat pejabat dan pegawai berhenti korupsi. Teori menaikkan gaji dan
remunerasi untuk menghentikan korupsi dan/atau suap sudah jadi teori kuno dan out of date! Itu teori klise yang
terbukti ngawur! Sudah jelas sekarang ini bahwa kalau memang dasarnya korup,
ya, tetap saja korup meski kesejahteraannya sudah diperhatikan.
Sedih, bahkan kecewa, karena
ternyata korupsi terus saja terjadi. Ini menunjukkan bahwa korupsi-korupsi baru
akan terus bermunculan silih berganti bagaikan ungkapan "patah tumbuh hilang berganti, esa hilang dua terbilang!"
Apa akan begini terus negara kita ini? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar