MENCARI PEMIMPIN BERINTEGRITAS
Pemimpin
Negarawan Mengerti UUD
|
KOMPAS,
04 Juni 2013
Selama empat kali perubahan UUD 1945 dalam
kurun 1999-2002 telah dilakukan pemurnian sistem presidensial.
Pertama, mengubah proses pemilihan presiden
dan wakil presiden dari pemilihan dengan sistem perwakilan—pemilihan di
MPR—menjadi pemilihan langsung. Kedua, membatasi periodisasi masa jabatan
presiden dan wakil presiden. Ketiga, memperjelas pemakzulan dan/atau wakil
presiden. Keempat, menata ulang perwakilan rakyat. Dari substansi pemurnian
sistem presidensial itu, presiden jauh lebih kuat dan lebih aman. Dengan
pemilihan langsung, legitimasi presiden tak lagi berada di bawah
bayang-bayang legitimasi anggota perwakilan. Presiden tak perlu takut lagi
dimakzulkan DPR.
Selain telah dirumuskan di dalam Pasal 7A,
UUD 1945 pun mendesain pemakzulan melalui proses yang sulit dan panjang. Usul
DPR harus diperiksa terlebih dahulu di Mahkamah Konstitusi. Setelah itu masih
perlu proses politik di MPR. Ketika sampai di MPR, posisi anggota DPD menjadi
faktor lain yang dapat mempersulit pemakzulan.
Jadi, pemakzulan di Indonesia setelah empat
kali amandemen itu lebih sulit dibandingkan dengan pemakzulan di AS. Sebelum
empat kali amandemen, posisi presiden agak lemah. Soekarno bisa dijatuhkan
dengan alasan politis, demikian pula Soeharto dan Abdurrahman Wahid.
Sekarang, sejak SBY menjadi presiden, tak mungkin lagi penjatuhan seperti itu
dilakukan. Aneh bila seorang presiden sampai tak tahu ketentuan konstitusi
ini. Karena itu, yang terjadi, karena dirundung ketakutan mendalam
sewaktu-waktu dijatuhkan, seorang presiden membuat koalisi raksasa, over size
coalition, sesuatu yang sebetulnya tak perlu muncul dalam sistem
presidensial. Pertanyaan kita, dengan kekuasaan yang begitu besar, kira-kira
kepemimpinan model apa yang diperlukan ke depan?
Kuat dan persuasif
Pertama, strong and persuade leadership.
Karena pemerintahan yang tidak stabil merupakan bawaan dasar sistem presidensial,
diperlukan seorang presiden kuat yang selalu bergerak dalam koridor
pemerintahan demokratis. Pemimpin yang kuat menjadi keniscayaan karena nyaris
saban waktu akan terjadi pertarungan tak berkesudahan antara pemegang
kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif.
Bagaimanapun, dengan sama-sama mendapat
mandat dari rakyat, seperti yang dikemukakan Juan Linz dari Yale University,
pertarungan sulit dihindari karena perebutan wilayah ”klaim siapa yang lebih
kuat untuk berbicara atas nama rakyat”. Dalam posisi seperti itu, presiden
dengan karakter lembek, peragu, suka pencitraan, dan saban waktu mengeluh
pasti sulit menjalankan misi yang diamanatkan UUD 1945.
Pada dasarnya, seorang presiden dalam
kepemimpinan presidensial adalah petarung sejati. Agar tak terjadi benturan
keras dengan lembaga lain, karakter petarung sejati itu harus disertai dengan
pendekatan yang lebih persuasif. Seorang presiden harus mampu membuktikan
kemampuan persuasifnya untuk mencapai amanat konstitusi.
Dalam pelaksanaan fungsi legislasi,
misalnya, tahap pembahasan dan persetujuan bisa menjadi salah satu fase
penting dalam membuktikan kemampuan persuasifnya.
Pendekatan terhadap DPR
juga diperlukan saat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan membuat
perjanjian dengan negara lain. Selain itu, juga dalam membuat perjanjian
internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
terkait beban keuangan negara, mengangkat duta, dan menerima penempatan duta
negara lain.
Demikian pula dalam pemberian amnesti dan
abolisi, serta wewenang mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan yang
harus mendapat atau meminta pertimbangan DPR.
Kedua, mau dan mampu menerima konsekuensi
praktik sistem kepartaian majemuk. Dalam desain UUD 1945 hasil perubahan,
sekalipun bukan merupakan bawaan sistem presidensial, ruang untuk adanya
koalisi sama sekali tidak ditolak. Hal ini dapat dibaca dalam Pasal 6A Ayat
(2) yang menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan
umum.
Yang dimaksud dengan ”mau dan mampu”
menerima konsekuensi kepartaian majemuk ialah kemauan dan kemampuan menahan
diri untuk tidak membangun koalisi yang kedodoran.
Hal ini penting digarisbawahi untuk
menghindari dagang sapi pada pengisian kabinet. Seorang presiden dalam sistem
presidensial, apalagi dari jenis yang kuat seperti ditorehkan di UUD 1945
empat kali perubahan, tak boleh menggadaikan hak prerogatifnya dalam
pengisian kabinet.
Koalisi bertujuan mendapatkan dukungan politik
yang kuat untuk menjalankan roda pemerintahan. Namun, faktanya, dukungan yang
diharapkan dari parpol tak pernah tercapai. Sejauh yang terlihat di
permukaan, koalisi yang dibangun tak mampu memuluskan semua kebijakan
pemerintah di DPR. Di sisi lain, sejumlah menteri yang berasal dari parpol
tak bekerja sepenuh hati di kabinet. Mereka terjebak bekerja di bawah dua
kendali, sulit keluar dari pilihan setia ke partai dan setia kepada presiden.
Kesetiaan terbelah ini mencapai puncaknya dalam hari-hari menjelang pemilu.
Berkaca dari pengalaman selama ini, pemerintah terjebak pada kondisi internal
eksekutif yang terbelah.
Makin dekat dengan agenda pemilu, makin
sulit mempertahankan kesetiaan kepada pemerintah. Hubungan pemerintah dengan
DPR turun drastis. Karena agenda pemilu itu, jika ada sebagian menteri tetap
bertahan menjadi anggota kabinet, bukan tak mungkin maksudnya untuk tetap ada
akses ke sumber-sumber keuangan negara.
Yang negarawan
Ketiga, pemimpin yang negarawan. Di antara
penyakit akut yang tengah melanda praktik kepemimpinan presidensial adalah
jabatan rangkap politik dengan jabatan di pemerintahan.
Rangkap jabatan secara hukum tak dilarang.
Meski begitu, potensi konflik kepentingan seharusnya jadi bangunan etis dalam
merawat sistem presidensial. Yang menjadi bangunan etis untuk mencegah
konflik kepentingan itu hendaknya pandangan bahwa kesetiaan kepada partai
berakhir begitu pengabdian kepada negara dimulai. Postulat itu, jika
ditelusuri sejarah perkembangan sistem pemerintahan, merupakan bangunan etis
yang tumbuh dalam praktik sistem presidensial. Semoga gagasan ini jadi
pertimbangan dalam memilih dan menentukan presiden pada Pemilu 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar