Rabu, 21 Agustus 2013

Membaca Anggaran di Ujung Republik

Membaca Anggaran di Ujung Republik
Sirikit Syah  ;   Dosen Stikosa-AWS Surabaya dan direktur Sirikit School of Writing
JAWA POS, 21 Agustus 2013


KORAN ini hari Minggu (18/8) lalu memberitakan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2014. Sudut pandangnya, dari Rp 371,2 triliun anggaran pendidikan (yang naik dari Rp 345,3 triliun), digunakan untuk gaji dosen dan guru Rp 241,2 triliun. Hampir 65 persen. Setelah berita ini keluar, boleh diharapkan perhatian publik atas anggaran negara meningkat. Bagaimanapun, di dalamnya (mestinya) yang utama adalah hak-hak publik. 

Transparansi anggaran publik kian penting dan relevan, tetapi pers jarang mengawal hingga detail. Keterbatasan space dan tuntutan keragaman dalam kebijakan redaksi turut menyebabkan ulasan tentang anggaran publik sering tidak mendalam. Untung, banyak NGO yang peduli dalam melatih rakyat "membaca" anggaran negara. 

Ada beberapa isu anggaran yang menjadi headline atau menempati segmen pertama berita televisi. Tetapi, itu setelah anggaran terbukti diselewengkan, menjadi skandal, terkait korupsi. Selain dari itu, wartawan kurang berminat mendalami serta menggeluti isu-isu anggaran.

Padahal, anggaran negara alias anggaran publik jelas sangat strategis bagi penguatan kualitas hidup rakyat. Di sini teori Bill Kovach dan Tom Rosentiel (Sembilan Elemen Jurnalisme) mestinya jadi pertimbangan. Salah satu kewajiban jurnalisme adalah menjadikan isu-isu penting menarik dan relevan bagi khalayaknya. Bagaimana rakyat tahu bahwa rancangan anggaran dan realisasinya sesuai dengan kebutuhan? 

Sungguh sangat menantang ketika saya harus tergabung sebagai guide "membaca" dan memberitakan anggaran hingga Papua, Papua Barat, NTB, dan NTT, selain Jawa Timur. Ini kerja Australia Indonesia Partnership for Decentralization (AIPD) bersama JPIP agar menguatkan transparansi anggaran publik. 

Kepada para peserta pelatihan, pakar anggaran Ismail Amir mengajarkan cara membaca dokumen anggaran. Pos apa yang patut dicermati, bagaimana melihat angka-angka, menganalisisnya, serta membandingkan antara rancangan dan realisasi. Penulis dan pakar media siaran Nanang Purwono dari JTV melatih bagaimana angka-angka yang tidak menarik itu bisa menjadi berita audiovisual yang menarik, relevan, dan penting bagi masyarakat.

Bila para wartawan di Jawa Timur lebih banyak menanyakan hal yang bersifat etis dan filosofis (misalnya, bagaimana aturan tentang hidden camera), di Papua konsentrasi para jurnalis terserap untuk mengatasi kendala-kendala teknis. Dapatkah Anda membayangkan bahwa sebagian besar peserta di Manokwari dan Jayapura datang dengan pesawat terbang dari kabupaten masing-masing karena tidak ada jalan tembus antarkabupaten, bahkan dari kabupaten ke ibu kota provinsi?

Dalam diskusi kelompok (peserta dibagi menjadi kelompok sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur), peserta tampak sangat menguasai permasalahan daerahnya, namun nyaris putus asa dalam membantu mencarikan solusi. 

Baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat, persoalan pendidikannya sama saja: Desa-desa kekurangan guru dan sarana. Setelah dibedah lebih lanjut, persoalan guru meliputi guru sering mangkir (meninggalkan tugas), tak ada tempat tinggal, transportasi sulit, serta administrasi birokrasi masih harus diurus ke kabupaten (termasuk pengambilan gaji setiap bulan dan urusan kepangkatan). 

Padahal, seorang guru di sebuah desa di Pegunungan Bintang, misalnya, pergi ke ibu kota kabupaten bukan perkara mudah dan murah. Sekali seseorang pergi ke kota, dia akan berpikir tujuh kali untuk kembali ke pucuk gunung atau pelosok hutan, tempat para siswa menunggu dengan sia-sia. Tak heran, banyak lulusan SD yang tidak bisa baca tulis. APBN pendidikan yang ratusan triliun rupiah belum mengubah bagian republik yang jauh dari Jakarta. 

Solusi yang ditawarkan para jurnalis dan LSM dalam sektor pendidikan di Papua dan Papua Barat adalah kemudahan urusan birokrasi (gaji, kepangkatan, dan lain-lain) dengan menyediakan layanan dan urusannya di kantor kecamatan. Juga, perlu pengadaan transportasi antarkota kecamatan dan kecamatan-kabupaten.

Berdialog dengan jurnalis di ujung timur Indonesia ini, tak bisa tidak, kita akan berempati. Papua dan Papua Barat adalah wilayah yang sangat luas. Minimnya sarana liputan (utamanya transportasi) membuat banyak wartawan melakukan peliputan secara embedded (menumpang pada pengundang, pejabat, atau pengusaha). Konsekuensinya, independensi liputan menjadi terbatas. Jurnalis dari TVRI Jayapura mengatakan, biaya liputan sangat mahal. Untuk meliput ke kawasan wisata Raja Ampat tiga hari saja, tim harus mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah! ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar