Senin, 10 Juni 2013

Politik Muka Dua PKS

Politik Muka Dua PKS
Arfanda Siregar ;    Dosen Politeknik Negeri Medan;
Direktur Lembaga Penelitian Agama dan Sosial (LEPAS)
KORAN TEMPO, 08 Juni 2013


Di tengah prahara memalukan yang menyelimuti kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) atas terbongkarnya kasus suap impor sapi yang melibatkan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, kini partai berlambang bulan sabit emas tersebut menambah lagi hiruk-pikuk pentas perpolitikan nasional dengan aksi penolakan atas usulan koalisi partai pendukung pemerintah yang diketuai Partai Demokrat atas kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak.
PKS dianggap melakukan politik muka dua dalam manuvernya. Di satu sisi, PKS menjadi seteru atas berbagai kebijakan pemerintah. Namun, di sisi lain, mereka masih bertahan menggandol di punggung SBY demi mempertahankan jabatan menteri di kabinet.
Jelas saja Demokrat sebagai pemimpin partai koalisi mencak-mencak. Ibarat tamu, PKS adalah tamu tak tahu sopan santun. Sudah diberi tempat menginap dan dilayani sebagai tamu terhormat, mereka masih tega memburuk-burukkan tuan rumah. Bukannya mengucapkan terima kasih atas jamuan kehormatan, mereka malah menjelek-jelekkan tuan rumah dari belakang.
Atas sikap PKS yang seperti itu, bukan berarti Partai Demokrat menerima kedegilan sang tamu. Sudah lama mereka memendam kemarahan atas sikap politik PKS yang kerap berseberangan dengan kebijakan pemerintah, dimulai dari penolakan kenaikan harga BBM tempo hari, pengusungan hak angket beras impor, hingga pembentukan Tim Pengawas Century.
Membaca polah petinggi Demokrat atas manuver PKS tersebut, sesungguhnya mereka tak betah lagi bermitra dengan PKS. Dengan bermacam-macam ekspresi, mereka telah mendorong agar PKS segera keluar dari koalisi. Saking kesalnya, sampai-sampai Ketua Fraksi Demokrat di DPR menggelari PKS sebagai munafik. 
Namun ibarat pepatah, anjing menggonggong, kafilah terus berlalu. Kegusaran Demokrat dianggap angin lalu. PKS masih betah di kabinet, seolah-olah tak merasa berdosa dengan manuver politiknya tersebut. PKS berargumen bahwa kebijakan kenaikan harga BBM akan menyengsarakan rakyat kecil. Atas nama rakyat, mereka menolak kenaikan harga BBM
Sebagai partai berasas Islam, PKS seyogianya tidak berwajah ganda dalam menyikapi perkembangan politik. Jangan mencla-mencle. Kalau memang kepemimpinan SBY banyak berseberangan dengan keyakinan politik PKS, mengapa tidak segera tarik diri semenjak awal kekuasaannya? Bukan seperti sekarang, ketika kekuasaan SBY hampir berakhir, mereka baru sibuk menyuarakan akan keluar dari koalisi.
Apalagi, alasan kenaikan harga BBM pada saat sekarang merupakan keniscayaan. Sudah lama Indonesia menjadi net importer. Harga Premium di pasar internasional yang saat ini mencapai Rp 9.500 seliter telah membuat anggaran negara kerap jebol, karena anggaran mematok harga Premium dalam negeri hanya Rp 4.500. Besarnya disparitas harga lokal dan internasional tersebut menumbuhsuburkan penyelundupan ke negara tetangga yang mematok harga BBM setara dengan harga internasional. Selain itu, para pengguna kendaraan bermotor yang menikmati BBM bersubsidi sebagian besar tergolong masyarakat mampu. Lalu, apa dasar PKS menolak kenaikan harga BBM?
Masyumi
PKS perlu belajar banyak dari keberanian Masyumi menjadi oposan pemerintah. Ketika Masyumi memenangi Pemilu 1955, terjadi pergesekan politik dengan Ir Sukarno. Perbedaan politik dengan Presiden membuat Masyumi memposisikan diri sebagai oposisi. Meski saat itu perdana menteri berasal dari Masyumi, hal itu tidak membuat partai tersebut berwajah ganda. Partai Islam itu tetap menentang keras kebijakan Demokrasi Terpimpin yang digariskan Presiden Sukarno dan tetap teguh menolak komunisme. Keteguhan Masyumi pada pendirian itu membuat Sukarno naik darah dan mengancam akan membubarkan Masyumi. Rencana pembubaran Masyumi oleh Sukarno ini ditanggapi oleh tokoh-tokoh Masyumi dengan mengatakan bahwa, di bawah Demokrasi Terpimpin, Masyumi akan menjadi "mayat berjalan". 
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) dua tahun tentang kepuasan terhadap kinerja presiden, yang dilansir LSI pada Januari 2011, pernah mendukung agar PKS segera keluar dari lingkar kekuasaan SBY. PKS, menurut hasil survei itu, memiliki konstituen nomor dua setelah PDIP, yang menyatakan tidak puas atas kinerja pemerintah SBY-Boediono. Ini berarti, pilihan PKS menjadi oposisi sejalan dengan keinginan konstituen PKS yang sebagian besar berasal dari pemilih terdidik.
Tapi sayang beribu sayang, pengalaman Masyumi dan hasil survei tersebut dianggap angin lalu. PKS merasa enjoy dengan politik muka dua. Di satu sisi, mereka rajin mengkritik kebijakan presiden. Namun, di sisi lain, mereka menikmati privilege yang didapat oleh para menterinya yang parkir di kabinet. Sudah bukan rahasia umum, partai-partai menjadikan institusi yang dipimpin kadernya sebagai sumber investasi partai dalam menghadapi pemilu yang akan datang.
Dan jika akhirnya mantan presiden PKS terpaksa menjadi pesakitan di tahanan KPK, bukan berarti itu sebuah konspirasi politik. Kenyataan pahit yang "mencelakakan" Luthfi Hasan Ishaaq merupakan konsekuensi keberadaan PKS sebagai partai koalisi pemerintah yang mendapat jatah tiga menteri di kabinet. Bukankah Departemen Pertanian, sebagai institusi yang disinyalir "bermain mata" dengan Luthfi, dipimpin oleh kader PKS?
Dengan kenyataan itu, manuver PKS melawan kebijakan pemerintah sudah tak manjur lagi untuk dipakai mencari simpati publik. Bagaimanapun, di mata rakyat, PKS adalah partai koalisi. Dan, dengan mata dan kepala sendiri, rakyat menyaksikan melalui berita media, sepak terjang petinggi PKS, yang cekatan memanfaatkan menterinya di kabinet untuk mendulang dana bagi kepentingan pribadi dan partai. 

Coba kalau sedari dulu PKS menjadi oposan dan menarik menterinya ke luar dari kabinet. Bukan hanya sikap oposan itu bakal memantik simpati publik, terlebih lagi kecelakaan yang menimpa mantan presiden partai itu bakal tak terjadi. Sekarang, nasi telah menjadi bubur. Politik muka dua PKS telah membawa korban orang penting di PKS. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar