|
Faktanya, dalam menghadapi MEA
2015, belum banyak persiapan berarti dari Indonesia. Berdasarkan laporan dari
Kementerian Koordinator Perekonomian, terungkap berbagai fakta. Neraca
Perdagangan Indonesia terhadap negara-negara ASEAN sejak 2005 selalu mengalami
defisit yang meningkat setiap tahunnya.
Ekspor Indonesia selama ini didominasi
oleh barang-barang berupa bahan baku alam (raw
material), seperti batubara, minyak nabati, gas, dan minyak bumi (40 persen
dari seluruh ekspor Indonesia). Daya saing produk Indonesia secara umum relatif
lebih lemah dibandingkan dengan negara-negara industri utama ASEAN seperti
Singapura, Malaysia dan Thailand.
Di bidang jasa, tingkat kunjungan
turis ke Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya
meskipun Indonesia memiliki potensi pariwisata yang sangat besar, baik berupa
kekayaan alam, budaya maupun peninggalan sejarah. Kualitas tenaga kerja yang
ada di Indonesia relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja di
negara ASEAN lainnya. Kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia cukup baik,
namun terbatas di kota besar dan harganya juga relatif mahal. Apalagi, jika
dilihat dari jumlah tenaga kerja kesehatan dan infrastruktur yang dibangun di
Indonesia masih berada di bawah negara ASEAN lainnya.
Dari segi investasi, aliran
penanaman modal asing (Foreign Direct
Investment/ FDI) ke Indonesia dibanding dengan total FDI ke ASEAN relatif
rendah dibandingkan dengan yang mengalir ke Singapura, Thailand dan bahkan
Vietnam. Begitu pula terhadap sektor pendukung, anggaran untuk belanja
infrastruktur Indonesia paling rendah, hanya 2 persen dari GDP (dengan tingkat
ideal belanja infrastruktur 5 persen). Sebagai perbandingan, Vietnam memiliki
dana belanja infrastruktur hingga 8 persen, dan China mencapai 10 persen.
Begitu pula kondisi infrastruktur jalan di Indonesia merupakan yang terburuk di
ASEAN. Selain itu, panjang jalan di Indonesia juga merupakan yang terpendek di
ASEAN (ADB, 2011). Sekitar 36 persen dari jaringan jalan dilaporkan rusak atau
mengalami kerusakan berat, tidak memadai dan berkualitas rendah. (ADB 2007)
Dengan kondisi seperti ini, jelas
daya saing industri dan ekonomi Indonesia masih di bawah negara-negara besar
ASEAN lain. "Keunggulan" semu berupa jumlah penduduk, lokasi
strategis, dan SDA melimpah hanyalah "pemanis" untuk menjual
Indonesia ke pasar dan pemodal internasional, terutama oleh negara ASEAN yang
tidak memiliki penduduk, pasar, dan SDA.
Apalagi, kelemahan Indonesia di
sektor jasa dan tenaga kerja dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh negara-negara
ASEAN lain. Melalui ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), sudah dibuka
liberalisasi untuk profesi akuntan, dokter, dokter gigi, insinyur, perawat, dan
arsitek. Bahkan dalam penyusunan paket komitmen ke-8 AFAS tahun 2010,
dinyatakan secara tegas bahwa dalam praktik Indonesia sudah membuka pasar
tenaga kerja kelas bawah (low level) bagi negara antara lain Malaysia,
Singapura, dan Brunei.
Tidak Siap
Saya pribadi sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi VI yang membidangi masalah, antara lain soal
perdagangan sudah menyuarakan kekhawatiran terhadap ketidaksiapan Indonesia
menghadapi perdagangan bebas, setidaknya sejak awal 2009 ketika masuk di
parlemen. Alasannya sederhana: pemerintah tidak memiliki strategi yang jelas,
terukur, dan executable, dalam menghadapi MEA 2015. Dalam berbagai kesempatan
rapat kerja parlemen, saya sudah sering meminta agar pemerintah menyediakan
roadmap, blueprint, atau apa pun dokumen kebijakan resmi yang memuat strategi
pemerintah menghadapi MEA 2015, namun hingga kini tidak pernah diserahkan.
Di sisi lain, pemerintah sebenarnya
sadar bahwa ada bahaya besar terkait daya saing global Indonesia. Namun
sayangnya, kita seperti terlalu takut menghadapi kenyataan yang ada. Dalam
pidato Presiden Susilo Yudhoyono (SBY) di hadapan para pengusaha muda, Desember
2012 mengatakan, "ASEAN Economic
Community itu dilaksanakan di Bali, Indonesia, pada tahun 2003. Jadi, kalau
tiba-tiba kita mengatakan belum siap, padahal Laos siap, Kamboja siap, yang
masih jauh di bawah kita ekonominya, Myanmar siap, Vietnam siap-siap.
Bagaimana? Tentu tidak bagus bagi kehormatan sebuah bangsa."
Artinya, ada pengakuan bahwa
Indonesia memang tidak siap. Namun, terlepas dari segala dinamika diplomasi
ekonomi, kita sepakat bahwa pembenahan harus dimulai di dapur sendiri. Pakar
dan praktisi paham bahwa agar mampu bersaing, kita butuh kebijakan untuk
membenahi perekonomian kita, antara lain dengan membangun infrastruktur fisik,
perbaikan regulasi, keamanan iklim usaha, peningkatan kapasitas SDM (termasuk
pendidikan, keterampilan, dan kemampuan bahasa asing), akses permodalan, dan
penyusunan industri prioritas.
Namun, hingga kini eksekusi dari
program-program tersebut masih berjalan sangat lambat. Terakhir, ada rencana
untuk membuat komite khusus dan menyusun instruksi presiden guna memfokuskan
program kebijakan dan langkah aksi menyikapi MEA 2015. Meski hal ini patut
diapresiasi, tindakan ini seharusnya sudah dimulai sejak 9 tahun lalu, ketika
Presiden SBY pertama kali terpilih. Dibutuhkan tenaga super ekstra dan
kepemimpinan super tegas untuk mempercepat pemenuhan target kesiapan dalam 1,5
tahun mendatang. Sejujurnya, saya skeptis apakah Presiden mampu menggalang
dukungan politik, memimpin koordinasi antar kementerianlembaga pemerintah, dan
mengajak masyarakat bisnis untuk menjalankan kebijakan ini. Semoga saja, saya salah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar