Rabu, 05 Juni 2013

Rasionalisasi Pengurangan Subsidi BBM

Rasionalisasi Pengurangan Subsidi BBM
Prima Mulyasari Agustini ;   Praktisi Komunikasi,
Pemerhati Masalah Energi dan BUMN
KORAN SINDO, 04 Juni 2013



Rencana pemerintah akan melakukan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) telah menimbulkan keresahan dan kepasrahan di berbagai kalangan. 

Seperti pengalaman terdahulu, setiap kali harga BBM disesuaikan, langsung berdampak pada inflasi dan masyarakat merasakan nilai uang yang semakin menurun serta harga barang kebutuhan menjadi semakin mahal. Rasionalisasi harga BBM merupakan akibat pemberlakuan subsidi oleh negara. 

Membeli BBM dengan harga normal, namun menjualnya di bawah harga pasar menyebabkan pemerintah harus memberikan subsidi agar harga BBM masih dapat dijangkau oleh masyarakat. Subsidi yang terusmenerus tentu akan menyebabkan berkurangnya anggaran lain yang juga memiliki nilai signifikasi untuk membangun Indonesia seperti pendidikan dan kesehatan. 

Konsumsi BBM 

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, konsumsi BBM masyarakat pun semakin tinggi. Jika mobilitas masyarakat semakin tinggi, konsumsinya pada BBM juga akan semakin tinggi. Indikasi mobilitas yang semakin tinggi adalah jumlah kendaraan yang digunakan terus meningkat, sejalan dengan peningkatan kemampuan ekonomi seseorang untuk memiliki kendaraan bermotor. 

Data Korlantas pada Oktober 2012 memperlihatkan jumlah mobil plat hitam dan tidak umum mencapai 12.430.612 unit dan jumlah sepeda motor mencapai 68.145.055 unit. Pertumbuhan kendaraan roda empat berkisar 800-1 juta unit per tahun dan sepeda motor sekitar 8-9 juta unit per tahun. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkisar 6,2% telah memicu pertumbuhan konsumsi premium sekitar 8% per tahun. 

Selain pertumbuhan ekonomi, besarnya disparitas harga antara BBM bersubsidi dan BBM nonsubsidi pun memberikan andil dalam peningkatan penggunaan BBM bersubsidi. Masyarakat yang dianggap mampu pun pada akhirnya mengonsumsi BBM bersubsidi. Belum lagi moda transportasi umum yang notabene pengusaha pun menggunakan BBM RON 88 ini. 

Konsumsi premium sektor transportasi darat terdiri atas mobil pribadi 53%, motor 40%, mobil barang 4%, dan umum 3%. Artinya sebesar 93% konsumsi BBM bersubsidi untuk mobil pribadi dan motor. Konsumsi BBM pada level masyarakat atas pun seringkali tak terkendali. Penggunaan kendaraan tidak hemat energi, ditambah dalam jumlah banyak, telah meningkatkan konsumsi BBM nonsubsidi (RON 92 dan 95) pun meningkat. Ini akan menyebabkan ketergantungan Indonesia pada BBM impor semakin besar. 

Apalagi mengingat lifting BBM yang hingga Maret 2013 mencapai 826.000 barel per hari, padahal kebutuhan konsumsi BBM mencapai 1,4 juta barel per hari. Masyarakat Indonesia telah terbiasa menggunakan BBM, bahkan dengan semena-mena, dalam menjalankan dinamika kehidupannya. Padahal keberadaan energi ini sangat terbatas. Penggunaan BBM seringkali tak dilakukan secara hemat dan bijak. 

Masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai energi fosil sehingga seringkali ditemui kesulitan dalam mengedukasi masyarakat untuk mendukung beragam program hemat energi. Jika menilik persoalan ini, BBM bukan hanya masalah rasionalisasi pengurangan subsidi BBM, melainkan lebih makro menyangkut pada upaya penyediaan energi terbarukan dan kesadaran masyarakat untuk bijak dalam menggunakan BBM sebagai upaya membantu pemerintah mencapai negara yang memiliki ketahanan energi. 

Subsidi BBM 

Subsidi BBM meningkat terus, bahkan pada 2013 diasumsikan akan menyedot anggaran negara hampir Rp200 triliun. Subsidi harus dikurangi karena jumlahnya terus membengkak dan membuat defisit APBN melampaui batas yang diizinkan undang-undang yakni 3% dari produk domestik bruto (PDB). Jika tidak dikendalikan, nilai subsidi total dalam APBN 2013 mencapai Rp446,8 triliun. Sedangkan subsidi BBM menyentuh Rp297,7 triliun. 

Defisit pun mencapai Rp353,6 triliun atau 3,83% dari PDB. Pemerintah berupaya memberikan kompensasi atas kenaikan harga BBM dalam bentuk beras untuk rakyat miskin, bantuan siswa miskin, programkeluargaharapan, dan bantuan langsung sementara masyarakat yang berupa transfer tunai. Ada pula bentuk bantuan seperti program pasar murah dari BUMN. 

Secara umum, harga BBM subsidi di Indonesia adalah yang terendah di antara beberapa negara ASEAN. Negara-negara yang pendapatan per kapitanya di bawah Indonesia tidak memberikan subsidi untuk BBM kepada rakyatnya. Vietnam memberlakukan harga BBM (RON 92) senilai Rp15.553 per liter, Laos Rp13.396, Kamboja Rp13.298, dan Myanmar Rp10.340. Bandingkan dengan harga BBM bersubsidi di Indonesia sebesar Rp4.500 yang per kapitanya jauh lebih tinggi dari negara tersebut. 

Kendati demikian, sesuai dengan peraturan perundangan, pemerintah tetap wajib menyediakan energi dengan harga terjangkau walaupun dengan konsekuensi subsidi. Pemerintah perlu mengambil langkah perbaikan untuk menutup anggaran pembangunan Indonesia dengan meningkatkan pendapatan dari sektor lain seperti pajak. Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat menyediakan BBM dengan harga yang terjangkau. Dengan peningkatan pendapatan negara, subsidi dapat dilakukan. 

Swaenergi 

Polemik harga BBM memang tak pernah usai di negeri ini. Andai saja negeri ini dapat menjadi negara swaenergi, tentu dapat memenuhi kebutuhan BBM yang menopang mobilitas sekitar 252 juta penduduknya. Dengan demikian, harga BBM dapat terjangkau seperti di Arab Saudi, Kuwait, ataupun UEA yang harganya berada di bawah Rp4500 per liter untuk RON 92 dan tetap diberikan subsidi. 

Pemerintah perlu memberi ruang pada upaya perusahaanperusahaan minyak dan gas untuk melakukan eksplorasi terus-menerus dalam memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Selain itu, terus diupayakan pengembangan energi terbarukan agar dapat segera membantu penyediaan kebutuhan energi. 

Pada sisi masyarakat, proses edukasi masyarakat untuk bijak menggunakan BBM pun terus dilakukan. Pengurangan konsumsi BBM melalui teknologi hemat energi, kesadaran untuk tidak boros menggunakan BBM, dan edukasi konversi BBM ke bahan bakar lain seperti gas atau biosolar akan mengurangi beban impor BBM. Dengan begitu, negeri ini lebih leluasa menentukan harga BBM dalam negeri. 

Melihat konsekuensi yang harus ditanggung negeri ini dengan pengurangan subsidi harga BBM, yang membawa dampak pada aspek ekonomi, sosial, dan keamanan, kenaikan harga BBM merupakan jalan terakhir. Jika harus ada kenaikan BBM, harus ada kompensasi dari dana yang tersedia, yang tidak hanya bersifat temporer, namun berkelanjutan untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik. 

Selain itu juga harus diupayakan kenaikan pendapatan dari sektor pajak dan nonpajak agar negara tetap bisa memberikan subsidi BBM. BBM lancar, mobilitas masyarakat pun dapat ditopang, sehingga membawa kemajuan bagi bangsa ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar