Jumat, 02 Agustus 2013

Hegemoni Rezim Centeng

Hegemoni Rezim Centeng
Asmadji As Muchtar  ;   Dosen Pascasarjana UII Yogyakarta dan Unsiq Wonosobo
          SUARA KARYA, 01 Agustus 2013


Fenomena upah buruh yang sangat rendah merujuk ketentuan upah minimum kabupaten (UMK), harus dianggap sebagai bukti hegemoni rezim centeng. Artinya, pemerintah (di daerah) sebagai pemegang kekuasaan lebih memihak kaum pengusaha sehingga dengan sendirinya ikut menindas kaum buruh.

Yang lebih memprihatinkan, rendahnya upah buruh sesuai dengan UMK di banyak daerah masih juga diwarnai dengan banyaknya pengusaha yang membayar upah buruh lebih rendah lagi dibanding ketentuan UMK dengan alasan macam-macam. Sedangkan pemerintah (di daerah) tidak tahu menahu atau masa bodoh melihat kesengsaraan kaum buruh, sehingga posisi pemerintah makin mirip dengan rezim centeng.

Apabila hegemoni rezim centeng dibiarkan merajalela, yang didukung oknum-oknum aparat, kekuatannya akan semakin bertambah besar. Banyak fakta menarik yang layak dibeberkan. Misalnya, masalah keamanan, khususnya di ruang-ruang publik seperti terminal dan pasar, di banyak daerah di Indonesia, sejak dulu hingga sekarang selalu berkaitan dengan kehadiran centeng.

Layak diduga, fenomena hegemoni rezim centeng akan tetap lestari selama masyarakat memerlukan rasa aman, sedangkan tangan-tangan hukum sebagai aparat resmi dianggap belum mampu sepenuhnya menjadi pelindung yang betul-betul bisa menjamin keamanan.

Merujuk epistemologi, centeng berarti seseorang yang direkrut untuk menjaga keamanan dengan mendapat imbalan di luar sistem yang berlaku. Centeng biasanya memiliki banyak pengalaman bergaul atau terlibat kriminalitas, sehingga memiliki banyak anak buah atau kawan yang terdiri dari kaum pelaku kriminal. Dengan demikian, dia memiliki kemampuan untuk mengendalikan mereka agar tidak berbuat kriminal di tempat-tempat tertentu atau di sekitar lingkungan yang dijaganya.

Ciri-ciri sikap dan perilaku khas centeng selalu mudah dikenali oleh masyarakat. Misalnya, dia senang menonjolkan dirinya dengan berjaket, bertopi, berkacamata hitam, bercincin, bergelang dan berkalung dengan ukuran besar. Dia juga suka berdiri atau duduk dengan berkacak pinggang sekalipun sedang bersenda-gurau dengan kawan-kawannya. Sikap dan perilaku khas centeng seperti itu akan selalu menimbulkan kesan sangar dan menantang bagi siapa pun. Di mata masyarakat awam (rakyat kecil) kesannya bisa jadi menakutkan. Dalam hal ini, masyarakat awam akan merasa takut.

Manajemen Ketakutan

Setiap rezim centeng dapat dikatakan sangat menguasai manajemen ketakutan. Dengan menunjukkan sikap dan perilakunya yang khas, centeng akan selalu berusaha untuk bisa terkesan menakutkan, agar banyak warga masyarakat yang ingin berada dalam lindungannya. Dengan cara demikian dia akan semakin banyak mendapat imbalan dari warga masyarakat yang merasa dilindungi.

Dengan menguasai manajemen ketakutan, rezim centeng selalu mampu mengalahkan kewibawaan polisi, setidaknya di mata warga masyarakat awam. Contohnya, jika ada warga masyarakat yang kecopetan di pasar dan kemudian melaporkannya kepada centeng maka barang yang dicopet akan cepat bisa dikembalikan dalam keadaan utuh. Selanjutnya, warga masyarakat yang pernah menjadi korban kecopetan tidak akan khawatir kecopetan lagi alias selalu merasa aman-aman saja karena sudah merasa berada dalam lindungan centeng.

Sebaliknya, jika kasus kecopetan dilaporkan kepada polisi misalnya, barang yang dicopet belum tentu dikembalikan, karena polisi belum tentu mengenal siapa pencopetnya. Dalam kondisi demikian, citra polisi sebagai pelindung keamanan kemudian diragukan.

Untuk dapat selalu menguasai manajemen ketakutan dan merusak citra polisi, rezim centeng bisa saja sengaja menyuruh kawan-kawannya untuk mencopet atau berbuat kriminal lain, kemudian dia akan berperan sebagai pahlawan bagi warga masyarakat yang menjadi korbannya.

Kekuatan Politik

Warga masyarakat biasanya akan merasa lebih aman jika berada dalam lindungan rezim centeng yang telah menjalin kerja sama dengan aparat keamanan. Bagi kaum pedagang pasar atau pertokoan juga akan merasa lebih aman jika pasar atau toko serta barang dagangannya sudah berada dalam lindungan rezim centeng.

Namun, kenyataannya, pasar dan pertokoan yang dilindungi rezim centeng bisa saja tiba-tiba dirusak, dijarah dan dibakar. Misalnya seperti kasus kerusuhan Mei 1998 yang telah banyak menelan korban. Dalam hal ini, rezim centeng ternyata tidak selamanya bisa menjamin keamanan suatu lingkungan tertentu yang dikuasainya.

Sejak dulu, berkaitan dengan hajatan politik seperti pemilu dan pilkada, nama-nama tokoh centeng atau preman selalu naik daun, karena menjadi rebutan kubu-kubu yang sedang bertarung. Sudah bukan rahasia lagi, banyak satuan tugas (satgas) partai yang dikenal oleh masyarakat sebagai centeng atau preman.

Dengan demikian, setiap masa kampanye pemilu dan pilkada, persaingan antar centeng dan preman di 
banyak daerah selalu mengemuka. Mana kubu yang lebih banyak merekrut kaum centeng atau preman akan lebih menakutkan bagi warga masyarakat.


Sementara, warga masyarakat akan cenderung memilih pemimpin yang dianggap paling kuat untuk bisa menjamin keamanan, agar selanjutnya bisa lebih aman meskipun tetap dalam lindungan rezim centeng. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar