|
KORAN TEMPO, 08 Juni 2013
Di tengah prahara memalukan yang menyelimuti kader Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) atas terbongkarnya kasus suap impor sapi yang
melibatkan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, kini partai berlambang
bulan sabit emas tersebut menambah lagi hiruk-pikuk pentas perpolitikan
nasional dengan aksi penolakan atas usulan koalisi partai pendukung pemerintah
yang diketuai Partai Demokrat atas kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak.
PKS dianggap melakukan politik muka dua dalam manuvernya.
Di satu sisi, PKS menjadi seteru atas berbagai kebijakan pemerintah. Namun, di
sisi lain, mereka masih bertahan menggandol di punggung SBY demi mempertahankan
jabatan menteri di kabinet.
Jelas saja Demokrat sebagai pemimpin partai koalisi
mencak-mencak. Ibarat tamu, PKS adalah tamu tak tahu sopan santun. Sudah diberi
tempat menginap dan dilayani sebagai tamu terhormat, mereka masih tega
memburuk-burukkan tuan rumah. Bukannya mengucapkan terima kasih atas jamuan
kehormatan, mereka malah menjelek-jelekkan tuan rumah dari belakang.
Atas sikap PKS yang seperti itu, bukan berarti Partai
Demokrat menerima kedegilan sang tamu. Sudah lama mereka memendam kemarahan
atas sikap politik PKS yang kerap berseberangan dengan kebijakan pemerintah,
dimulai dari penolakan kenaikan harga BBM tempo hari, pengusungan hak angket beras
impor, hingga pembentukan Tim Pengawas Century.
Membaca polah petinggi Demokrat atas manuver PKS tersebut,
sesungguhnya mereka tak betah lagi bermitra dengan PKS. Dengan bermacam-macam
ekspresi, mereka telah mendorong agar PKS segera keluar dari koalisi. Saking
kesalnya, sampai-sampai Ketua Fraksi Demokrat di DPR menggelari PKS sebagai
munafik.
Namun ibarat pepatah, anjing menggonggong, kafilah terus
berlalu. Kegusaran Demokrat dianggap angin lalu. PKS masih betah di kabinet,
seolah-olah tak merasa berdosa dengan manuver politiknya tersebut. PKS
berargumen bahwa kebijakan kenaikan harga BBM akan menyengsarakan rakyat kecil.
Atas nama rakyat, mereka menolak kenaikan harga BBM
Sebagai partai berasas Islam, PKS seyogianya tidak berwajah
ganda dalam menyikapi perkembangan politik. Jangan mencla-mencle. Kalau memang
kepemimpinan SBY banyak berseberangan dengan keyakinan politik PKS, mengapa
tidak segera tarik diri semenjak awal kekuasaannya? Bukan seperti sekarang,
ketika kekuasaan SBY hampir berakhir, mereka baru sibuk menyuarakan akan keluar
dari koalisi.
Apalagi, alasan kenaikan harga BBM pada saat sekarang
merupakan keniscayaan. Sudah lama Indonesia menjadi net importer. Harga Premium
di pasar internasional yang saat ini mencapai Rp 9.500 seliter telah membuat
anggaran negara kerap jebol, karena anggaran mematok harga Premium dalam negeri
hanya Rp 4.500. Besarnya disparitas harga lokal dan internasional tersebut
menumbuhsuburkan penyelundupan ke negara tetangga yang mematok harga BBM setara
dengan harga internasional. Selain itu, para pengguna kendaraan bermotor yang
menikmati BBM bersubsidi sebagian besar tergolong masyarakat mampu. Lalu, apa
dasar PKS menolak kenaikan harga BBM?
Masyumi
PKS perlu belajar banyak dari keberanian Masyumi menjadi
oposan pemerintah. Ketika Masyumi memenangi Pemilu 1955, terjadi pergesekan
politik dengan Ir Sukarno. Perbedaan politik dengan Presiden membuat Masyumi
memposisikan diri sebagai oposisi. Meski saat itu perdana menteri berasal dari
Masyumi, hal itu tidak membuat partai tersebut berwajah ganda. Partai Islam itu
tetap menentang keras kebijakan Demokrasi Terpimpin yang digariskan Presiden
Sukarno dan tetap teguh menolak komunisme. Keteguhan Masyumi pada pendirian itu
membuat Sukarno naik darah dan mengancam akan membubarkan Masyumi. Rencana
pembubaran Masyumi oleh Sukarno ini ditanggapi oleh tokoh-tokoh Masyumi dengan
mengatakan bahwa, di bawah Demokrasi Terpimpin, Masyumi akan menjadi
"mayat berjalan".
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) dua tahun
tentang kepuasan terhadap kinerja presiden, yang dilansir LSI pada Januari
2011, pernah mendukung agar PKS segera keluar dari lingkar kekuasaan SBY. PKS,
menurut hasil survei itu, memiliki konstituen nomor dua setelah PDIP, yang
menyatakan tidak puas atas kinerja pemerintah SBY-Boediono. Ini berarti,
pilihan PKS menjadi oposisi sejalan dengan keinginan konstituen PKS yang
sebagian besar berasal dari pemilih terdidik.
Tapi sayang beribu sayang, pengalaman Masyumi dan hasil
survei tersebut dianggap angin lalu. PKS merasa enjoy dengan politik muka dua. Di satu sisi, mereka rajin
mengkritik kebijakan presiden. Namun, di sisi lain, mereka menikmati privilege yang didapat oleh para
menterinya yang parkir di kabinet. Sudah bukan rahasia umum, partai-partai
menjadikan institusi yang dipimpin kadernya sebagai sumber investasi partai
dalam menghadapi pemilu yang akan datang.
Dan jika akhirnya mantan presiden PKS terpaksa menjadi
pesakitan di tahanan KPK, bukan berarti itu sebuah konspirasi politik.
Kenyataan pahit yang "mencelakakan" Luthfi Hasan Ishaaq merupakan
konsekuensi keberadaan PKS sebagai partai koalisi pemerintah yang mendapat
jatah tiga menteri di kabinet. Bukankah Departemen Pertanian, sebagai institusi
yang disinyalir "bermain mata" dengan Luthfi, dipimpin oleh kader PKS?
Dengan kenyataan itu, manuver PKS melawan kebijakan
pemerintah sudah tak manjur lagi untuk dipakai mencari simpati publik.
Bagaimanapun, di mata rakyat, PKS adalah partai koalisi. Dan, dengan mata dan
kepala sendiri, rakyat menyaksikan melalui berita media, sepak terjang petinggi
PKS, yang cekatan memanfaatkan menterinya di kabinet untuk mendulang dana bagi
kepentingan pribadi dan partai.
Coba kalau sedari dulu PKS menjadi oposan dan menarik
menterinya ke luar dari kabinet. Bukan hanya sikap oposan itu bakal memantik
simpati publik, terlebih lagi kecelakaan yang menimpa mantan presiden partai
itu bakal tak terjadi. Sekarang, nasi telah menjadi bubur. Politik muka dua PKS
telah membawa korban orang penting di PKS. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar