|
Bagi saya,
kemerdekaan Tanah Air sejak 68 tahun yang lalu adalah sebuah gerbang utama untuk
dilalui dalam upaya menjadi manusia penuh (full human). Di bawah sistem
penjajahan, rakyat Nusantara diperlakukan sebagai separuh manusia, jika bukan
malah sepertiga.
Bagi Indonesia
secara keseluruhan, kemerdekaan adalah syarat utama untuk mengembangkan potensi
kebangsaannya sejauh-jauhnya, sedahsyat-dahsyatnya, sedangkan pihak asing tak
punya hak menghalanginya dalam proses dinamis dan kreatif itu. Akan tetapi
karena berbagai kendala mental dan kultural, potensi Indonesia yang luar biasa
itu ternyata tidak berjalan mulus untuk aktualisasi diri.
Anak udik dan kemerdekaan
Kita belum
menemukan pemimpin puncak yang bebas sepenuhnya dari daftar ”tetapi”. Apakah
tahun Pemilu 2014 akan membuka pintu untuk menampilkan sosok pemimpin yang
diharapkan itu? Tentu saja akan sangat bergantung pada calon- calon yang akan
muncul ke panggung dan tingkat kecerdasan rakyat dalam menentukan pilihan.
Demokrasi dalam teori adalah sistem politik untuk menghargai seorang warga
sebagai manusia penuh.
Sebagai seorang
anak udik di kawasan Bukit Barisan yang lahir 78 tahun silam, tanpa kemerdekaan
pendidikan tertinggi saya barangkali hanyalah sampai pada tingkat sekolah
rakyat (SR) di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Pada waktu itu satu-satunya SR
yang tersedia untuk empat nagari: Unggan, Silantai, Sumpur Kudus, dan
Mangganti.
Kemudian, dalam
perjalanan waktu, tentu akan beranak pinak di nagari sempit dan miskin itu
sebagai manusia terjajah yang tunacita-cita. Sekalipun pihak penjajah secara
fisik belum tentu sampai ke sana karena harus melalui jalan setapak dengan
berjalan kaki, atau paling-paling naik kuda. Penjajah mana pula yang mau
berjibaku berkunjung ke kawasan tersuruk itu?
Berkat
kemerdekaan, di Sumpur Kudus sekarang telah berdiri beberapa SD negeri, satu
madrasah tsanawiyah (MTs) negeri, satu SMA negeri, dan dua puskesmas, sesuatu
yang tak terbayangkan di era penjajahan. Jalan setapak sudah masuk ke masa
silam, kuda beban dan kuda tunggang sudah lama menghilang, digantikan
transportasi serba mesin dengan segala plus-minusnya. Anak muda biasa ugal-
ugalan dengan kendaraan roda duanya, beberapa orang sudah tewas.
Dulu, jika mau
ke pasar Kumanis yang jaraknya hanya 30 kilometer akan menghabiskan waktu tiga
hari, pergi-pulang, sekarang hanya dalam hitungan jam. Dalam perjalanan ke pasar
itu, sekali-sekali orang bertemu dengan harimau yang melintas. Sangat
menakutkan. Sekarang, entah kenapa, raja hutan itu jarang muncul. Akibatnya,
babi hutan sering merajalela sebab keberadaan predatornya sudah sangat langka.
Sumpur Kudus sekarang sudah menjadi bagian dari modernisasi Indonesia dengan
segala dampaknya.
Rahmat
kemerdekaan itu semakin lengkap ketika, pada 2005, listrik telah menyala di
nagari itu dan di nagari-nagari sekitarnya, berkat uluran tangan Herman Darnel
Ibrahim, Direktur Produksi dan Transmisi PLN saat itu.
Bagi yang sigap
menangkap peluang, keberadaan listrik bisa digunakan untuk keperluan berbagai
usaha ekonomi yang menguntungkan. Akan tetapi karena sebagian besar penduduk
tidak terlatih, hanya segelintir yang telah memanfaatkan aliran listrik itu di
luar untuk penerangan.
Bukan main
gembiranya masyarakat karena kampungnya telah terang benderang di waktu malam,
seolah-olah Sumpur Kudus bagai kota kecil di tengah hutan. Sejak Desember 2010,
nagari itu telah dipecah jadi dua: Sumpur Kudus dan Sumpur Kudus Selatan. Dua
wali nagari, tetapi tetap satu dalam lembaga adat.
Sekali lagi,
berkat kemerdekaan bangsa, segalanya menjadi berubah. Akan lebih hebat lagi
sekiranya bangsa dan negara ini diurus para pemimpin yang tepat, jujur, dan
tidak gila kuasa, jumlah desa tertinggal akan jauh mengecil.
Sumpur Kudus dan Indonesia
Dari sekitar
74.000 desa di Indonesia, 32.000 desa dalam kategori tertinggal, tersebar di
183 kabupaten dengan penduduk 57,5 juta. Dalam kaitannya dengan aliran listrik,
ada sejumlah 10.211 desa yang belum kebagian, dan Sumpur Kudus sebelum tahun
2005 adalah salah satu di antaranya.
Karena
tingginya angka desa tertinggal itu, sekitar 19 persen dari 250 juta penduduk
Indonesia masih harus bergumul dengan segala macam masalah kemiskinan dan
keterbelakangan yang melekat pada kategori itu.
Di tengok dari
kacamata ini, ternyata setelah 68 tahun Indonesia merdeka rakyat kita yang
belum merasakan benar apa makna kemerdekaan itu masih berjibun bilangannya.
Semestinya, ke depan, program untuk membebaskan Indonesia dari kategori desa
tertinggal itu dijadikan prioritas utama.
Hanya para
pemimpin yang negarawan sajalah yang bersedia melangkah ke arah pemberdayaan
masyarakat secara tuntas. Elite bangsa yang hanya terpukau oleh ”politik
sebagai lahan ekonomi” tidak dapat diharapkan untuk diajak berpikir sejauh itu.
Jangkauan
perhatian para elite bangsa semacam itu sangat terbatas. Sumpur Kudus sebagai
bagian dari desa tertinggal di Indonesia, dengan listrik dan aspal sudah
sedikit melampaui ribuan desa lain yang tetap saja hidup dalam serba penantian:
”Kapan rahmat kemerdekaan itu mengalir ke kawasan desa mereka”.
Akhirnya,
dengan berkibarnya Sang Sangka Merah Putih di seluruh Nusantara dan di
kantor-kantor perwakilan kita di luar negeri dalam rangka peringatan 68 tahun
kemerdekaan Indonesia, kita syukuri semua anugerah Tuhan ini dengan perasaan
yang sangat dalam. Akan tetapi, di sisi lain, bidikkan pulalah perhatian kepada
nasib ribuan desa tertinggal yang sedang menunggu uluran tangan negara dan kita
semua. Merdeka! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar