|
SUDAH
hampir setahun ini, sekitar 180 warga dusun Nangkernang, desa Karang Gayam,
Sampang, Madura, terpaksa tinggal di penampungan di Sidoarjo, Jawa Timur.
Mereka mengungsi setelah diserang kelompok anti Syiah di Sampang, yang
menghancurkan rumah-rumah mereka. Satu
orang tewas dikeroyok, beberapa lainnya luka-luka, sementara puluhan rumah
mereka dibakar. Setelah sepuluh bulan mengungsi di Gedung Olah Raga Sampang,
mereka lalu diusir lagi dan disuruh pindah ke Rusunawa Sidoarjo. Para pengungsi
ini berharap bisa merayakan hari raya Idul Fitri di kampung halaman mereka.
Namun harapan mereka tidak terwujud. Bahkan, beberapa hari sebelum Idul Fitri
tiba, mereka mendapatkan ancaman dan paksaan untuk kembali ke ‘jalan yang
benar’ dengan cara bertobat.
Bagaimana nasib kaum Syiah yang terusir dari tanah tempat
tinggalnya itu? Berikut ini petikan wawancara Fitri Mohan dari JoyoNews dengan Hertasning Ichlas, direktur
eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia
(YLBHU), yang juga menjadi pendamping dan pengacara pengungsi Syiah
Sampang sejak 2011.
Fitri Mohan (FM): Bagaimana kondisi terakhir warga Syiah Sampang?
Hertasning Ichlas (HI):
Kondisi satu pekan sebelum dan sesudah lebaran ini sangat parah di dua kampung
tempat warga Syiah tinggal, yaitu Bluuran dan Karanggayam. Warga Syiah yang
tidak mengungsi dan tetap tinggal di kampung, telah dipaksa untuk
menandatangani ikrar pertobatan yang intinya mengakui bahwa ajaran Syiah sesat
dan kembali ke ajaran lama.
Kalau tidak menandatangani ikrar ini, rumah mereka akan
dibakar dan keselamatan mereka tidak akan dijamin. Tiga puluh lima warga Syiah
dengan terpaksa sudah menandatangani ikrar tersebut. Mereka dijemput oleh
kepala dusun dan polisi lalu dibawa ke rumah kiai bernama Safiudin Gersempal di
Omben.
Pada 6
Agustus, menurut kesaksian Kholis, salah seorang warga yang menolak
tandatangan, dia melihat bahwa di rumah kiai itu ada Bupati Sampang, Kepala
Kesatuan Kebangsaan dan Politik (Kesbangpol) Sampang Rudi Setiadi, Kepala
Kepolisian Sektor (Kapolsek) Omben dan Komando Rayon Militer (Koramil). Karena
Kholis menolak ikrar tersebut, dia diusir dari Madura. Dia dibawa polisi ke
terminal Sampang untuk keluar dari Madura. Dia juga diancam akan dibakar
rumahnya. Saat ini Kholis ada di kantor kami di Jakarta.
Apa yang
terjadi ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah daerah Sampang, polisi dan kyai,
telah menjadi aktor utama penghalang rekonsiliasi yang diinginkan Presiden SBY
dan Prof Abdul A’la, sebagai ketua rekonsiliasi yang juga rektor IAIN Sunan
Ampel.
FM: Bagaimana hasil rekonsiliasi di Surabaya kemarin?
HI: Rekonsiliasi
yang khusus membahas penyelesaian kasus Sampang ini, dihadiri diantaranya oleh
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Djoko
Suyanto, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa, Menteri Agama
Suryadharma Ali, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Mohamad Nuh, Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo, Menteri
Perumahan Rakyat Djan Fariz, Sekretaris Kabinet Dipo Alam, Gubernur Jawa Timur
Soekarwo, dan Rektor IAIN Profesor Abdul A’la, juga ketua Dewan Syuro Ahlul
Bait Indonesia, Umar Shahab, selain Bupati Sampang Fanan Hasib dan perwakilan
Syiah.
Hasilnya
baik. Presiden SBY meminta agar warga Syiah bisa pulang kembali, paling lambat
Desember tahun ini. Tidak boleh ada pemaksaan untuk bertobat. Prof A’la optimis
bisa memulangkan pengungsi. Sementara Dewan Syura Ahlul Bait Indonesia (ABI)
menyampaikan bahwa ada peluang besar untuk memulangkan pengungsi, karena
sebetulnya antara Muslim Syiah dengan mayoritas masyarakat Madura penganut NU
tidak mengalami benturan yang berarti. Secara ideologis maupun kultural, apa yang
ada pada warga Syiah dan warga NU pada dasarnya sama.
Ini adalah
modal dasar untuk melakukan rekonsiliasi.
Memang ada
kesalahpahaman dari para kiai terhadap apa yang dianut oleh masyarakat Syiah
Sampang ini. Hal ini bisa diselesaikan dengan dialog atau memberi tahu apa
sebenarnya yang mereka anut. Perbedaan yang cukup besar pada masyarakat Syiah
hanya terjadi dengan masyarakat Wahabi Salafi. Hal ini, sekali lagi, bisa
dikomunikasikan dengan berdialog dan memberikan pemahaman pada para kyai
tentang apa sebetulnya ajaran Tajul Muluk.
Ajaran
Tajul tidak berbeda dengan ajaran Syiah secara umum. Sesungguhnya, dalam
evaluasi yang Ahlul Bait Indonesia lakukan, ditemukan bahwa ulama Madura yang
tidak bisa menerima Syiah hanya sebagian. Sebagian lain yang lebih banyak
adalah kiai yang bisa menerima perbedaan. Di akar rumput pun tidak ada gesekan
di antara kedua pihak. Yang kita perlukan adalah dialog. Ini juga tergantung
dari niat baik Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Sampang.
Jika mereka mau bekerja sungguh-sungguh, proses penyelesaiannya akan menjadi
mudah.
FM: Bagaimana pendapat Anda tentang opini Suryadharma Ali bahwa pemicu
konflik
Syiah adalah konflik keluarga
dan bukan konflik agama?
HI: Ada
beberapa faktor yang memicu konflik di Sampang, yaitu kecemburuan kyai kepada
Tajul Muluk, kuatnya kebencian pada Syiah secara global, juga transaksi politik
antara kyai dan politisi di Sampang.
FM: Bisa dijelaskan lebih lanjut tentang transaksi politik ini?
HI: Seperti
yang telah diketahui, Menteri Agama Suryadharma Ali dan Bupati Sampang memaksa
warga Syiah berpindah keyakinan. Sebagai pejabat pemerintah, mereka seharusnya
memfokuskan diri pada pemulangan warga Syiah ke kampung halaman dan menjamin
perlindungan warga Syiah secara penuh. Tapi yang terjadi, saya curiga, adalah
transaksi yang menguntungkan salah satu partai. (Catatan: Menteri Agama
Suryadharma Ali dan Bupati Sampang Fanan Hasib, sama-sama kader Partai
Persatuan Pembangunan atau PPP). Transaksi itu berupa dukungan basis politik
yang memenangkan Bupati, dukungan basis politik bagi pemilihan kepala daerah di
Jawa Timur, dukungan politik dalam pemilihan Gubernur (yang akan
diselenggarakan pada 29 Agustus ini), juga dukungan politik pada pemilu 2014.
Di
Sampang, karakter elite-nya sangat dipengaruhi faktor preman, kyai dan elit
penguasa. Mereka terbiasa saling bekerjasama secara transaksional mengelola
sumber daya politik dan agama. Tajul Muluk hadir bukan hanya sebagai ustad yang
cerdas dan alim tapi juga sebagai pembaharu. Dia banyak menyadarkan masyarakat
untuk mengubah cara maulidan yang memberatkan karena harus membuat acara dari
rumah ke rumah, mengundang kiai dan ustad sehingga harus membuat masyarakat
berhutang hanya untuk mencintai nabi dengan maulid.
Tajul
memindahkan acara itu di masjid dengan gotong royong dan swadaya. Ini mengusik
kepentingan kyai, karena warga merasa Tajul meringankan mereka. Tajul juga
mengorganisir warga untuk ronda dari wabah maling sapi yang marak di sana.
Preman dan kyai pun terusik karena preman sebelum maling biasa minta restu
kyai. Tajul juga mengajak warga mempercayai sekolah negeri selain pesantren
agar warga tidak putus sekolah. Tajul percaya pentingnya sekolah gratis dan
memperjuangkan hak-hak dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).
Akhirnya,
Tajul harus berhadapan dengan kenyataan bahwa dana BOS dan raskin (Beras
Miskin) dikelola secara klientelistik. Penguasa membagikan dana itu dengan
logika patron-klient; hanya kepada jaringan kiai tertentu atau tokoh penguasa
lokal tertentu yang berpengaruh untuk basis dukungan partai penguasa. Hal ini
yang membuat Tajul harus berhadapan dengan kepentingan penguasa politik,
terutama di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sampang. Syiah sebenarnya hanya
bungkus untuk menutupi alasan sesungguhnya bahwa Tajul menciptakan kondisi yang
mengganggu kemapanan politik dan agama yang jumud namun dipelihara oleh elite
di sana.
FM: Kapan tepatnya Anda mulai merasa khawatir atas kekerasan yang
menimpa kaum Syiah?
HI: Terutama
sejak dua tahun belakangan ini. Gerakan Wahabi Takfiri (takfiri: kelompok yang
menyesatkan kelompok lain yang dianggap berbeda dengannya) secara intens aktif
menyebarkan kebencian terhadap tempat-tempat Syiah terutama di Jawa Timur
maupun lewat internet.
FM: Dari bermacam pilihan yang diberikan untuk para korban – sebagai
syarat agar bisa pulang ke kampung halaman – seperti pengikut
Syiah harus steril dari provokator, ada juga opsi soal
pertobatan. Apa tanggapan Anda soal
permintaan bertobat ini?
HI: Ini
menunjukkan negara dan prinsip kewarganegaraan kita telah kalah dibajak oleh
logika politik transaksional. Indonesia mengalami fase paling serius dari aspek
pengelolaan perbedaan keyakinan dan beragama.
FM: Usaha-usaha apa saja yang sudah dilakukan oleh para korban untuk
membuat pemerintah melakukan tugasnya dalam melindungi hak warga
negara?
HI: Hampir
semua usaha sudah kami lakukan sampai ke level presiden dan lobi internasional.
FM: Pemerintah pusat berencana menganggarkan dana Rp. 1 milyar untuk
perkembangan sarana dan restorasi di Madura, Jawa Timur, termasuk
untuk membangun kembali rumah-rumah korban rusuh Sampang, dengan
syarat
konflik Sunni Syiah selesai.
Apa pendapat Anda soal ini?
HI: Ini salah
satu solusi yang bagus, terutama untuk membangun kesejahteraan dan memberikan
perhatian kepada soal-soal penting di balik konflik yaitu soal keterbelakangan.
Kesejahteraan yang paling penting untuk diperhatikan adalah membebaskan
kebodohan, infrastruktur dasar, serta pendidikan kewarganegaraan.
FM: Jika benar akhirnya warga bisa pulang dan rumah-rumah mereka
dibangun kembali, apa sebaiknya yang harus dilakukan baik dari
warga
di Sampang maupun pemerintah
pusat agar tidak terjadi lagi kerusuhan
atau konflik?
HI: Kalau
benar bisa demikian, kasus Sampang bisa dijadikan sebagai role model bagi
penyelesaian konflik lain. Sampang bisa menjadi contoh kerukunan umat beragama.
FM: Apakah ada rencana untuk membangun koalisi dengan para korban
kekerasan sektarian yang terjadi selama ini?
HI: Koalisi
sudah lama terbangun sejak dua tahun lalu. Tapi kenyataannya, perjuangan kita
masih disibukkan soal klarifikasi ajaran, soal identitas dan belum sampai pada
soal kewarganegaraan dan hak-hak konstitusi.
Kami sudah
berupaya membuat aliansi solidaritas kasus Sampang dengan 48 LSM. Melalui
YLBHU, kami menggandeng akademisi dan lembaga kampus seperti Center for Religious and Crosscultural
Studies (CRCS) Universitas Gajah Mada, Pusat Studi Perdamaian dan Keamanan
(PSKP) Universitas Gajah Mada, Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM)
Universitas Muhammadiyah Malang untuk terlibat dalam program dan skema
pemulangan dengan bakti kemanusiaan dan solusi resolusi konflik.
FM: Apa yang ingin Anda sampaikan kepada publik (nasional maupun
internasional) soal kekerasan pada warga
Syiah Sampang ini?
HI: Musuh
kemanusiaan dan agama adalah para penindas, terutama elit kekuasaan yang ingin
meminjam suara orang awam untuk memusuhi perbedaan demi tujuan-tujuan politik
dan kekuasaan. Karena itu, kita harus bersatu memusuhi gerakan agama yang mengobarkan
sentimen kebencian, penyesatan dan pengkafiran di bumi Indonesia. Kita harus
mengedepankan prinsip kewarganegaraan yang menghormati perbedaan keyakinan dan
menjunjung toleransi. Mereka, kaum takfiri, jelas sekali ingin melakukan
perpecahan berbentuk Balkanisasi, Pakistanisasi dan Suriahisasi dengan
menjadikan Islam hanya seolah-olah berisi pengkafiran secara kaku. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar